Jika Anda membayangkan bisa mencetak buku semudah atau secepat fotokopi, lalu mendapatkan hasil seperti cetak offset, print on demand (POD) adalah jawabannya. Meskipun sudah berumur lebih dari satu dekade, teknologi ini masih juga belum populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Saya harus menuliskan kembali tentang POD ini atau sering saya sebut pencetakan manasuka agar dapat memberi jawaban pada setiap pertanyaan yang dilontarkan kepada saya. Â Kali pertama saya mengetahui POD ini ketika dibahas dalam sebuah seminar sekitar tahun 1998 yang diselenggarakan rekan dari Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan yang waktu itu masih bergabung dengan Pusat Grafika Indonesia (Pusgrafin).
POD adalah revolusi cetak setelah digital printing yang membuat aktivitas mencetak dokumen seperti buku hampir sama dengan menggunakan printer rumahan/kantoran atau juga sama dengan fotokopi. Keunggulannya biaya sangat efisien.
Jadi, POD tidaklah sama dengan digital printing yang lebih populer dan menjamur di Indonesia, terutama untuk mencetak poster ataupun bahan-bahan promosi. POD lebih dikhususkan untuk mencetak dokumen-dokumen pada pasar akademis, seperti buku, prosiding, makalah seminar, dan laporan penelitian.
Mengapa POD? POD jelas menjadi solusi untuk mereka yang hanya memerlukan oplag cetak kecil antara 1 s.d. 200 eksemplar. Biaya cetak 1 eksemplar sama dengan biaya cetak 100 eksemplar per satuannya. Jadi, model cetak ini sangat membantu akademisi untuk mencetak buku atau dokumen sesuai dengan kebutuhan, contohnya jika mereka harus memenuhi syarat cetak sebuah buku versi Unesco yaitu 50 eksemplar. Bandingkan dengan cetak offset yang terkena minimal cetak atau skala ekonomis 1.000 eksemplar. Peluang inilah yang kemudian dilihat para pengembang teknologi cetak manasuka ini, terutama adanya pasar akademis yang hanya memerlukan cetak jumlah terbatas secara berkualitas dan cepat. Selain itu, POD juga solusi untuk pencetakan buku-buku back list atau buku-buku yang sudah tidak diterbitkan lagi, sedangkan permintaan masih ada dalam hitungan puluhan hingga seratus eksemplar. Dalam format layanan masa depan, konon TB Gramedia juga akan menyediakan jasa ini untuk mencetakkan buku-buku lama yang hendak Anda beli. Jadi, pesan satu eksemplar, tetap akan dilayani cetaknya.
Benarkah cetaknya sekualitas offset? Sepanjang pengalaman saya, hasil cetak POD memang sekualitas offset meskipun terkadang pada penggunaan raster tidak sebaik offset. Untuk itu, hindarkan layout buku atau dokumen menggunakan raster dengan ketebalan kurang dari 30% atau sebaiknya Anda tidak menggunakan raster. Secara keseluruhan hasil cetakan sangat baik seperti hasil printer laser dan pencetakan kover buku juga sangat baik dengan laminating dop ataupun laminating glossy yang sama dengan cetak offset. Buku Writerpreneur ini dicetak dengan POD.
Beberapa percetakan kecil yang biasa menggunakan mesin cetak Toko ataupun mesin cetak offset skala kecil dan menengah mulai mengalihkan investasinya ke mesin POD ini. Ya, jika saja saya masih berada di MQS Publishing, tentu saya juga sangat berminat mengganti mesin offset di MQ Printing menjadi POD ini.
Berapa biaya POD? Jika Anda telusuri situs-situs penyedia jasa POD (umumnya berpusat di Jakarta, Bandung, dan kota di Jawa Tengah), ada yang menyebutkan angka nyata yaitu per halaman A5 sebesar Rp85 (sangat bergantung pada pergerakan harga kertas) dengan menggunakan kertas book paper atau HVS (biasanya HVS lebih mahal). Jadi, jika Anda mencetak buku dengan 64 halaman, harganya adalah Rp5.440 (Rp85/hlm.) ditambah cetak kover (Art Paper 230 gr.) sebesar Rp12.000. Jadi, harga cetak riilnya Rp17.440,00. Anda tinggal menghitung bujet, untuk cetak 100 eksemplar berarti harus mengeluarkan dana Rp1.744.000,00. Harga cetak untuk ukuran B5 dan A4 tentu berbeda dan lebih mahal sedikit.

Berapa lama waktu cetak POD? Cetak POD pada dasarnya relatif lebih cepat karena teknologi in-line printing yaitu dari file komputer (PDF) langsung cetak dan langsung terjilid. Namun, tetap hitungan waktu ini sangat bergantung pada penuh tidaknya pencetak melayani pelanggan. Jadi, cetak hanya 50 eksemplar relatif bisa dilakukan dalam satu hari. Saya telah membuktikan beberapa pekerjaan mendadak yang dapat dikerjakan dalam satu hari untuk hitungan 50 s.d. 100 eksemplar.
Bagaimana mesin cetak POD? Mesin cetak POD adalah khusus dan berbeda dengan mesin digital printing atau mesin cetak offset. Merek populer salah satunya adalah keluar HP yaitu HP Indigo. Harga mesin ini sekitar Rp3 miliar. Jadi, cukup mahal jika Anda ingin berinvestasi. Namun, tentu menjadi peluang jika Anda bisa menarik kebutuhan kampus ataupun pemerintahan menggunakan sarana ini. Beberapa pencetak yang memiliki mesin POD ini yaitu Gramedia Printing dan Kanisius (Jogja). Selain itu, ada pula university press yang memilikinya, seperti IPB Press dan Polimedia Jakarta.

Apakah bisa cetak berwarna? Mesin POD dapat mengakomodasi pencetakan berwarna meskipun ada mesin yang hanya bisa mencetak hitam putih. Tentu harga cetak berwarna jauh lebih mahal daripada harga cetak hitam putih.
Bagaimana sistem pembayaran jasanya? Karena model cetak terbatas dengan oplag kecil, biasanya pemilik jasa atau pencetak memberlakukan sistem pembayaran di muka. Jadi, tidak seperti pencetak offset ketika pelanggan dapat membayar uang muka lebih dulu.
Apakah POD cocok untuk self-publisher? POD cocok untuk self-publisher yang menerbitkan buku sendiri. Namun, perlu diingat bahwa harga satuan eksemplar POD bisa 3-4 kali lipat lebih besar dari satuan cetak offset. Jadi, Anda hanya bisa menggunakan perhitungan maksimal 2 kali harga pokok produksi (hpp) untuk harga jual eceran buku Anda. Contoh, pada perhitungan sebelumnya dengan harga cetak Rp17.440,00, tentu Anda hanya bisa menjual buku setebal 64 hlm. seharga Rp36.000,00. Kecuali buku Anda benar-benar untuk pasar captive (terbatas), Anda bisa menjualnya sedikit di atas rata-rata harga pasar, contohnya 3 x hpp. Dari perhitungan ini maka self-publisher yang menggunakan POD hanya efektif menjual bukunya secara langsung ke pelanggan (direct selling) dan tidak menggunakan unsur diskon. Anda tidak mungkin mencetak POD, lalu menjualnya di toko buku yang meminta diskon 35%-40%, laba Anda akan tergerus habis.
Di mana saya dapat menemukan jasa POD? Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, Anda dapat menemukan jasa POD di beberapa pencetak, seperti Gramedia (Jakarta), Kanisius (Jogja), IPB Press (Bogor), dan Polimedia (Depok). Di Bandung ada Print Co dan di daerah Depok pada sepanjang jalan Margonda juga terdapat percetakan yang menawarkan jasa ini.
Bagaimana saya bisa mengorder cetak POD? Anda hanya perlu menyiapkan file PDF naskah yang akan dicetak dengan pilihan kualitas cetak. Pastikan file Anda adalah file terakhir dengan penataletakan yang tepat (terutama soal marjin). Mintalah masukan dari kalangan profesional soal tata letak ini. Selanjutnya, Anda tinggal mengorder cetak sesuai dengan oplag/tiras yang Anda inginkan.
Bagaimana saya bisa mendapatkan layanan ini secara terpadu dari editing hingga file siap cetak? Untuk hal ini Anda tinggal hubungi jasa kami di DetiKata Media atau TrimKom 022-6641607. Kami akan membantu Anda menyiapkan file siap cetak menjadi buku atau dokumen secara profesional (editing-layout-desain kover) dan menguruskan pencetakan POD berikut pengirimannya ke kota Anda.
Semoga bermanfaat untuk Anda tentang rahasia POD ini. Selamat berkarya! 🙂

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Kalau saya punya naskah (fiksi atau non-fiksi) lalu dijadikan buku dan di cetak melalui POD ini, tanpa ada ISBN?
Dibolehkan tidak kalau untuk dijual?
Tidak ada larangan buku tidak ber-ISBN dijual. Namun, UU Nomor 3/2017 menyebutkan buku harus ber-ISBN dalam konteks legalitas yang diakui. Tapi, secara bisnis tidak berpengaruh.
Pak Bambang, saya 71th, menulis antara 1994-2023 dengan jumlah buku sedikit dibawah prestasi Bapak. Bersertifikat Penulis Non Foksi lewat Andi Offset. Memiliki jasa Adi Kusriantio Literary Agent, juga sebagai ghost writer dan Associated Editor. Ingin belajar banyak dari Pak Bambang Trim. Saya mulai membaca buku bapak sejak Elegi Gutterberg. Salam.
Salam Pak Adi, luar biasa Pak. Wah, saya yang harus belajar banyak dari Bapak. Buku Elegi Gutenberg karya Mas Putut Widjanarko, Pak. Dulu Direktur Mizan.