Ada rentetan peristiwa menarik dalam dua bulan terakhir ini terkait industri kreatif perbukuan nasional. Pertama, adalah kunjungan delegasi Indonesia meninjau Frankfurt Book Fair 2014 di Frankfurt, Jerman bulan Oktober kemarin. Kunjungan ini merupakan langkah bersiap untuk menjadi tamu kehormatan (guest of honour) pada ajang Frankfurt Book Fair 2015 kelak. Pertanyaan yang tersisa dari kunjungan itu: Benar-benar siapkah Indonesia?
Peristiwa kedua adalah dinamika politik tanah air sehingga mengesahkan pemerintah baru Jokowi-JK yang dilantik sebagai presiden dan wakil presiden juga pada Oktober 2014. Jokowi-JK memaklumkan terbentuknya Kabinet Kerja. Implikasi paling dirasakan di dunia industri buku nasional adalah pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Kebudayaan dan Dikdasmen serta adanya Kementerian Ristek dan Dikti. Di samping itu, Kemenparekraf yang sebelumnya juga mengurusi ekonomi kreatif berubah menjadi Kemenpar saja yang kini dipimpin Arief Yahya.
Keberuntunan ini pun ditambah dengan berlangsungnya ajang pameran buku terbesar di Indonesia pada awal November 2014, tepat 1 s.d. 9 November yaitu Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014. Tidak tanggung-tanggung, event yang semula mengundang tamu kehormatan dari daerah, kini mengundang tamu kehormatan lintas negara. Adalah Arab Saudi yang menjadi tamu kehormatan IIBF 2014 ini. Bahkan, turut pula berpartisipasi negara lain, seperti Cina, Korea, dan Pakistan, termasuk booth penyelenggara Frankfurt Book Fair sendiri. Aroma internasional benar-benar terasa.
Rangkaian peristiwa ini seperti berkelindan jika menyelisik tentang nasib industri buku kita sendiri. Industri buku Indonesia sedang menghadapi kondisi stagnan. “Kemesraan” kalangan penerbit buku dengan pemerintah, khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam beberapa tahun ini hanya tinggal cerita karena pemerintah mengambil alih upaya-upaya penerbitan buku, khususnya buku teks (pelajaran). Begitupun gairah proyek-proyek buku bacaan di luar buku teks sempat menurun yang biasanya dikoordinasikan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Nasional (Puskurbuk) di bawah Kemendikbud. Semua berimbas hingga industri buku di Tanah Air ini seperti kekurangan darah.
Kalangan perbukuan seperti tidak memiliki induk lagi untuk membina industri kreatif ini bersama-sama pemerintah, termasuk juga tidak bisa mendapatkan pembinaan dari Kementerian Perindustrian–karena jelas kementerian ini bersifat umum. Lalu, bagaimana dengan Kemenparekraf? Setali tiga uang bahwa industri buku belum sepenuhnya dilirik dan dirangsang untuk maju, kalah dengan industri kerajinan ataupun industri perangkat lunak. Coba saja lihat bagaimana pameran buku skala besar ini (IIBF) “tersingkir” ke Istora Senayan dan sampai kini sulit kembali ke JHCC yang jelas lebih representatif untuk event skala internasional.
Industri yang digadang-gadang sebagai garda terdepan pencerdasan bangsa dan ciri intelektual bangsa ini justru berjuang sendiri untuk tetap eksis. Beberapa pengusaha penerbitan buku malah mulai mengalihkan usahanya ke bidang lain karena menganggap buku sudah “tidak seksi” lagi. Di sisi lain, muncul gerakan self-publishing dan penerbitan indie di kalangan anak-anak muda yang kadang melawanmainstream penerbitan secara umum. Namun, mereka pun tidak mendapatkan pembinaan yang semestinya.
Puncaknya, RUU Sistem Perbukuan Nasional yang awalnya hendak dituntaskan anggota DPR periode lalu pun mengalami nasib terkatung-katung dan belum juga disahkan sebagai Undang-undang. Mau berharap dengan DPR yang kini? Mereka belum juga bekerja. Ya, di dalam RUU sempat tersurat akan adanya Badan Pengembangan Perbukuan Nasional yang langsung berada di bawah Presiden. Ketua dan anggotanya dipilih dari orang-orang yang berkompenten di bidang perbukuan. Tentu ada harapan kalangan industri buku jika badan ini benar-benar direalisasikan paling tidak ada kepanjangan tangan pemerintah untuk menggairahkan industri perbukuan nasional.
Menyambut Badan Ekonomi Kreatif
Tiba-tiba kabar itu meluncur dari Menpar, Arief Yahya. Sebuah pertanyaan memang muncul ketika kata “ekonomi kreatif” dihilangkan dari jabatan menteri mantan petinggi Telkom itu. Rupanya, Presiden Jokowi akan segera membentuk Badan Ekonomi Kreatif langsung di bawahnya. Alasannya, Presiden hendak menjadikan badan ini benar-benar serius menangani industri kreatif di Indonesia.
Kabar ini jelas menjadi salah satu titik cerah bagi industri perbukuan sendiri. Paling tidak, pencanangan Indonesia sebagai tamu kehormatan di ajang pameran buku terbesar sejagat, FBF 2015, benar-benar mendapat perhatian badan ini dan langsung bertindak taktis untuk menutup beberapa kekurangan, terutama soal koordinasi. Trio menteri (Menbuddikdasmen, Menristekdikti, dan Menpar) bisa bersinergi untuk menata kembali panitia yang akan menangani proyek unjuk kreativitas Indonesia ini di ajang internasional FBF tersebut, tentunya juga dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dunia buku, khususnya Ikapi.
Bukan apa-apa. Soal kesiapan Indonesia di FBF 2015 memang mengundang kecemasan tersendiri mengingat Indonesia akan menjadi sorotan dunia literasi internasional. Mereka ingin tahu apa yang akan dipamerkan negeri yang mengusung tema “17.000 Islands of Imagination” ini. Jangan sampai tentunya menjadi “pepesan kosong” karena yang dipamerkan tidak mencerminkan temanya.
FBF 2015 juga harus dipahami bukan hanya sebatas pameran industri buku, melainkan pameran jati diri bangsa Indonesia secara luas yang terkemas dalam buku. Dari sini Indonesia bisa mempromosikan diri sebagai negara yang layak dikunjungi siapa pun, baik untuk wisata, penelitian, maupun belajar.
***
Terbetik kabar hari ini beberapa menteri akan mengunjungi IIBF 2014 di Istora Senayan, di antaranya Menpar, Arief Yahya dan Menbuddikdasmen, Anies Baswedan. Kedatangan kedua tokoh ini bak embun yang menetes di daun kering bagi kalangan perbukuan, khususnya Ikapi. Ada harapan Menpar dan Menbuddikdasmen mau mendengarkan semangat industri perbukuan ini untuk tetap eksis pada zaman yang tidak terlalu bersahabat–penetrasi digital, persoalan minat baca, hingga persoalan harga kertas dan perlindungan hak cipta.
Nasib industri buku terlalu “mahal” untuk dibiarkan karena inilah industri penopang intelektualitas bangsa. Sebuah adagium yang sangat menohok: “Kedekatan masyarakat suatu bangsa terhadap buku berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat bangsa tersebut.” Ya, jangan bermain-main dengan industri buku sehingga patutlah Badan Kreatif bentukan Presiden Jokowi pun mengambil langkah monumental dari sini.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Saya melihat Indonesia Book Fair dari tahun ke tahun justru semakin sepi. banyak stand/booth yang kosong. bahkan jika dibandingkan dengan saudara mudanya, Islamic Book Fair, dari segi peserta dan pengunjung kalah jauh. Apakah anda merasakan fenomena serupa?
Saya berpendapat Islamic Book Fair yang seharusnya segera pindah ke JCC karena setiap kali acara tersebut digelar selalu penuh sesak oleh pengunjung.
Indonesia Book Fair adalah event perbukuan pertama yang diadakan Ikapi Pusat. Jadi, ini semacam ikon perbukuan nasional dan tahun lalu event ini masih mencatat kunjungan 150.000 ribu orang. Berbeda halnya dengan Jakarta Book Fair atau kini berubah menjadi JakBook Festival dan Islamic Book Fair yang diadakan Ikapi Cabang DKI Jakarta. Mungkin yang Anda maksud adalah JakBook Festival yang sempat pindah tempat ke FX Sudirman dan makin sepi pengunjung. Tahun ini bahkan Indonesia Book Fair mendapatkan tamu kehormatan dari Arab Saudi dan juga diikuti negara-negara lain.
Soal Islamic Book Fair yang berpindah ke JCC itu domain Ikapi Cabang DKI dan memang pangsa pasar untuk event ini sudah terdefinisi jelas untuk kaum Muslim. Penjualan buku agama Islam masih menempati peringkat tiga besar dalam industri perbukuan. Terima kasih.