Manistebu.com | Opsi jual putus selalu menarik bagi para penulis buku atau pemegang hak cipta yang hendak mendapatkan uang langsung dari hasil sebuah karya cipta buku. Hal yang kerap terlupa ketika penulis menjual putus–dalam hal ini disebut juga mengalihkan hak cipta–adalah tidak termuatnya pasal atau ayat tentang berapa lama hak cipta tersebut dialihkan dan bagaimana proses pengalihannya tersebut.
Paparan berikut ini semoga dapat menjelaskan hal terkait dengan jual putus naskah yang di dalam undang-undang hak cipta yaitu UUHC No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta lebih gamblang disebutkan, termasuk terkait dengan hak moral. Hal ini berbeda dengan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebelumnya yang tidak mencantumkan perihal jual putus tersebut.
Penulis perlu sadar hak cipta agar ia pun dapat memahami potensi sebuah karya dan bagaimana pengelolaannya secara maslahat untuk dirinya, keluarganya, ataupun masyarakat. Demikian pula para penerbit dan editor juga perlu memahami soal ini untuk menghindarkan kebingungan serta kekeliruan dalam soal pengalihan dan pengelolaan hak cipta.
Dapatkah Hak Cipta Diperjualbelikan
Itu pertanyaan pertama yang mengemuka. Di dalam UU terdapat istilah khusus jual putus yang nanti akan dibahas. Namun, hak cipta memang dapat dijual atau dalam hal ini dapat dialihkan kepada orang lain atau lembaga/institusi lain dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal dijual berarti akan ada perjanjian tertulis. Selain dijual yang tentunya ada imbalan finansial untuk itu, hak cipta juga dapat dialihkan dengan cara pewarisan (pewaris harus menunjuk ahli waris untuk karya ciptanya secara tertulis), hibah, wakaf, dan wasiat.
Para ulama yang menulis buku, kemudian mewakafkannya kepada umat sehingga siapa pun bebas menerbitkan dan mengedarkannya adalah salah satu contoh pengalihan hak cipta menjadi domain publik. Para ulama penulis itu tidak mengharapkan imbalan (royalti). Hal tersebut dapat dilihat pada fenomena penerbitan buku-buku Islam yang hak ciptanya sudah diwakafkan, terutama dilakukan oleh ulama-ulama Timur Tengah.
Ketentuan tentang pengalihan hak cipta tersebut dapat dicek pada Paragraf 3 Pengalihan Hak Ekonomi Pasal 16.
Pasal 16
(1) Hak Cipta merupakan Benda bergerak tidak berwujud.
(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wakaf;
d. wasiat;
e. perjanjian tertulis; atau
f. sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi, jual putus memang diatur di dalam UU, tetapi UU tidak menyuratkan adanya ketentuan bahwa perjanjian jual putus harus mengandung jangka waktu atau limitasi, baik dalam durasi waktu ataupun kuantitas oplag (tiras). Walaupun demikian, untuk perjanjian jual putus yang tidak mencantumkan limitasi, UU telah melindungi bahwa hak cipta otomatis akan beralih setelah jangka waktu 25 tahun. Artinya, seorang pencipta atau ahli waris pencipta masih tetap akan mendapatkan kembali hak atas ciptaannya.
Karena itu, hak cipta hanya beralih sementara waktu, tidak dapat dimiliki seterusnya oleh penerbit. Adapun jika penerbitan buku hendak dilakukan terus-menerus, perjanjian baru pun akan dibuat antara penerbit dan penulis atau ahli warisnya setelah limitasi pengalihan hak cipta terlampaui. Perhatikan teks Pasal 18 UUHC berikut ini.
Pasal 18
Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Terkait buku sekolah elektronik (BSE) yang hak ciptanya dibeli pemerintah dalam hal ini Kemdikbud ada limitasi waktu selama 15 tahun. Beberapa penerbit rata-rata menerapkan limitasi selama 5 tahun sampai dengan 10 tahun untuk kasus jual putus dan ada juga yang tidak menerapkan limitasi, tetapi dalam bentuk kuantitas tiras, contohnya sampai 30.000 eksemplar.
Pembatasan secara tiras meskipun memungkinkan, tampak tidak adil karena jika penerbit hanya mencetak secara ekstrem hingga 29.000 eksemplar, berarti hak cipta tetap tidak akan bisa dialihkan karena belum memenuhi 30.000 eksemplar. Tentu waktunya dapat menjadi tidak terbatas jika cetakan belum memenuhi jumlah tersebut.
Limitasi tentu juga harus mempertimbangkan besaran imbalan yang diberikan. Semakin lama pengalihan dilakukan, tentu selayaknya imbalannya semakin besar karena memungkinkan penerbit mendapatkan laba dari eksploitasi ekonomi terhadap buku tersebut.
Jadi, perlu diingatkan bahwa para penulis harus mendata karyanya yang telah dijual putus dan memastikan kapan hak ciptanya akan kembali dimiliki. Hal penting lain adalah membuat pernyataan tertulis tentang siapa ahli waris dari karyanya tersebut atau contohnya hendak menghibahkan atau mewakafkan saja karya tersebut. Pendataan tersebut perlu dilakukan, terutama untuk buku-buku yang masuk kategori evergreen yaitu yang berpeluang diterbitkan berulang-ulang.
Hak Moral Tetap Berlaku
Perlu dijelaskan bahwa hak cipta jika diuraikan terbagi dua menjadi 1) hak moral dan 2) hak ekonomi. Meskipun sudah dijual putus, hak moral tetap berlaku pada ciptaan tersebut. Apa itu hak moral? Berikut penjelasannya.
Bagian Kedua Hak Moral
Pasal 5
(1) Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Maknanya jelas bahwa penerbit yang membeli putus sebuah naskah tidak diperkenankan mengubah nama pencipta, termasuk menambahkan nama pencipta lain yang tidak ada hubungannya dalam proses penulisan atau penciptaan naskah. Nama penulis karya tersebut harus dicantumkan, termasuk apabila ia menggunakan nama samaran atau nama pena.
Dengan demikian, jual putus bukan berarti kemudian penerbit dapat seenaknya mencantumkan nama orang lain sebagai pencipta. Begitu juga dalam hal judul dan anak judul yang asli dari penulis, termasuk hak moral yang dilindungi.
Namun, untuk hal pengubahan judul biasanya penerbit dapat berkompromi dengan mencantumkan satu ayat di dalam perjanjian penerbitan tentang berhaknya penerbit mengubah judul dan anak judul serta mengedit naskah untuk kepentingan kebenaran konten serta pemasaran. Hal tersebut harus tercantum di dalam perjanjian agar penerbit tidak (dianggap) melanggar hak moral dan pada kenyataannya memang tidak semua judul dari penulis itu merupakan judul yang baik atau judul yang “menjual”.
Penerbit juga tidak dapat melakukan pencomotan naskah (mutilasi ciptaan) untuk kemudian membuat naskah lain atau membagi-baginya menjadi beberapa seri (volume) tanpa izin atau kesepakatan terlebih dahulu. Contoh yang biasa terjadi adalah mengubah satu judul naskah menjadi beberapa judul. Alhasil, ada buku serial yang tentu dari sisi finansial akan menguntungkan penerbit, sedangkan pada perjanjiannya naskah dibeli putus hanya untuk satu (judul) naskah. Ini yang dimaksud dengan mutilasi ciptaan.
Selain itu, pelanggaran hak moral juga dapat terjadi dengan memodifikasi ciptaan tanpa izin dari penulis. Kasus ini dapat terjadi ketika penerbit memutuskan mengubah naskah yang telah dibelinya menjadi buku elektronik (ebook) dengan pengembangan (modifikasi) di sana sini, contohnya menambahkan video atau game interaktif. Artinya, karya cipta awal sudah diubah ke bentuk lain dengan modifikasi. Untuk itu, diperlukan izin tertulis ataupun mencantumkan adendum di dalam perjanjian tentang modifikasi tersebut.
Soal hak moral ditegaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 16 sebagai berikut.
Penjelasan Pasal 16
Ayat (2 Yang dimaksud dengan “dapat beralih atau dialihkan” hanya hak ekonomi, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri Pencipta. Pengalihan Hak Cipta harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akta notaris.
Jadi, proses pengalihan hak cipta harus dilakukan secara jelas dan tertulis. Artinya, tertuang dalam perjanjian tertulis, baik dengan pengesahan atau tanpa pengesahan dari notaris.
Gugatan terhadap Hak Moral
Konsekuensi hukum tetap berlaku jika ada penerbit yang “bandel” melanggar hak moral penulis tanpa persetujuan penulis atau ahli waris. Artinya, penulis atau ahli waris dapat melayangkan somasi ataupun gugatan terkait sengketa hak cipta meskipun hak cipta tersebut sudah dialihkan.
BAB XIV PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 98
(1) Pengalihan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan Pencipta yang melanggar hak moral Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Sengketa terkait hak cipta hanya dapat diselesaikan di Badan Arbitrase atau Pengadilan Niaga. Sengketa biasanya menyangkut tuntutan ganti rugi dari pihak pencipta yang merasa dirugikan akibat dilanggarnya hak moral. Namun, terkait pembajakan ciptaan akan ada konsekuensi pidana.
Baca juga https://manistebu.com/2015/02/20/alasan-jual-putus-naskah-dan-kompensasinya/
Perlukah Ciptaan Buku Didaftarkan
Perlindungan hak cipta terhadap buku berlaku secara otomatis oleh UU N0. 28 tentang Hak Cipta. Namun, sah-sah saja Anda mendaftarkan ciptaan jika ciptaan itu dianggap penting dan benar-benar merepresentasikan kreativitas Anda dalam menggagas sebuah naskah atau ciptaan Anda adalah sebuah masterpiece.
Ciptaan lain yang pantas didaftarkan adalah dalam bentuk buku referensi karena menyusunnya memerlukan usaha yang lumayan berat, seperti kamus, tesaurus, ensiklopedia, dan buku pintar. Berikut penjelasan tentang pencatatan ciptaan di dalam UU.
BAB X PENCATATAN CIPTAAN DAN PRODUK HAK TERKAIT
Bagian Kesatu Umum
Pasal 64
(1) Menteri menyelenggarakan pencatatan dan Penghapusan Ciptaan dan produk Hak Terkait. (2) Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.
Bagian Kedua Tata Cara Pencatatan
Pasal 66
(1) Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait diajukan dengan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait, atau Kuasanya kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik dan/atau non elektronik dengan: a. menyertakan contoh Ciptaan, produk Hak Terkait, atau penggantinya; b. melampirkan surat pernyataan kepemilikan Ciptaan dan Hak Terkait; dan c. membayar biaya.
Pasal 67
(1) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) diajukan oleh: a. beberapa orang yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait, Permohonan dilampiri keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut; atau b. badan hukum, Permohonan dilampiri salinan resmi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
(2) Dalam hal Permohonan diajukan oleh beberapa orang, nama pemohon harus dituliskan semua dengan menetapkan satu alamat pemohon yang terpilih.
(3) Dalam hal Permohonan diajukan oleh pemohon yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Permohonan wajib dilakukan melalui konsultan kekayaan intelektual yang terdaftar sebagai Kuasa.
Anda dapat mendaftarkan ciptaan melalui Ditjen HKI di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Langsung saja ke alamat ini http://www.dgip.go.id/hak-cipta/prosedur-pencatatan-hak-cipta. Alternatif pendaftaran adalah langsung ke Kantor Ditjen HKI, ke Kanwil Kemenkum & HAM di daerah, atau ke Kuasa Hukum Konsultan HKI terdaftar.

Sadar hak cipta yaitu hak moral dan hak ekonomi untuk saat ini memang menjadi keharusan. Sebuah perjanjian kerja sama penerbitan buku memang harus didasarkan oleh iktikad baik kedua belah pihak yaitu penulis dan penerbit. Dalam hal ini tidak boleh ada pihak yang dirugikan ataupun dibiarkan tidak mengetahui hak dan kewajibannya terkait hak cipta. Semoga bermanfaat.
©2015 oleh Bambang Trim diperbarui pada 2017. Bambang Trim adalah Direktur PT Inkubator Penulis Indonesia (Institut Penulis Indonesia) yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Pingback: Alasan Jual Putus Naskah dan Kompensasinya | Manistebu