Ada sesi menarik pada acara Digital Creative Camp & Business Gathering yang dimotori Kemenpar dan Ikapi, yaitu sesi yang diisi Sekjen MIKTI, Hari S. Sungkari. Pak Hari khusus memaparkan tentang aspek hak cipta dalam buku digital.
Pada kesempatan tanya-jawab, saya pun bertanya perihal perjanjian penerbitan. Jika di dalam perjanjian penerbitan tidak diatur tentang produk derivatif atau secara khusus tentang penerbitan buku digital, apakah penulis punya peluang untuk menerbitkan buku digital sendiri?

Pak Hari menjawab dengan taktis bahwa sebaiknya perjanjian penerbitan memang detail dan tidak membuat para pengacara “senang”. Ya, para pengacara tentu bisa berkiprah pada kasus-kasus perselisihan atau wanpretasi dari perjanjian akibat munculnya “pasal-pasal karet” ataupun yang tidak mengatur secara spesifik.
Pengalaman saya bekerja di penerbit memang baru beberapa tahun ke belakang saya mengadakan pasal khusus tentang penerbitan buku digital. Hal tersebut perlu diantisipasi mengingat kemungkinan digitalisasi buku oleh penerbit sangatlah besar. Adapun buku digital berbeda perlakuan dengan buku cetak dari sisi strategi harga.
Sebagaimana lazim berlaku, royalti penulis untuk buku digital dimungkinkan lebih besar karena biaya produksi–yang sebelumnya memakan porsi 20-25% dalam cetak–terkoreksi besar sekali. Selain itu, biaya distribusi pun hilang. Karena itu, penerbit mendapatkan porsi keuntungan lebih besar sehingga wajar jika ia membagi presentasinya ke penulis juga sedikit lebih besar. Namun, hal ini terpulang kepada penerbit.
Walaupun demikian, tetap saja pasal penerbitan buku digital perlu dibuat detail terkait juga kepemilikan hak cipta, kesediaan penulis, besaran kompensasi, dan kemungkinan lain yang bisa terjadi pada bisnis buku digital, seperti penempatan iklan pada buku digital. Pendapatan iklan itu berapa persen yang akan dibagi antara penerbit dan penulis?
Sebenarnya, bukan soal buku digital, banyak perjanjian penerbitan buku memang tidak detail dan membuka “wacana” untuk terjadinya wanpretasi. Coba saja perhatikan perjanjian penerbitan yang Anda pegang, mungkin soal ahli waris tidak tercantum atau tidak tercantum dengan jelas. Mungkin juga soal lama waktu eksploitasi atau hak ekonomi dipegang penerbit juga tidak ada. Alhasil, penulis tidak tahu apakah ia bisa mengambil kembali hak itu jika buku sudah tidak terbit?
Hal lain yang kerap luput diatur juga soal penjualan obral. Apakah penerbit tetap memberikan royalti jika buku diobral sampai 50-70%? Jika tidak, apakah termuat? Jika ya, berapa persentasenya? Hal-hal seperti ini dapat menjadi pertanyaan di pihak penulis.
Saran dari Pak Hari Sungkari memang benar bahwa perjanjian penerbitan harus disusun sedetail mungkin, apalagi saat ini industri perbukuan dihadapkan dengan fenomena buku digital. Banyak aspek terkait perlu didetailkan, termasuk jika buku tersebut berpotensi difilmkan. Film adalah produk derivatif (turunan) yang tentu kompensasinya juga harus diatur oleh penerbit kepada penulis sebagai pemegang hak cipta–terkecuali jika dilakukan perjanjian beli putus atau hak cipta dialihkan ke penerbit.
***
Digital Creative Camp & Business Gathering adalah kegiatan pada tanggal 28-30 November 2014 yang digagas Kemenpar bersama-sama dengan Ikapi. Kegiatan ini diikuti 30 penerbit dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Solo. Kegiatan ini menghadirkan pembicara dari kalangan praktisi dan pengembang konten digital, seperti Buqu, Gramediana, Qbaca Telkom, Pesona Edu, dan Mizan Digital Publishing.
©2014 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.