Legitimasi Penerbit Independen

Meskipun ditengarai banyak bermunculan penerbit independen atau independent publisher/self-publisher di Indonesia, tampaknya sebagian besar tidak murni benar sebagai pebisnis penerbitan. Sebagian besar penerbit independen atau penerbit mandiri di Indonesia masih menggantungkan pengelolaan penerbitannya kepada penerbit berbayar ‘vanity publisher’. Jadi, untuk urusan editing, tata letak halaman, desain kover, hingga promosi dan penjualan ditangani langsung oleh si vanity publisher tadi. Adapun penulis yang mengaku sebagai self-publisher itu tinggal ongkang-ongkang kaki atau paling tidak turut berpromosi dan menjual bukunya lewat event pelatihan dan bedah buku. Pengelolaan secara bisnis penuh tidak mereka lakukan.

Karena itu, jika ada pertanyaan seperti ini: “Adakah independent publisher/self-publisher yang benar-benar murni di Indonesia dan terbukti sukses?” Saya sebagai praktisi penerbitan agak sulit menjawab atau mencarinya. Dahulu, penulis seperti Dee memulakan penerbitannya dengan cara self-publishing yaitu lewat True Dee dan terbukti berhasil dengan buku perdananya Supernova. Namun, belakangan True Dee sudah tidak ada dan penerbitannya dialihkan ke Bentang yang merupakan grup penerbit di bawah Mizan.

Penerbitan independen menjadi populer di Indonesia sejak ada lembaga-lembaga jasa penerbitan yang kemudian berubah menjadi vanity publisher tadi menawarkan para penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri dengan cara memodali editorial dan pencetakannya. Namun, hal yang keliru bahwa penerbitan tersebut masih menggunakan nama lembaga si vanity publisher yang juga menggunakan nomor ISBN milik si vanity publisher. Adapun pengertian penerbitan independen sebenarnya penulis harus menggunakan nama penerbit sendiri, memiliki nomor ISBN atas penerbitan sendiri, mengontrol semua pekerjaan editorial secara mandiri, dan tentunya juga hanya menerbitkan bukunya sendiri–tidak buku orang lain meskipun orang lain itu adalah anak dan suami/istrinya.

Jadi, penerbitan independen adalah bisnis penerbitan serius yang dijalankan secara personal oleh sang penulis tanpa ia harus bergantung dengan penerbit konvensional. Karena itu, buku-buku tentang self-publisher/independent publisher seperti karya Dan Poynter atau Maryln Rose selalu mengulas hal ini sebagai sebuah bisnis yang lengkap–mulai perencanaan naskah, pendirian penerbit dan perizinannya, editorial, hingga pemasaran diulas tuntas. Shum FP seorang doktor di bidang penerbitan dalam disertasinya bahkan menggariskan perbedaan antara self-publisher/independent publisher dan vanity publisher. Hal serupa juga ditegaskan Guy Kawasaki bersama Shawn Welch yang menulis buku Author-Publisher-Entrepreneur (APE). Kawasaki bahkan menggunakan istilah artisanal publisher untuk menyebut para penulis yang memilih jalan penerbitan independen sebagai era baru penerbitan buku.

self-publish

Saya sempat juga melakoni diri menerbitkan sendiri dan mengelola sendiri buku saya berjudul Menggagas Buku atas nama penerbit Bunaya Kreasi Multidimensi. Namun, Bunaya kemudian menjadi penerbit konvensional yang juga menerbitkan buku lainnya. Saya memulai pendirian penerbit ini bekerja sama dengan dua orang rekan lainnya dan langsung membentuk badan usaha CV. Perlunya dibentuk badan usaha/badan hukum agar bisnis kami mendapatkan legitimasi sebagai usaha penerbitan, seperti mendapatkan ISBN dari Perpusnas, mendaftar pada asosiasi penerbit (Ikapi), dan pendistribusian langsung ke toko buku.

Soal legitimasi ini yang tampaknya masih sulit sekali di Indonesia. Ikapi sendiri sebagai asosiasi penerbit mengakui keberadaan penerbit independen asalkan penerbit tersebut memenuhi kelengkapan legalitas sebuah usaha, seperti akta notaris, SIUP, SITU, dan tentunya keanggotaan ISBN internasional dari Perpusnas. Tentulah untuk hal ini, para penulis yang ingin mendirikan penerbit harus merogoh kocek buat perizinan. Pilihan paling sederhana adalah berbentuk perseroan komanditer (CV) yang juga pas sebagai usaha kecil menengah atau usaha rumahan (milik keluarga). Penerbitan pun dapat diselenggarakan dari satu kamar di rumah (home office small office).

Kesulitannya memang kalau pengurusan perizinan berlarut-larut. Pengalaman saya ketika mendirikan CV di Cimahi hingga enam bulan tidak keluar juga SIUP dan SITU untuk izin usaha saya. Entah apa yang dikerjakan Pemkot Cimahi itu, sementara mereka menggembar-gemborkan kotanya akan menjadi kota industri kreatif di Jawa Barat. Pengusaha kecil seperti saya harus menunggu lama untuk perizinan yang akan saya gunakan sebagai legitimasi penerbit.

Nah, apakah mereka yang mengaku sebagai self-publisher/independent publisher di Indonesia itu sudah memiliki legalitas sebagai penerbit yang dapat berkiprah dalam dunia bisnis lebih luas? Saya tidak yakin seperti pernyataan di awal, bahkan mungkin 95% tidak memiliki badan usaha/badan hukum (CV, Yayasan, PT) untuk menjalankan bisnis penerbitannya. Sebagian besar juga masih nebeng nama penerbit dengan nama lembaga jasa penerbitan sehingga hanya seolah-olah mereka itu penerbit independen. Ketika disodorkan untuk melengkapi persyaratan sebagai sebuah penerbit, mereka pun agak gamang karena penerbitan tidak menjadi renjana ‘passion’ dalam kariernya. Ia hanya tahu menulis buku dan soal menerbitkan diserahkan kepada orang lain yang kadang meyakinkan bahwa bukunya itu sudah sangat layak diterbitkan. Asal punya uaang, penerbitan pun menjadi gampang. Karena itu, bagi seorang penulis yang hanya menjadikan penerbitan buku sebagai hobi atau hanya ingin melihatnya karyanya terbit, menggunakan vanity publisher adalah pilihan yang lebih masuk akal daripada terjun ke bisnis langsung.

***

Penerbitan independen sebenarnya sangat ampuh untuk menggempur pasar terbatas (captive market) dan pasar ceruk (niche market) yaitu buku-buku yang hanya segelintir orang memerlukannya. Mungkin dalam hitungan 1.000 sampai dengan 2.000 eksemplar dapat terjual. Dengan memanfaatkan teknologi cetak terbatas ‘print on demand’, penulis bisa memulakan bisnis penerbitan independen tersebut dengan biaya sangat hemat dalam hitungan Rp3 s.d. Rp5 juta rupiah.

Penerbitan independen pun sangat mungkin dimulakan dari e-Book yang pasti penulis tidak perlu mengeluarkan biaya cetak. Ia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk editing, tata letak halaman, dan kover langsung kepada pekerja lepas. Ia bisa mengetes pasar bukunya lewat e-Book dan jika ada permintaan edisi cetak, ia bisa mencetaknya secara manasuka mulai 1 eksemplar hingga 200 eksemplar dengan POD.

Agar mendapatkan legitimasi tadi, tentulah penerbit independen perlu menyisihkan uang untuk biaya pengurusan legilitas perusahaan penerbitan, seperti akta notaris, SIUP, SITU, dan pendaftaran keanggotaan di Ikapi (karena sampai saat ini belum ada asosiasi penerbit independen di Indonesia yang mapan). Hal ini juga berhubungan dengan pengurusan ISBN di Perpusnas yang sudah semakin ketat dengan mempersyaratkan juga adanya akta notaris dan kelengkapan perusahaan lainnya. Hal ini memang menjadi pilihan serius bagi Anda yang memang benar-benar hendak menjadi penerbit dan menghasilkan uang dari bisnis ini atau paling tidak mengembalikan modal riset dan penulisan Anda. [BT]

©2013 oleh Bambang Trim

11 thoughts on “Legitimasi Penerbit Independen”

  1. insya Allah saya adalah penerbit independen yg sdh memenuhi perijinan, termasuk terdaftar di perpusnas. Bahkan sekarang buku sy sdh terjual tidak hanya di Indonesia. Tapi juga di Malaysia, Singapura, Kamboja, dan Thailand. Sistem promosi kami selalu below the line dan direct to customer

  2. achmad sjamsudin

    makasih pak bambang trim ulasannya. saya jadi dapat wawasan. kira-kira sampai berapa ya pak biaya ngurus legal penerbitan itu?

    1. Pengurusan legal penerbitan sangat bergantung pada daerah tempat tinggal Bapak. Nilainya bisa Rp5-Rp10 juta. Tentu yang paling murah adalah CV dibandingkan PT. Untuk start awal, kita bisa memulai sebagai CV yang banyak digunakan pada tipikal perusahaan keluarga atau perusahan UKM.

  3. saya rasa, keharusan kepemilikan akta notaris dalam kepengurusan isbn benar-benar menjadi penghalang bagi penerbitan independen, yang pada akhirnya menyebabkan istilah penerbit independen itu sendiri menjadi rancu.

    saya pribadi ingin terjun ke dalam dunia perbukuan, baik itu sebagai penulis maupun penerbit. tapi, keinginan sebagai penerbit, terkendala hal yang sama (akta notaris). mau buat cv, selain terkendala modal, saya juga memikirkan peristiwa yang menimpa penerbit ufuk. saya inginnya memegang kendali penuh terhadap penerbitan saya, sehingga tidak perlu ada pecah kongsi di kemudian hari. jadi, bentuk usaha apa yang bisa saya buat, yang syaratnya cukup satu orang sebagai pendiri, sehingga saya bisa mendapatkan akta notaris untuk mengurus isbn?

    1. Ya mungkin Perpusnas punya alasan kuat ketika ISBN dibebaskan justru banyak yang mubazir dan malah dibisniskan bagi mereka yang awam tentang penerbitan. Artinya, banyak penerbit abal-abal, bukan dalam pengertian penerbit independen/self-publisher sejatinya.

      Bagaimanapun terjun ke bisnis memang ada unsur modal yang harus disiapkan dan sebaiknya memang bukan pinjaman. Tentu modal ini dapat terkumpul dengan Anda menjadi penulis dulu, melalui royalti ataupun honor penulisan. CV itu badan usaha yang memang diplot untuk keluarga. Pengurusnya bisa Anda dan istri atau keluarga lain, tidak perlu dengan orang lain. Karena berbasis organisasi, ya jelas tidak bisa di aktanya hanya Anda sendiri, minimal harus ada dua orang direktur dan wakil direktur. Soal ini kan bisa disiasati dengan menetapkan sang wakil direktur hanya formalitas saja. Kasus seperti Ufuk itu kalau ada dua orang masing-masing sudah menyetorkan modalnya. Jelas kalau ada masalah pecah kongsi, masing-masing menuntut haknya. Kalau cuma Anda yang memodali, yang lain nggak akan berani menuntut hak (dibuat saja kesepakatan itu dengan notaris).Berbisnis dengan orang lain itu jika tidak sehati dan punya cara pandang yang sama alamat berantakan.

      Jadi, kalaupun Anda ingin berbisnis mandiri, mulai saja dari penulis mandiri yang menawarkan karya ke penerbit atau menawarkan jasa ke perseorangan/perusahaan. Dana yang terkumpul dari sana bisa untuk badan usaha/badan hukum. Badan usaha CV, badan hukum bisa yayasan atau PT.

      Bagaimana jika tanpa badan usaha/badan hukum? Ya, Anda tetap bisa berbisnis, modalnya kan kepercayaan pihak lain. Namun, untuk berbisnis lebih jauh dengan pihak lain (business to business) pasti ada tuntutan menggunakan badan usaha/badan hukum, terutama terkait proyek pengadaan di pemerintah ataupun memasukkan buku ke jejaring toko buku besar seperti Gramedia.

        1. Perpusnas tidak menyebutkan syarat perusahaan perseorangan atau bukan, hanya sebuah penerbit yang memiliki akta notaris resmi sebagai badan usaha/badan hukum, apakah itu CV, PT, yayasan, atau firma tidak menjadi masalah.

Leave a Reply to Perajin Buku Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.