Beberapa waktu lalu saya bertanya sebagai survei kecil-kecilan kepada teman-teman Facebook tentang hubungan kopi dan menulis. Jawabannya bervariasi. Dari soal kopi yang memang jadi sugesti atau pelecut ide-ide mereka, sampai soal tidak berpengaruhnya kopi terhadap aktivitas menulis mereka. Bahkan, di antaranya hanya menjadikan kopi sebagai penghambat kantuk sebagaimana lazimnya khasiat kopi kerap disebutkan.
Bagaimana dengan saya sendiri? Kopi telah akrab dengan kehidupan saya tampaknya sejak SMP ketika saya tertarik dengan kopi sidikalang cap Kingkong yang selalu dibeli ayah saya di kota Tebingtinggi. Saat SMA, ketika belajar atau mengerjakan sesuatu, kopi menjadi teman setia. Kini saat menulis, kopi selalu tersaji, bahkan pagi, siang, dan malam dan tentu selalu ada yang memberi warning tentang kelebihan saya menenggak kopi. 🙂

Namun, memang kopi tidak sekadar sugesti, tanpa kopi pun, penulis seperti saya yang kerap diburu deadline harus tetap menulis. Begitupun soal suasana, di tengah-tengah keramaian pun saya harus bisa menulis. Justru yang paling penting dalam menulis kini adalah colokan alias steker listrik mengingat baterai laptop yang hanya bisa tahan dua jam. Adapun menulis bisa dilakukan berjam-jam.
Kopi apa pilihan saya? Saya tidak paham perubahannya. Awalnya saat mulai bekerja sebagai editor, saya sangat menyukai kopi susu atau kopi dengan creamer. Namun, sejak dua tahun terakhir ini saya kembali pada kopi hitam sejati. Saya tidak menyukai kopi yang terlalu murni seperti Nescafe karena menurut saya rasanya seperti obat batuk. Karena itu, saya lebih memilih kopi Kapal Api atau kini cap Ayam Merak yang menurut saya rasanya lebih bisa dipertanggungjawabkan saat menulis. Hehehe.
Bagaimana dengan pengalaman ngopi? Tentulah setiap perjalanan ke daerah-daerah di berbagai kota Indonesia, saya sempatkan untuk menikmat kopi meskipun tidak harus. Contohnya, di Aceh, entah sudah berapa kali saya nongkrong di kedai kopi Ulee Kareng. Bukan untuk menulis, tetapi lebih banyak mengobrol.
Dari kedai ke kedai di Aceh yang terdengar adalah dengungan obrolan dengan volume tinggi-rendah seperti mendengar dengungan tawon. Dan ajaibnya mereka semua ngopi! Termasuk anak-anak muda yang juga ikut ritual ngobrol ini. Di benak saya muncul pertanyaan: Kapan kerjanya orang-orang ini? Ya kerjaannya berpindah dari satu kedai ke kedai lain dan kopi adalah “sesajen” untuk bisa memicu obrolan–bahkan obrolan tingkat tinggi soal kabinet (bukan lemari susun).
Kembali pada soal menulis, kopi memang memberi jeda bagi saya dalam satu tegukan demi tegukan ketika ide-ide memuncak. Alhasil, kafein di dalamnya memang bersinergi dengan pikiran untuk memilih dan memilah kata. Begitupun saat mengedit tulisan, saya (jika memang ada), memerlukan secangkir atau semug kopi panas.
Bagi yang hendak mengirim kopi, silakan kirim ke rumah atau kantor saya. Hehehe. Salam kopi! [BT]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Kalau saya malah hampir tidak pernah minum kopi,pak. Selalu kembung rasanya kalau minum kopi. Memang tidak mau kecanduan juga. Tapi namanya orang beda-beda sih. Saya minum air putih aja cukup. hehe
Oh ya, ada tipe yang sensitif terhadap minuman yang satu ini. Minum air putih lebih sehat. Hehehe