Manistebu.com | Pernah mengalami buku Anda diobral hingga setengah harga jual atau bahkan seperempatnya? Kejadian yang tidak diinginkan para penulis ini pun menimpa saya. Bahkan, saya mengalami buku diobral sampai seperempat harga!
Jika Anda mengalaminya, camkan saja bahwa penjualan setengah harga masih menyisakan profit bagi penerbit sedikit dan itu juga dilakukan untuk (biasanya) menghabiskan stok. Jika buku Anda dijual dengan diskon 70%, boleh juga karena cuci gudang sisa stok atau karena buku Anda memang sudah tidak laku-laku. Penerbit hanya berharap ongkos cetak yang sudah dikeluarkannya dapat kembali. Hal ini masih “bukuwi” daripada kemudian ditimbang dan dihitung per kilo untuk kemudian didaur ulang.
Lucunya, kerap terjadi buku-buku obral itu saya beli kembali sebanyak-banyaknya, lalu di kegiatan pelatihan yang saya isi, saya menjual lagi buku-buku tersebut dengan harga aslinya dan biasanya ludes. Asumsi saya bahwa buku tidak laku karena tidak berjumpa dengan pembeli potensialnya berlaku :). Di sinilah tampak bahwa sebuah buku yang tidak laku, padahal punya topik dan segmen pembaca spesifik, sebenarnya masih memiliki daya jual jika memang penerbit jeli.
Satu hal yang patut menjadi perhatian juga tentang hak penulis terhadap buku-buku obral tersebut. Jarang memang penerbit mencantumkan klausul buku obral pada perjanjian penerbitan, padahal hal ini juga penting untuk keadilan bagi penerbit. Artinya, dalam periode penjualan tertentu apabila buku tidak terjual sesuai dengan target, penerbit pun berhak menjual buku dengan harga obral. Untuk kejadian itu, royalti yang dibayarkan pun akan mengikuti royalti harga obral.
Namun, yang sering terjadi ya seperti the show mas gogon …. Obral dilakukan, tetapi penerbit tidak melaporkan ke penulis dan laporan yang pasti adalah tidak ada royalti lagi alias terasa hubungan langsung diputus. Ya, soalnya buku nggak laku mau diapain lagi. Penulis tinggal mengurut dadanya.
Jika dulu obral dilakukan paling tidak dalam rentang tiga tahun buku tidak habis atau bersisa banyak, sekarang makin “mengharukan”. Buku diobral pada tahun yang sama saat diterbitkan. Artinya, begitu tega buku baru itu sudah dinyatakan bad stock. Lalu, pertanyaannya: Untuk apa para editor meloloskan naskah yang sudah berbau tidak laku itu atau mengapa penerbit oke-oke saja menerbitkannya? Ya, tanya saja pada “rumput yang bergoyang”.
Istilah di-YusufAgency-kan memang sempat populer di kalangan penggiat industri buku. Artinya, buku-buku yang memang sudah tak mempan dipromosikan atau ditawarkan akhirnya harus mau berpindah ke gudang Yusuf Agency–distributor spesialis buku obral dengan tagline yang bagus “Buku Termurah Se-Indonesia”. Konon Pak Yusuf tak lagi membeli dalam hitungan per eksemplar, tetapi hitungan satu truk. Hebatnya, Pak Yusuf ini tahu di mana ia dapat menemukan pembeli buku-buku obral itu yang kadang harganya ditentukan dengan cara mencium bau bukunya–joke yang selalu dilakukan Pak Yusuf ke pembelinya :D.
Saya menyerap ilmu Pak Yusuf saja. Saya mencari buku-buku obral yang kira-kira dapat saya kompori untuk dibeli di acara-acara saya dan saya kembalikan martabat buku itu dengan menjual pada harga asalnya. Hanya pada buku hal itu dapat dilakukan seperti itu. Kalau baju, ya nggak mungkin. Hehehe.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
bagi pembaca buku, buku obral justru berkah. obral buku ala Periplus justru lebih gila. di Indonesia Bookfair kemarin saya ketemu dua buku dari harga asli $28 lalu diobral dengan harga hanya 30.000 rupiah (tidak sampai $3). bukunya hardcover dengan jumlah halaman 300+
Ya, di luar negeri itu istilahnya bargain book Pak dan bahkan dibeli bukan per satuan, tapi per kiloan. Jadi, wajar jauh dari harga asli. Buku itu ada yang merupakan buku bekas pakai yang dijual kembali oleh pemiliknya dan memang ada juga buku sisa stok. Ya, tentu bagi pembaca senang-senang saja, seperti saya juga mendapatkan buku berharga dengan harga murah. Namun, bagi yang menulisnya dengan susah payah hanya bisa rela dan pasrah :). Paling tidak ia dapat pahala.
“di-YusufAgency-kan” hehehe. Memang dilema bagi penulis dengan fenomena “di-YusufAgency-kan” ini. Di satu sisi miris dengan nasib buku sendiri, di sisi lain justru penulis mendapat banyak sekali bahan-bahan bacaan yang terkadang sudah tidak ditemukan lagi di toko-toko buku besar.
Oh ya, sebagai penulis kita senang-senang saja dengan buku obral yang dapat menjadi incaran referensi. Apalagi orang seperti saya. Kalau beli buku, harus BEP dari tulisan lagi. 😀