Kalimat seperti judul di atas dilontarkan salah seorang peserta pelatihan editing yang diselenggarakan Intermedia dengan pemateri tunggal saya sendiri pada Senin-Selasa (16 dan 17 Desember) kemarin. Ujaran itu memang sebuah joke bahwa semakin saya membawa para peserta masuk ke dalam soal teknis kebahasaan dan editing naskah, semakin mereka menemukan ketidaktahuan.
Rupanya peserta tadi langsung menelisik karya tulis yang pernah dibuatnya dan dimuat sebuah media lokal. Ia pun tertawa kecil bahwa ternyata setelah diedit sendiri, karyanya begitu banyak mengandung kesalahan, terutama dalam berbahasa.
Memang ilmu editing yang berhubungan dengan keterampilan berbahasa adalah ilmu yang paling tidak populer diajarkan di Indonesia. Soal penerapan EYD dan tetek bengek kebahasaan lainnya pasti selalu menjadi kendala banyak orang ketika harus berbahasa tulis. Mengapa editing tidak dijadikan ilmu dasar yang diterapkan di kurikulum SD hingga perguruan tinggi?
Semestinya dalam pembelajaran menulis atau mengarang, editing (menyunting) bisa satu paket diajarkan. Ada model-model pembelajaran praktis tentang kebahasaan yang dapat dibenamkan seperti mencermati kata-kata yang salah tik, kata-kata yang hampir sama penulisannya, kata bersinonim, serta termasuk penggunaan ejaan dan tanda baca. Namun, karena umumnya pembelajaran ini tidak diajarkan secara berproses, soal editing kerap terabaikan.
Rendahnya kemampuan swasunting atau self-editing ini bisa terlihat dari tayangan tulisan-tulisan di media sosial yang umumnya tidak pernah diedit, tetapi langsung di-posting. Di blog Kompasiana paling banyak tulisan yang sebenarnya tidak layak secara kebahasaan, tetapi karena memang tidak ada penilaian tetap saja dimuat, bahkan menjadi head line. Para penulis di media sosial semakin tidak sadar bahwa sebenarnya mereka menggunakan bahasa tulis yang keliru.
Saya sendiri baru menekuni editing sejak di bangku kuliah karena kuliah saya memang ada di Jurusan Editing Unpad. Hampir setiap kuliah kami dibombardir dengan mata kuliah kebahasaan dan penulisan. Terkadang antara satu mata kuliah dan lainnya tampak saling tumpang tindih. Namun, karena dosen yang mengajarkannya berbeda, jadilah pengetahuan kebahasaan saya bertambah dalam banyak hal.
Pembagian pengetahuan atau keterampilan kebahasaan yang praktis dapat dibagi seperti ini:
- penggunaan tanda baca;
- penerapan ejaan kata-kata baku;
- penggunaan padanan kata asing;
- pemilihan kata;
- tata bentuk atau penggunaan kata-kata berimbuhan;
- tata kalimat atau pengggunaan kalimat yang efektif;
- penulisan dan penyusunan paragraf;
- karangan atau komposisi.
Pengetahuan ini menjadi dasar penerapan kerja editing pada sebuah naskah. Tanpa adanya pengetahuan dasar ini, editor tidak akan bisa bekerja secara efektif, apalagi baik dan benar.
Jalan satu-satunya bagi penulis dan editor kini memang harus mengikuti kursus-kursus nonformal di bidang editing yang kerap diselenggarakan Alinea Ikapi ataupun lembaga pendidikan semacam Intermedia. Selain itu, perlu pula membaca buku-buku tentang editing kebahasaan yang ditulis para praktisi seperti Pamusuk Eneste.
Kita tidak dapat meremehkan pengetahuan editing plus kebahasaan ini karena memang pasti akan membuat kita tidak tahu bahwa sebenarnya kita tidak tahu, dalam berbahasa tulis.
©2013 oleh Bambang Trim | Komporis Buku Indonesia | Tukang Buku Keliling

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.