Dunia Buku pun Tak Selebar Daun Kelor

Semasa kecil ingin sekali saya mengetahui bagaimana rupa daun kelor itu. Soalnya daun ini selalu disebut-sebut dalam ungkapan dunia tak selebar daun kelor. Pernah saya menyangka daun jati yang lumayan besar itulah daun kelor. Ternyata daun kelor itu justru daunnya kecil-kecil. Sebuah perumpamaan yang “dramatis” tentang dunia dan cara pandang manusia.

daun kelor

Ya, dunia, termasuk dunia buku memang tak selebar daun kelor. Cara pandang sempit tentang buku harus diluaskan karena buku mengiringi sebuah peradaban bernama kehidupan manusia. Sebuah sinyalemen tentang buku yang menohok yaitu kemajuan masyarakat suatu bangsa berbanding lurus dengan kedekatan masyarakat itu terhadap buku.

Ada komponen dalam industri buku yang boleh dibilang saling memengaruhi:

Hubungan dalam industri buku yang saling memengaruhi.
Hubungan dalam industri buku yang saling memengaruhi.

Di dalam komponen itu juga terlibat beberapa profesi yang biasa menyokong industri buku. Di Indonesia memang tidak semua profesi itu menjadi populer. Namun, inti bisnis dalam industri ini adalah penciptaan sekaligus pengembangan konten. Jadi, bukan bisnis penjualan buku. Bisnis penjualan buku hanya dimainkan komponen distributor dan toko buku. Itu sebabnya distributor dan toko buku selalu mensyaratkan bahwa penerbit paling tidak sekurang-kurangnya dalam satu bulan mengeluarkan dua judul buku baru.

Banyak Judul, Banyak Rezeki

Teori banyak judul (banyak rezeki) ini tidak berlaku untuk Thomas Woll. Dalam bukunya Publishing for Profit ia lebih menekankan pentingnya komitmen dan konsistensi. Jadi, kalau mampu dan punya keyakinan tinggi terhadap 1 s.d. 2 judul buku per tahun, tidak mengapa menggenjotnya hingga menembus tiras puluhan ribu eksemplar. Tentulah sebuah penerbit akan blunder jika mengamini saja upaya menerbitkan buku untuk mengejar target kuantitas, padahal di antara judul-judul tersebut bisa menjerumuskan bisnis dalam kerugian akibat ada banyak judul yang diretur.

Karena itu, profesi editor akuisisi pada penerbit besar yang mengejar kuantitas dan volume penjualan dengan banyak judul adalah mutlak. Namun, sang editor akuisisi haruslah dipilih orang yang tepat untuk memburu penulis sekaligus mampu menggunakan intuisi serta daya analisisnya dalam menilai naskah. Jangan menempatkan editor akuisisi yang memandang dunia selebar daun kelor dan di otaknya hanya ada satu jalan: kejar target kuantitas, tak peduli apa pun naskahnya.

Kategori Penjualan

Pada praktiknya dalam setahun aktivitas penerbitan, banyak penerbit tertolong hanya 10% dari total judul buku yang diterbitkannya. Artinya, setiap seratus judul buku yang diterbitkan setahun, hanya sepuluh judul buku yang memberikan kontribusi positif pada profit. Alhasil, sepuluh judul buku itu akan menyubsidi sembilan puluh judul buku lainnya. Karena itu, muncullah kategori sangat laris (mega best seller), laris (best seller), laku sedang, dan tidak laku (bad stock).

Semua keyakinan editor akuisisi harus ditempatkan pada kategori laris dan seburuk-buruknya laku sedang sebagai pengukuran risiko penerbitan. Di sinilah potensi pembaca sasaran dan segmentasi diperhitungkan. Dengan tiras standar 3.000 eksemplar kira-kira dalam 2 s.d. 3 bulan dapatkah dikejar titik impas? Berapa titik impas buku dari 3.000 eksemplar? Bagian keuangan yang akan menghitungkannya. Contohnya bahwa judul tertentu mencapai titik impas jika terjual 1.200 judul kurang dari setahun tentunya.

Bagian pemasaran pun mulai membuat pemetaan pasar untuk judul buku tersebut. Tidak semua judul punya daya jual sama di setiap daerah. Ada daerah yang sangat berterima dan ada juga daerah yang mungkin tidak akan ada pembaca sasaran untuk judul buku tersebut. Tambahan lagi, momentum juga turut diperhitungkan. Apakah judul buku tersebut bisa dijual kapan pun atau terbatas pada momentum tertentu seperti buku-buku tentang puasa Ramadan?

Jadi, sewajarnya tiras 3.000 eksemplar itu memang harus habis kurang dari setahun. Kalau tidak, alamat akan berulang tahun serta membebani perencanaan pasar tahun berikutnya. Hal yang kadang membuat pusing tujuh keliling, bagian pemasaran justru lebih senang dan fokus pada judul-judul buku baru daripada mengusahakan judul lama bisa terjual habis. Ya, mereka lebih antusias kalau ada peluang baru dan terkadang enggan mengurusi “masa lalu” alias stok lama. Ini juga tipe pemasar daun kelor tadi.

***

Bisnis dan industri buku itu memang unik tidak seperti bisnis consumer goods. Produk baru itu bisa muncul dalam hitungan bulanan sehingga varian produk itu bisa berjumlah ratusan dalam setahun kalau penerbitnya merupakan penerbit besar. Satu judul buku itu sama dengan satu merek produk. Jika Unilever mengeluarkan produk sampoo seperti Clear dan Sunsilk dalam hitungan tahunan sebelum produk baru keluar, di sebuah penerbit justru bisa keluar dalam setiap bulan.

Karena itu, tidak mudah memang menjadi seorang pemasar buku karena ia harus memberikan porsi perhatian yang sama pada setiap produk/judul buku. Andaipun ia tidak memberi perhatian yang sama, ia harus membuat pemetaan atau klasifikasi terhadap setiap judul yaitu mana yang berpotensi luar biasa dan mana yang berpotensi biasa-biasa.

Ah, dunia buku memang tak selebar daun kelor, apalagi kalau bicara produk turunan seperti buku elektronik. Belum lagi jika bicara alternatif sumber pemasukan lain dari penjualan hak cipta terjemahan. Frankfurt Book Fair 2015 yang mendaulat Indonesia menjadi tamu kehormatan akan menjadi bukti bahwa dunia buku memang tak selebar daun kelor. Pertanyaannya sekarang: Indonesia mau membawa buku apa ke sana? Siapkah Indonesia meluaskan pasar kontennya menembus wilayah dunia? Semoga. [BT]

©2013 oleh Bambang Trim

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.