Naskah menjadi bahan baku utama industri penerbitan buku. Kedudukan penulis pun sebagai penghasil naskah menempatkan ia sangat istimewa di mata penerbit. Beberapa penerbit malah mengadakan bagian akuisisi yang dijalankan editor akuisisi untuk mendapatkan penulis, sekaligus naskah.
Pada era 1970-an hingga awal 2000-an terasa sekali geliat industri perbukan di Indonesia. Geliat ini juga dipacu kiprah penerbit buku pelajaran yang bersaing menarik hati konsumen terbesar di Indonesia, guru dan siswa, untuk menggunakan buku produknya. Tidak hanya itu, lewat berbagai proyek pengadaan buku yang melibatkan swasta, industri buku di Indonesia benar-benar bergairah–di luar kontrol kualitas pengadaan buku yang terkadang kurang baik.
Era gairah itu juga mencatatkan betapa penulis baru itu lahir dengan susah payah, lalu kemudian dikenal luas oleh pembaca. Beberapa yang saya ingat ketika muncul karya-karya Emha Ainun Nadjib di Penerbit Mizan yang langsung menghentak. Lalu, ada Gede Prama yang menuliskan buku-buku renungan manajemen di Gramedia. Saya juga sempat menikmati karya Toto Tasmara, Miftah Faridl, Aa Amiruddin, dan Jalaluddin Rakhmat di bidang religi. Ada lagi Muhammad Fauzil Adhim yang memikat lewat karya-karyanya tentang keluarga.
Kemudian, muncul pula karya-karya Deddy Mulyana di bidang ilmu komunikasi dan religi. Di bidang sastra populer, muncul karya Arswendo Atmowiloto, Hilman Hariwijaya, Gol A Gong, Zara Zettira yang umumnya dilahirkan dari rahim majalah Hai dan juga majalah Gadis. Selain itu, ada pula Mira W. dan Motinggo Busye yang produktif menghasilkan novel percintaan atau karya Freddy S. yang dianggap sebagai roman picisan.
Pendeknya, saat itu mudah sekali mengenali penulis yang eksis dengan karya-karyanya tanpa bantuan media sosial seperti saat ini. Setiap bidang melahirkan penulis-penulis yang kuat.
Para penulis zaman itu memang begitu istimewa. Mereka kadang begitu setia pada penerbit pertamanya sehingga karya mereka langganan diterbitkan penerbit tersebut. Waktu itu memang belum dikenal apa yang disebut penerbitan swakelola atau swaterbit (self publisher). Tokoh penulis melakukan terobosan model ini pada tahun 1980-an tercatat adalah Iwan Gayo dengan buku fenomenalnya Buku Pintar.
Masuknya zaman media sosial, lahirnya komunitas-komunitas literasi, dan mulai bertambahnya secara signifikan para penulis serta penerbit sedikit banyak telah mengubah pola hubungan antara penerbit-penulis. Kini memang di beberapa penerbit besar, terlalu banyak penulis yang harus dilayani sehingga memang tidak mungkin seorang editor dapat intens bertemu dengan seorang penulis ataupun bisa menguatkan hubungan-hubungan lebih personal dengan penulisnya.
Dalam kacamata penerbit pun, penulis tidak dipandang sebagai mereka yang bisa menulis semata, tetapi lebih luas pada mereka yang memiliki “konten” di dalam dirinya. Jika ia tidak bisa menulis, penerbit pun akan mencari akal dengan menggunakan jasa penulis bayangan atau penulis pendamping.
Maraknya media sosial memang bisa mengangkat seseorang yang biasa-biasa saja dari kaum amah, tiba-tiba sontak terkenal (fenomena Youtube, Facebook, dan sejenisnya). Beberapa penerbit pun memanfaatkan momen ini untuk menerbitkan buku tentang sang tokoh. Di sisi lain, blog juga melahirkan banyak penulis baru, baik secara “dadakan” ataupun memang berproses. Para penerbit pun mulai mengamati mereka yang blognya mencetak hits tinggi atau mereka yang memiliki follower ribuan hingga jutaan di media sosial. Idola baru itu dianggap “pantas” untuk menulis buku.
Saya sebagai penggiat penerbit sejak 1994 dan juga mengambil studi tentang penerbitan merasakan betul perubahan-perubahan ini. Terlalu banyak penulis yang lahir dan terlalu sempit waktu untuk mendalami kekuatan mereka pada saat ini. Karena itu, ada penulis hanya melahirkan satu karya setelah itu rontok tak jelas rimbanya. Sebaliknya, ada pula penulis yang bertubi-tubi menulis buku, tetapi tak satu pun karyanya punya kekuatan pengaruh.
Dari sisi budaya literasi, hal ini tentu menggembirakan karena banyak penulis lahir. Namun, dari sisi karya laris memang hanya angka 10% yang jadi buku laris atau berpengaruh bolehlah dipercayai meski tidak selalu yang laris itu berkualitas. Jika diasumsikan terbit 30.000 judul buku per tahun di Indonesia, berarti hanya 3.000 judul yang sukses menjadi buku laris atau buku berpengaruh. Boleh jadi angka itu hanya 1% yaitu hanya 300 judul buku yang masuk kategori laris (penjualan di atas 30.000 eksemplar dalam satu tahun).
Buntut yang Makin Memanjang
Saya pernah mengulas tentang pasar buku long tail berdasarkan buku karya Chris Anderson yang telah diterbitkan Gramedia. Buku-buku long tail yang dikategorikan sebagai buku dengan pasar terbatas (captive), bahkan masuk ke ceruk (niche) mengalami pertumbuhan dahsyat, terutama dalam wujud eBook. Di sinilah para self publisher mulai berperan ketika mereka menghadapi penolakan penerbit karena bukunya diprediksi tidak akan laku.
Buku-buku kategori long tail memang benar-benar bertema spesifik, namun pembelinya dalam kisaran 1.000 eksemplar diperkirakan ada. Karena itu, cara paling efisien adalah mewujudkannya dalam bentuk eBook dan menjualnya melewati batas teritorial negara tanpa memerlukan distribusi, pengiriman, dan toko buku. Semua terjadi karena internet.
Buntut buku-buku ini pun semakin memanjang dan semakin spesifik mengulas berbagai bidang yang dulunya tidak pernah berani dilirik penerbit. Ilustrasi termudah apa yang terjadi pada saya. Saya mendalami editologi atau ilmu penyuntingan. Ketika saya menulis buku tentang penyuntingan, kira-kira siapa yang mau membeli?
Buku saya Taktis Menyunting Buku itu sangat spesifik dan diterbitkan oleh penerbit mayor (Maximalis). Buku ini sempat pula dibahas di Good Reads, namun apa yang terjadi buku ini selama tiga tahun pergerakannya melambat. Buku ini pergerakannya cepat ketika saya sendiri menjualnya lewat pelatihan-pelatihan–saya sendiri sudah menjualnya 1.000 eksemplar lebih. Orang yang memerlukannya tidak menemukan buku ini. Sebaliknya, di toko-toko buku yang memajang buku ini, orang yang lalu lalang tak tertarik membelinya.
Saya sadar terlalu memaksakan terbit di penerbit mayor karena buku tersebut pasarnya sangat ceruk: mereka yang ingin mengetahui seluk-beluk penyuntingan dan mereka yang ingin menjadi editor. Kenyatannya, sampai sekarang buku itu terjual secara daring (online) dan selalu laris setiap ada pelatihan penulisan-penerbitan. Karena itu, pada buku kedua, Tak Ada Naskah yang Tak Retak, saya menerbitkan sendiri, mengemas sendiri, dan menjual sendiri.
Pola Hubungan yang Berubah
Tulisan ini sebenarnya menggiring pembaca untuk menyadari pola hubungan yang berubah antara penerbit-penulis karena begitu banyaknya orang yang ingin menulis buku–saya kira salah satunya efek dari pertumbuhan kelas menengah Indonesia dan lahirnya orang-orang berpendidikan.
Lihat saja pascareformasi, bisnis MLM naik daun di Indonesia yang melahirkan para leader, sekaligus motivator. Awalnya mereka menggunakan buku-buku sebut saja karya Norman Vincent Peale, Zig Ziglar, Dale Carnegie, John Maxwell, Robert Kiyosaki, hingga Rhonda Byrne. Lalu, Indonesia pun melahirkan Andrie Wongso, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar sebagai penulis buku motivasi. Gelombang kedua kemudian mendorong lahirnya para penulis yang mengaku motivator, tutor/mentor, coach, dan sebutan-sebutan lainnya. Pola mereka sama, memotivasi orang untuk berbenah diri, menjadi kaya, atau menyadari tentang potensi dirinya. Fenomena ini juga melahirkan tokoh semacam Ippho Santosa dengan jualan otak kanannya.
Anda merasakan fenomena ini? Tiba-tiba semua orang menulis buku dan penerbit pun kewalahan menerima naskah-naskah. Editor tidak punya waktu lagi untuk meninjau lebih dalam naskah-naskah itu. Mereka terbelah perhatiannya antara melihat naskah masuk dan melihat peluang pada “orang-orang yang dianggap tokoh”, terutama mereka yang rajin berkicau di Twitter dengan puluhan ribu follower atau yang rajin menulis blog secara unik.
Gelombang lain akhirnya self publising menemukan momentumnya di Indonesia yang mendorong lahirnya bisnis jasa pengemasan buku, seperti Nulisbuku.com dan Leutika Prio. Pasarnya adalah para penulis yang gregetan ingin menulis buku, tetapi lewat jalur lebih pintas: menerbitkan sendiri.
Self publishing ternyata memicu ide bisnis lain di penerbit mayor. Mereka akhirnya paham bahwa ada kebutuhan untuk eksis di beberapa penulis dan hal ini pun bisa dibisniskan. Karena itu, pola hubungan pun berubah. Para penerbit menerima naskah-naskah pasar ceruk tadi dengan syarat dan ketentuan berlaku seperti ini:
- Naskah diterbitkan, penulis harus membeli bukunya antara 1.000 s.d. 2.000 eksemplar. Secara tidak langsung penulis dilibatkan untuk membiayai sendiri bukunya. Benefitnya hanyalah buku diterbitkan di penerbit mayor dan mendapatkan layanan penjualan, terutama di toko-toko buku besar. Penulis tetap mendapatkan royalti dengan besaran 7% s.d. 10%. Namun, sebenarnya pada pencetakan skala ekonomis 3.000 eksemplar, buku sudah BEP jika terjual 1.000 s.d. 1.300 eksemplar. Jadi, penulis diminta untuk membalikkan modal utama dan sistemnya cash keras. Dengan harapan bukunya terbit, penulis menerima opsi ini untuk merogoh koceknya, lalu berusaha menjualnya di luar jaringan konvensional penerbit.
- Naskah ditolak, tetapi penerbit diarahkan untuk menggunakan jasa penerbitan milik penerbit. Sebut saja Kelompok Kompas-Gramedia kini memiliki layanan Gramediana sebagai publishing service. Gramediana memiliki lini bisnis pengembangan dan penjualan eBook serta jasa penerbitan, termasuk print on demand (POD). Naskah penulis ditolak karena alasan pasar niche tadi, tetapi diberi solusi untuk menerbitkan sendiri dengan cara membayar jasanya. Tentu ini pola vanity publisher (penerbitan bersubsidi) yang akhirnya dijalankan juga penerbit besar. Seorang penulis di Surabaya yang saya temui menceritakan bagaimana naskahnya ditolak, tetapi diberi opsi (solusi) untuk ditawarkan ke Gramediana dengan pola self-publishing. Penerbit Mizan juga membuka layanan seperti ini yang ditawarkan dengan cara POD. Namun, alih-alih menyusun naskah yang niche, banyak pengguna jasa justru menulis naskah kebanyakan. Harga jual buku dengan pola POD di Mizan relatif mahal dengan harga di atas Rp50.000,00. Tentu berat menjual buku yang bukan pasar niche dengan harga premium, bahkan di atas Rp100.000.
- Naskah diterbitkan kali pertama sebagai buku digital (eBook) yang tentunya akan mengefisienkan biaya produksi penerbit dengan risiko minimal. Namun, di sini penulis harus jeli tentang eBook bahwa pada dasarnya royalti eBook harus lebih besar dari paper book (pBook) karena tidak adanya komponen biaya produksi, biaya distribusi, dan biaya penyimapan. Selain itu, harga eBook biasanya dijual lebih rendah dari pBook. Di luar negeri secara umum royalti eBook bisa mencapai 20%-25% dari harga jual.


Penerbit mayor melakukan hal ini tentu sebagai pengembangan bisnis alternatif (diversifikasi usaha) dari berbasis jualan produk ke bisnis jasa. Memang model bisnis seperti ini tentu tidak terlalu signifikan margin profitnya, kecuali jasa dikembangkan secara luas menyasar ke organisasi/lembaga.
Pola jasa ini jelas mengubah hubungan antara penerbit-penulis yang semula penulis memasukkan naskah bebas biaya, kini penulis menjadi berperan sebagai investor untuk bukunya sendiri. Itu konsekuensi bagi buku dengan latar belakang penulis yang “pemula” dalam hal menulis serta menyajikan naskah yang dianggap biasa atau dianggap terlalu ceruk pasarnya.
Umur Buku pun Diperpendek
Makin banyaknya buku dan ketatnya persaingan di rak-rak buku memaksa penerbit untuk meninjau ulang kembali target jual per judul buku. Saya pernah mengkaji hal ini sewaktu masih aktif sebagai profesional di penerbit. Umumnya kami memakai acuan tiga tahun sebagai umur buku dapat dipertahankan pada harga penjualan normal. Target BEP ditetapkan dalam setahun sehingga dapat diturunkan (break down) buku harus terjual per bulan, bahkan per hari dengan jumlah eksemplar tertentu. Dari sini penerbit harus melihat strategi penjualan pada kompetensi penulis, momentum, dan komunitas.
Saat ini, umur buku tiga tahun rasanya terlalu lama mengingat judul buku dapat bertambah 50%-100% setiap tahunnya. Konsentrasi para pemasar pun melebar sehingga wajar jika kemudian mereka hanya mengambil perhatian pada buku-buku laris yang dapat membantu target penjualan mereka.
Buku-buku yang “berulang tahun” memang harus dicegah. Saya mengetahui bahwa kini Gramedia menetapkan secara ketat bahwa buku harus habis terjual 3.000 (cetak normal) dalam jangka waktu setahun. Artinya, Gramedia mulai berpikir untuk tidak mengambil risiko buku “berulang tahun”, lalu kemudian digenjot jual obral. Fenomena ini terlihat dalam beberapa tahun bagaimana Gramedia sangat getol menggelar Gramedia Fair yang menjadi ajang penjualan obral buku-buku kelompoknya. Ngeri-ngeri sedap jika melihat sebuah buku yang tadinya berharga di atas empat puluh ribuan, tiba-tiba terjun bebas menjadi seharga Rp7.000-Rp10.000,00. Bagi para pembaca ya senang-senang saja menerima kabar buku murah ini.
Saya kira hal ini juga sudah menjadi perhatian penerbit lain. Mereka harus mengakuisisi naskah dan memastikan naskah itu bisa terjual habis dalam tempo setahun, tidak lebih. BEP dan profit harus teraih tahun itu juga. Jika buku “berulang tahun”, alamat profit akan tergerus habis, apalagi harus melepas dengan harga obral.
Satu hal yang unik di penerbit terjadi bahwa terkadang 1-2 judul buku laris atau best seller itu bisa menyubsidi ratusan judul buku yang mandek penjualannya. Buku Ippho Santosa, 7 Keajaiban Rezeki harus diakui dapat menyelamatkan cash flow buku-buku lainnya di Elexmedia. Seri buku anak KKPK Mizan dapat dibilang menjadi penopang dan “menyelamatkan” buku-buku lainnya di DAR! Mizan atau Mizan secara keseluruhan. Tentu bergantung pada judul-judul best seller ini juga berisiko tinggi. Bagaimana jika dalam setahun tidak ada penjualan buku yang best seller?
Karena itu, wajar jika penerbit mengambil haluan bermain “aman” yaitu dengan menetapkan target jual buku satu tahun ludes. Kalau tidak, jangan diterbitkan. Lalu, opsi yang diambil adalah opsi yang tadi saya sebutkan.
Pertama, tawari penulisnya untuk beli sendiri bukunya atau ditarget berapa dia mampu menjualnya. Namun, opsi dibeli sendiri lebih aman daripada ditarget. Saya soalnya punya pengalaman tidak enak soal ini. Seorang penulis yang berprofesi sebagai motivator dan trainer meyakinkan saya untuk mampu menjual bukunya 500 eksemplar. Saya pun setuju dan mencetak bukunya 2.000 eksemplar. Bukunya dibawa, uangnya sulit ditagih dan tidak jelas laku atau tidak. Pelajarannya meskipun ia motivator yang bisa memengaruhi orang, belum tentu ia bisa jualan buku!
Lanjut, opsi kedua yaitu menawari penulis untuk menerbitkan sendiri dengan bantuan penerbit. Penerbit menyediakan “rumah” dan “merk” untuk penerbitannya. Jadi, kini jika seseorang menerbitkan buku di penerbit mayor, bisa jadi bukan sebuah kebanggaan karena penulisnya yang memodalinya, bukan penerbit.
Opsi ketiga adalah menerbitkannya kali pertama dalam bentuk digital (eBook) karena tidak ada risiko pada biaya produksi. Penerbit hanya mengeluarkan biaya editorial yang dalam komponen rugi laba penerbit hanya berkisar 3%-5% dari harga pokok produksi. Jadi, biaya editorial tidaklah signifikan. Momentum pun membantu karena kini telah berdiri berbagai eBook store sehingga penerbit dapat menitipkan eBook-nya di sana, lalu mulai melihat apakah eBook menarik minat pembaca Indonesia, terutama mereka yang menggunakan tablet dan smartphone.
***
Catatan ini sekadar menjelaskan fenomena baru dalam industri buku di Indonesia. Sudah lama saya memang tidak menulis tentang fenomena di industri buku di Indonesia. Semoga membantu mencerahkan jagat perbukuan kita agar tetap punya semangat menerbitkan buku.
Salam buku!
Hak cipta © Bambang Trim 2014
PERINGATAN:
* Tulisan di dalam blog ini sebagai opini dapat dikutip. Etiket pengutipan tentu harus mencantumkan penulis dan sumber tulisan agar terhindar dari perilaku plagiat.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Terima kasih telah berbagi ilmu dan pengalaman. Semoga Allah menggantinya dg balasan yg lebih baik.
Aamiin, alhamdulillah. Terima kasih kembali.