Cimahi, Manistebu.com | Dosen saya di Subprodi Editing Unpad, Ibu Sofia Mansoor, menyatakan ketidaksetujuannya ketika saya menggunakan istilah resensator untuk menyebut peresensi atau penimbang buku. Duh, saya juga menemukan istilah ini melalui googling, memang tidak saya temukan di KBBI.
KBBI edisi keempat hanya mencantumkan kata peresensi di bawah lema resensi. Istilah resensator tampaknya mengikuti pola istilah plagiator atau koruptor–terkesan memang dipaksakan atau diada-adakan.
Kata resensi sendiri dipungut dari bahasa Belanda recensie yang juga dipungut dari bahasa Latin recenseo bermakna memeriksa kembali atau menimbang. Lalu, dalam dunia pers, kata ini berarti sebuah tulisan yang bersifat informatif sekaligus kritis tentang buku, film, pertunjukan, musik, drama, atau karya seni lainnya. Berbeda halnya dengan bahasa Inggris yang menggunakan kata review.
Dalam sebuah tulisan yang dihimpun Christianto Wibisono pada buku berjudul Pengetahuan Dasar Jurnalistik (Media Sejahtera, 1991), Alfons Taryadi menyebutkan bahwa kata review digunakan untuk membedakannya dengan criticism (kritik). Artinya, jika kita membaca sebuah resensi novel (karya sastra) belum tentu itu adalah sebuah kritik sastra. Review lebih dianggap sebagai reportase yang melukiskan “apa, siapa, di mana, kapan, dan bagaimana”-nya suatu peristiwa kesenian. Adapun kritik adalah suatu evaluasi, penilaian, yang mengundang pendapat dari penulisnya tentang suatu karya seni seperti buku. (h. 101)
Mengutip Llewellyn Jones, Alfons menuliskan, “Kalau Anda membaca sebuah buku dan menulis ringkasan sambil menceritakan bidang yang dilingkupinya dan mungkin mencatat tentang gayanya, maka Anda menulis sebuah review. Tetapi kalau Anda bicara tentang buku itu dari segi pandangan Anda, kalau Anda mengatakan apakah menurut anggapan Anda buku itu baik atau jelek, dengan mengemukakan alasan-alasan mengapa Anda berpendapat begitu, maka Anda menulis sebuah kritik.”
Sisi lain–seperti yang terbanyak digunakan para praktisi jurnalistik–Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan review bersifat informatif sekaligus kritis. Alhasil, memang perbedaan resensi dan kritik menjadi tidak begitu jelas. Namun, saya pribadi tetap menggunakan pendekatan kedua bahwa resensi buku atau book review tetap merupakan gabungan informasi dan kritik meskipun kadar kritiknya tidak sebanyak sebuah tulisan yang benar-benar disebut “kritik”.
Buku yang Pantas Diresensi
Apakah semua buku pantas diresensi? Sebagai sebuah pandangan subjektif peresensi, resensi buku cenderung mendorong orang untuk membaca buku yang diresensi. Karena itu, ada anggapan bahwa buku yang patut diresensi adalah buku yang memang benar-benar perlu dibaca oleh masyarakat pembaca. Adapun buku yang buruk, tidak perlu diresensi.
Namun, seorang peresensi boleh jadi hanya memandang penulisnya ketika meresensi, bukan bukunya. Suatu saat penulis tersebut menghasilkan karya yang tidak biasa, lalu peresensi pun menimbang bukunya dan berpendapat bahwa buku tersebut adalah buku “terburuk” dari keseluruhan karya si penulis. Artinya, buku yang buruk diresensi karena memandang penulisnya yang selama ini dikenal menghasilkan karya berkualitas.
Saya memang pernah mendapati sebuah karya novel dari seorang penulis ternama dan jelas saya kecewa membaca novel tersebut karena tidak mencerminkan bahwa dia yang menuliskannya–dibandingkan karya sebelumnya. Nah, buku seperti ini sangat mungkin menarik untuk diresensi dan alih-alih merekomendasikan orang untuk membaca, peresensi lebih banyak melontarkan kritik bahwa buku ini terlalu banyak kelemahannya.
Sebuah resensi memang pada akhirnya adalah sebuah opini atau pendapat subjektif peresensi tentang sebuah karya. Pendapat ini bukanlah pendapat yang menjatuhkan, melainkan pendapat yang memberi pertimbangan kepada pembaca apakah ia perlu membaca atau menikmati karya tersebut dari sisi keinginan dan kebutuhannya. Artinya, sebuah “kecerdasan” menimbang memang diperlukan bagi seorang peresensi buku.
Resensi Buku dalam Media Massa
Rubrik resensi buku di segelintir media massa masih ada walaupun terbatas. Berbeda halnya pada masa dulu ketika media massa cetak berkala masih berjaya, rubrik tentang buku diberi kapling satu halaman penuh.
Salah satu media yang pernah konsisten menyajikan rubrik tentang buku adalah Media Indonesia. Selain itu, ada juga Koran Tempo yang pernah menyajikan suplemen Ruang Baca (kini sudah tiada).
Bagaimanapun resensi buku bukan sekadar menyajikan informasi dan kritik buku dari wartawan media itu atau dari penulis lepas, melainkan juga menunjukkan ciri keintelektualan suatu masyarakat yang memerlukan rekomendasi bacaan yang baik.
Pada sebuah kapling yang besar seperti satu halaman di media massa, Anda akan melihat ada resensi utama dengan ulasan panjang dan ada kolom yang memuat beberapa buku secara informatif (tanpa kritik). Helen E. Haines menyebutkan bahwa resensi melingkupi macam-macam bentuk tulisan, dari yang berupa tinjauan kritis ilmiah sampai pada yang berwujud ulasan pendek yang ditulis dengan buru-buru oleh seorang wartawan.
Anda dapat melihat beberapa resensi yang ditulis secara “serius” yaitu yang ada di Kompas dengan kapling mencapai setengah halaman atau seperempat halaman. Para peresensi yang berhasil menembus Kompas tentu menaikkan gengsi mereka sebagai penulis resensi. Begitu pula yang disajikan majalah Tempo dengan salah satu peresensi andalnya Mayong Suryo Laksono atau Leila S. Chudori dengan karya resensi filmnya yang selalu menarik hati.
Dicari Peresensi Andal
Resensi buku sebagai sebuah karya juga memunculkan banyak perensi dengan berbagai gaya. Kini peresensi yang andal semakin langka karena mungkin banyak para penulis tak lagi melirik ranah berkarya pada resensi ini. Artinya, ada penulis resensi, tetapi jarang yang menjadikannya sebagai sebuah pekerjaan terusan.
Saya ingat bagaimana dulu majalah Matabaca yang sudah mati pernah melahirkan begitu banyak peresensi dengan bahasan yang kritis. Saya sendiri meski pernah menulis resensi dan beberapa kali juga sempat vakum.
Sebuah resensi yang mirip esai sempat saya tulis di Kompasiana baru-baru ini untuk buku karya Gustaaf Kasno berjudul Gara-gara Alat Vital dan Kancing Gigi: Bunga Rampai Bahasa. Resensi ini menjadi headline di Kompasiana.
***
Penerbit memang menyediakan sekian persen buku contoh untuk promosi, termasuk resensi. Terkadang penerbit tidak hanya menyediakan buku, tetapi juga honor untuk peresensi buku yang karyanya dimuat di media massa. Jelas, buku yang diresensi akan sedikit mendongkrak informasi tentang buku dan “kebaikan” buku untuk dikoleksi atau dibeli.
Karena itu, dalam anggapan penerbit, resensi buku itu masih berpengaruh. Dalam anggapan media massa, resensi buku itu pun tetap perlu. Dalam anggapan para praktisi perbukuan, para peresensi buku yang andal harus terus dilahirkan. Jadi, masuknya teknik penulisan resensi sebagai submata pelajaran bahasa Indonesia tetaplah penting dalam upaya meningkatkan minat membaca sekaligus keterampilan berpendapat. []

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.