Jika Anda menggunakan aplikasi pengolah kata MS-Word versi paling akhir, cobalah membuka fitur References. Di situ Anda akan menemukan subfitur Style yang menyajikan beragam pilihan gaya penulisan-penerbitan, seperti APA, Chicago, Harvard, MLA, dan Turabian. Ragam gaya penulisan-penerbitan yang penulis sebutkan termasuk yang populer digunakan di Indonesia.
Gaya atau style penulisan-penerbitan berhubungan dengan standardisasi yang perlu diterapkan dengan tujuan menghasilkan publikasi berketerbacaan tinggi. Penggunaan gaya pada suatu lingkungan tertentu secara khas, seragam, dan taat asas disebut sebagai gaya selingkung ‘house style’. Tidak hanya dalam lingkup bidang keilmuan, house style juga diterapkan dalam lingkup negara, lingkup lembaga/institusi, lingkup komunitas, hingga lingkup profesi.
Pemikiran soal perlunya standardisasi penulisan-penerbitan ternyata sudah dilakukan lebih dari seabad yang lalu oleh para pakar yang menyusun The Chicago Manual of Style. Sejarah dimulai pada tahun 1891 ketika University of Chicago Press—unit penerbitan perguruan tinggi di sana—mengembangkan sebuah standardisasi. Kala itu, penerbit itu telah memiliki ruang untuk susun huruf sendiri (composing room) dengan typesetter berpengalaman mengatur publikasi ilmiah yang kompleks. Para profesor membawa naskah tulis tangannya (manuskrip) langsung ke ruang susun huruf tersebut dan dikerjakan dengan saksama. Hasil dari mesin susun huruf berupa pruf, kemudian diserahkan kepada para pembaca pruf (proof reader) untuk dikoreksi. Karena merasa diperlukannya sebuah aturan, para staf yang bekerja pun lalu menyusun lembar gaya ‘style sheet’. Lembar gaya ini selanjutnya diedarkan luas kepada para akademisi di lingkungan University of Chicago.
Lembaran-lembaran itu terus berkembang menjadi sebuah pamlet. Pamlet itu pun kemudian dibukukan pada tahun 1906 dengan sebutan Manual of Style dengan ketebalan 200 halaman. Manual of Style edisi pertama ini umumnya menyajikan aturan tipografi dari sebuah naskah yang akan diterbitkan. Kini, setelah seabad berlalu Manual of Style tersebut telah memasuki edisi ke-16 yang digunakan secara luas oleh para penulis, editor, pembaca pruf/korektor, pengindeks , copywriter, desainer, dan penerbit dengan ketebalan buku cetak lebih dari 1.000 halaman.
Berikut ini materi isi The Chicago Manual of Style edisi ke-16 yang terdiri atas tiga bagian besar.
Part One: The Publishing Process
- Books and Journals
- Manuscript Preparation, Manuscript Editing, dan Proof Reading
- Illustrations and Tables
- Rights, Permissions, and Copyright Administration
Part Two: Style and Usage
- Grammar and Usage
- Punctuation
- Spelling, Distinctive Treatment of Words, and Compounds
- Names and Terms
- Numbers
- Abbreviations
- Foreign Languages
- Mathematics in Type
- Quotations and Dialogue
Part Three: Documentation
- Documentation I: Notes and Bibliography
- Documentation II: Author-Date References
- Indexes
Selain The Chicago Manual of Style yang dikembangkan dari penerbitan perguruan tinggi (university press), ada pula gaya selingkung yang dikembangkan para pakar bidang tertentu seperti Publication Manual of American Psychological Association (APA). Gaya APA banyak digunakan di bidang ilmu sains dan mulai dikembangkan pada tahun 1926. Adalah sekelompok psikolog, antropolog, dan manajer bisnis berkumpul untuk membuat semacam prosedur sederhana dan aturan gaya penulisan untuk mengodifikasi sejumlah unsur dalam penulisan ilmiah demi meningkatkan keterbacaan. Jadilah kemudian APA Style yang banyak digunakan, terutama dalam penerbitan jurnal.
Untuk bidang ilmu humaniora dikenal gaya standar yang dikeluarkan Modern Language Association yang berjudul MLA Handbook for Writers and Research Paper. Buku gaya selingkung ini diterbitkan kali pertama pada tahun 1954 yang memuat metode umum untuk mengutip, merekam, dan mendokumentasikan kutipan, fakta, opini, serta parafrasa.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah Indonesia memiliki sebuah buku gaya selingkung penulisan-penerbitan dalam lingkup negara yang dapat diacu secara luas oleh rakyat Indonesia? Pada kenyataannya tidak ada.
Jika hendak membandingkan, sebut saja Malaysia. Negara ini lewat lembaga Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (setara dengan Badan Bahasa Kemdikbud) telah mengeluarkan buku gaya selingkung berjudul Gaya Dewan sejak tahun 1987 hingga telah dikeluarkan dalam tiga edisi. Buku ini memuat perihal tata aturan penulisan-penerbitan buku, termasuk penyuntingan naskah, aturan teknis di bidang sains, dan dokumentasi. Alhasil, lembaga-lembaga negara ataupun lembaga swasta yang berkecimpung dalam bidang penerbitan ataupun melakukan kegiatan penerbitan dapat mengacu secara standar pada publikasi ini.
Jika dibandingkan The Chicago Manual of Style, Indonesia tertinggal lebih dari seabad. Jika dibandingkan Malaysia, Indonesia tertinggal 27 tahun. Lalu, mengapa hal ini merisaukan?
Bukan Tidak Mampu
Indonesia bukanlah negara yang baru kemarin sore mengembangkan dunia penerbitannya, khususnya penerbitan buku. Sejak zaman penjajahan Belanda, di Indonesia para penulis dan penerbit telah berjaya menghasilkan karya. Indonesia memiliki sebuah penerbit yang menjadi heritage hingga kini yaitu Balai Pustaka dan telah pula menghasilkan sastrawan-sastrawan brilian pada masanya.
Jadi, ketika negara ini tidak memiliki standardisasi penulisan-penerbitan sebagai gaya selingkung negara, memang mengundang sebuah pertanyaan besar. Hal ini bukan pula karena Indonesia tidak memiliki pakar di bidang ilmu penerbitan. Untuk masa tahun 1980-an saja Indonesia memiliki pakar-pakar terbaik di bidang penulisan-penerbitan, seperti Adjat Sakri, Taya Paembonan, Hassan Pambudi, Pamusuk Eneste, Frans M. Parera, Ajip Rosidi, Dadi Pakar, Mula Harahap, dan Sofia Mansoor. Nama-nama merekalah yang malang melintang menghasilkan karya tentang penerbitan pada periode 1980-1990-an.
Pada masa Orba itu bahkan ada tiga lembaga yang sangat berkompeten mengeluarkan buku gaya selingkung, yaitu Pusat Perbukuan, Pusat Grafika Indonesia, dan Pusat Bahasa. Alih-alih menerbitkan buku gaya selingkung, Balai Pustaka pada tahun 1988 malah menerjemahkan buku gaya selingkung Cambridge University Press dengan judul Penyuntingan Naskah karya Judith Butcher. Buku ini dulu penulis gunakan semasa kuliah di Program Studi D3 Editing Unpad. Pusgrafin juga tidak mau ketinggalan menerbitkan buku tentang penerbitan berjudul Penuntun Penerbitan Buku karya Datus C. Smith 1988 dan juga dua buku seri berjudul Pengelolaan Penerbitan Buku karya H.G. Andriese dkk. yang merupakan terjemahan dari karya berbahasa Jerman Basicursus Uitgeverij 1-2.
Tentu masa-masa itu Indonesia sudah sangat mampu menerbitkan buku gaya selingkung sendiri dan membuat standardisasi untuk penerbitan yang dikelola negara. Namun, entah mengapa tidak ada inisiatif kala itu hingga sampai sekarang Indonesia tidak memiliki satu buku acuan bagi aktivitas penulisan-penerbitan. Karena itu, wajar jika banyak terjadi missing link ataupun kekeliruan penerapan standardisasi dan konvensi penulisan-penerbitan di kalangan penerbit. Contohnya, yang kerap beberapa kali penulis sampaikan bahwa masih ada penulis atau penerbit yang tidak dapat membedakan preface (prakata) dan foreword (kata pengantar); banyak juga yang tidak dapat membedakan references (daftar rujukan) dan bibliography (daftar pustaka).
Banyak lagi terminologi penulisan-penerbitan yang menjadi tumpang tindih penerapannya di Indonesia. Sebagai contoh, di dunia pendidikan terdapat terminologi bahan ajar, seperti handout, modul, diktat, buku ajar, dan buku teks. Ketika penulis bertanya dalam kesempatan acara-acara pelatihan di kampus-kampus, 99% peserta tidak mampu menjelaskan perbedaan di antara bahan ajar tersebut. Ada kecenderungan semua bahan ajar dalam lokakarya atau pelatihan disebut modul. Ketika penulis menjelaskan bahwa modul adalah bahan ajar yang digunakan secara mandiri (tanpa guru/tutor/dosen) dan biasa dipakai untuk pembelajaran jarak jauh (distance learning), barulah mereka paham bahwa mereka keliru menggunakan istilah itu untuk pembelajaran tatap muka di kelas-kelas. Lalu, apa pula perbedaan buku ajar dan buku teks? Hal ini juga terkadang menjadi kerancuan bagi para penulis.
Ada beberapa penerbitan universitas yang mulai peduli akan persoalan standardisasi penulisan-penerbitan ini dan mencoba menyusun buku panduan sendiri. Namun, sepengamatan penulis beberapa buku panduan tak memuat secara lengkap dan teknis penyusunan naskah dan masih pada tataran umum seperti syarat penyajian dan kelengkapan fisik naskah (penggunaan jenis dan ukuran kertas, penggunaan jenis dan ukuran huruf/font serta spasi, jarak marjin dan teks, dll.).
Dalam lingkup kecil memang ada kemudian buku gaya selingkung penerbitan yang dipublikasikan secara luas. Contohnya yang dilakukan penerbit Grasindo dengan mengeluarkan Buku Pintar Penerbitan Buku kali pertama pada tahun 1994, lalu direvisi pada tahun 2007. Meski merupakan pedoman gaya selingkung penerbit Grasindo, buku ini sangat membantu para penulis dan editor untuk mulai menerapkan standardisasi penulisan-penerbitan. Tercatat nama-nama editor yang menggodok penerbitan buku ini, seperti Frans M. Parera, Pamusuk Eneste, Djony Erfan, A. Ariobimo Nusantara, Yani Lestari, dan Y.B. Sudarmanto.
Fenomena Kini
Hal yang merisaukan terutama terjadi di kalangan akademisi ketika mereka tidak memahami bagaimana standar penulisan dan penerapan cara-cara pengutipan, seperti catatan kaki (footnote), catatan perut (in-note), dan catatan akhir (end-note). Keadaan makin kacau ketika sebuah jurnal ilmiah mengadopsi gaya yang berbeda-beda sesuai dengan yang dituliskan penulis. Alhasil, memang terjadi kebingungan hendak mengacu gaya yang mana. Perhatikan saja beberapa terbitan dari satu penerbit dan ceklah tata cara penulisdan daftar pustakanya. Apabila semua sama, berarti penerbit tersebut sudah menerapkan satu acuan yang baku. Namun, apabila berbeda-beda, berarti penerbit memang mengadopsi apa adanya yang dituliskan penulis.
Sebenarnya tidak ada gaya yang paling baik. Hal terpenting adalah diacunya salah satu gaya secara konsisten. Jadi, sebuah penerbit, baik itu penerbit media massa atau penerbit buku dianggap kurang profesional jika ia menggunakan berbagai gaya dalam penerbitannya secara campur aduk.
Kesadaran akan hal ini syukurnya sedikit demi sedikit mulai tampak. Balai Media dan Reproduksi LIPI atau lebih dikenal dengan sebutan LIPI Press telah memulai upaya penerbitan buku gaya selingkung dengan mengeluarkan buku Pedoman Penerbitan Buku LIPI Press pada tahun 2012 yang disebarkan secara terbatas. Dalam hal ini LIPI Press memang mengalami kesulitan ketika menerima begitu banyak naskah dari para peneliti tanpa acuan standar yang pasti.
Di sisi lain, Penerbit UT (Pusat Penerbitan dan Multi Media) yang mengeluarkan modul dan buku di lingkungan Universitas Terbuka juga sedang menggodok buku gaya selingkung penerbitan sendiri. Penulis bertindak sebagai konsultan dan penyelia untuk penerbitan gaya selingkung ini, sama halnya dengan yang dilakukan di LIPI Press.
Seiring dengan sedang dibahasnya RUU Sistem Perbukuan Nasional yang telah masuk program legislasi nasional tahun 2014, keberadaan buku gaya selingkung secara nasional sudah sangat mendesak. Ikapi tentu dapat berinisiatif menerbitkan buku semacam ini dengan menyebutnya sebagai Buku Panduan Gaya Penerbitan Ikapi atau tajuk lainnya. Tentulah sumber daya Ikapi sangat mampu untuk melakukan hal ini.
Jika sampai kini Indonesia tak memiliki buku pedoman gaya selingkung secara nasional, memang miris sekali—terpaut seabad dari Amerika dan dua dekade dari Malaysia. Miris karena orang-orang pintar terus bertambah di negeri ini, tetapi dunia penerbitannya mandek dari sisi pengembangan ilmu penerbitan (publishing science). Dan kemudian terjadilah kesimpangsiuran standar penulisan-penerbitan yang lebih kompleks pada era media sosial kini.[]
Hak cipta © Bambang Trim 2014

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
terima kasih informsinya. itu bingung, yang saya rasakan. mau berkiblat kemana, pada siapa?
Iya Pak bisa dirasakan kebingungan itu. Karena itu, beberapa lembaga mulai menyusun gaya selingkung sendiri.
Trims, Mas Bambang. Ini tulisan penting yang layak diangkat pada perhelatan seperti Kongres Bahasa.
Sama-sama Mbak Uum … semoga mulai ada aksi untuk ini.