Manistebu.com | Judul: Bukan Sekadar Nulis, Pastikan Best Seller; Penulis: Tendi Murti; Penerbit: Elexmedia Komputindo; Tahun: 2015; ISBN 978-602-02-6402-8
Berwisata buku ke TB Gramedia, rute saya biasanya sama. Dari rak buku baru, saya akan menuju rak buku best seller versi TB Gramedia tentunya. Lalu, saya akan mampir ke rak komunikasi yang biasa memajang buku-buku tentang menulis dan kadang saya intip juga rak buku bahasa/sastra yang kadang memajang buku menulis lebih spesifik. Jika masih ada waktu, saya akan memantau buku-buku pendidikan dan buku pengembangan diri.
Sudah dua kali kunjungan, buku ini saya timang-timang untuk dibeli, tetapi selalu tidak jadi. Pada kunjungan ketiga, akhirnya saya beli juga untuk saya cermati isinya karena judulnya memang ngefek agak bombastis: Bukan Sekadar Nulis, Pastikan Best Seller.
Buku ini karya Tendi Murti, seseorang yang tergabung dalam tim Khalifah, Ippho Santosa. Ia juga berprofesi sebagai ghost writer untuk beberapa motivator. Karena itu, tidak heran gaya penyajian bukunya juga mirip gaya penyajian Ippho Santosa. Gaya seperti Ippho juga kali pertama saya temukan pada buku Tung Desem Waringin.
Saya pernah mengikuti training Pak Tung, tapi tidak pernah untuk Ippho. Saya hanya sempat bertemu Ippho di MQS saat ia ingin menerbitkan buku tentang marketing dengan memasukkan sosok Aa Gym dan satu kali saya bertemu dengannya di Batam saat mendampingi Aa Gym berdakwah rutin di MQ Batam.
Sewaktu terbit buku Financial Revolution, Pak Tung memang menabrak pakem-pakem penulisan buku. Bahkan, ada satu bab buku isinya cuma dua halaman. Saya kira itulah gaya seenaknya menulis buku. Mau “dicela” bagaimana wong buku itu best seller.
Buku best seller yang penting dipercayai calon pembaca sebanyak-banyaknya untuk dibeli. Saat itu buku Pak Tung memang berjaya di kalangan MLM-er. Dari mana Pak Tung belajar membuat buku seperti itu? Dari siapa lagi kalau bukan Robert T. Kiyosaki yang sukses mengompori banyak orang dengan Rich Dad Poor Dad dan Cashflow Quadrant.
Soal best seller, bahkan, untuk mengaku best seller di Indonesia sangat mudah karena tidak ada batasan atau definisi yang jelas. Laku di atas 3.000 eksemplar sebagai angka psikologis atau orang-orang penerbit menyebutnya skala ekonomi penerbitan, langsung dibilang best seller. Dicetak hingga tiga kali dan setiap kali cetakan adalah 1.000 eksemplar juga dibilang best seller. Ada juga dicetak, lalu diborong sendiri di toko-toko buku untuk keperluan training, juga masuk kategori best seller.
https://manistebu.com/2011/12/10/entengnya-bilang-best-seller/
Saya ingin tahu apa yang dibahas Tendi dalam buku BSNPBS ini. Buku setebal xxii + 138 ini diterbitkan oleh Elexmedia dengan bandrol harga Rp58.800. Buku ini makin menyakinkan dengan deretan endorsement dari para pesohor, baik itu penulis maupun trainer/motivator.
Tendi yang juga menyebut diri sebagai coach menulis ini menyajikan bahasan dalam lima bab. Saya membaca cepat satu per satu bab dan sampai pada satu kesimpulan. Bobot isinya 80% adalah motivasi menulis. Adapun 20% adalah teknik yang dibahas sangat ringkas. Seperti kebanyakan buku menulis lainnya, pesan Tendi juga sederhana: menulis saja, menulis saja, menulis saja.
Teknik afirmasi bergaya law of attraction sangat umum digunakan untuk memotivasi, terutama para calon penulis yang tidak yakin ia bisa menulis. Sama halnya dengan pikiran Tendi, saya selalu bilang menulis adalah persoalan berlatih dan berlatih. Mengutip Daniel Coyle dalam buku Talent Code, bakat adalah keterampilan yang diulang-ulang.
Seorang yang hendak mendapatkan bakat menulis berarti ia harus bersiap diri untuk melakukannya berulang-ulang. Nah, berulang-ulang ini adalah panggilan jiwa dan cinta sehingga bisa dinikmati jadi tidak bisa sekadar diiming-imingi. Tak cukup sampai di situ, bakat harus dikawal seorang coach yang andal, bukan sekadar trainer.
Di sini juga sama dengan gurunya, Ippho, Tendi sangat terpengaruh soal otak kanan. Karena itu, ada satu bab yang membahas: Yuk, Menulis Buku Nonfikasi dengan Otak Kanan. Saya sendiri kurang paham soal otak kanan dalam menulis ini. Mungkin suatu saat saya harus ikut training Ippho atau Tendi sendiri karena saya merasa menggunakan dua belahan otak saat menulis.
Namun, bahasan spesifik penggunaan otak kanan di dalam bab tidak saya temukan. Kali pertama saya temukan adalah subbab “Cari Tema”. Sebenarnya, Tendi hendak mengatakan “Cari Topik” karena tema dan topik jelas berbeda. Perbedaan itu dulu disampaikan lewat sekolah-sekolah dengan cara yang kebanyakan membingungkan hingga sampai kini wajar jika kita tidak bisa membedakan tema dan topik.
Walaupun demikian, Tendi memaparkan jurus-jurus menulis seperti juga yang kerap saya sampaikan dalam pelatihan-pelatihan menulis, termasuk dalam buku The Art of Stimulating Idea yang diterbitkan Metagraf. Tendi menyebutnya matriks buku, saya menyebutnya Publishing Brief (ikhtisar penerbitan). Tendi juga menggunakan pola outline berupa tabel yang dalam versi saya disebut matriks outline. Namun, jelas pemetaan ala saya lebih detail karena ada kolom untuk sumber/bahan dan kolom untuk estimasi jumlah halaman.
Pada bagian akhir yang mendorong saya membeli buku ini karena penasaran saya bahwa Tendi menulis buku nonfiksi tanpa daftar pustaka. Apakah lazim seseorang menulis buku nonfiksi tanpa daftar pustaka yang artinya dia tidak menggunakan bahan lain sebagai bacaan ataupun rujukan? Jawabnya ya sah saja.
Saya membeli buku lain berjudul Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah: Makalah-Skripsi-Laporan Ilmiah-Tesis-Disertasi karya Prof. Dr. H. Winarno Surakhman, M.Sc. Ed. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dengan tahun cetakan 2015 ini pun tanpa daftar pustaka. Ternyata buku ini sudah beliau tulis sejak 1970 dan kini diterbitkan ulang dengan revisi. Buku ini disebut pada tahun 1970 merupakan buku satu-satunya panduan penulisan karya tulis ilmiah (KTI).
Saya baru menemukan buku ini dan mirip dengan buku Tendi, buku ini disusun dengan gaya bertutur. Saya takjub pada zaman itu, sang penulis sudah mulai dengan gaya bertutur yang mungkin dikategorikan “gaya otak kanan”, padahal buku ini mendorong seseorang menjadi professional writer atau scientific writer. Hal yang menarik, beliau juga menyinggung soal profesi ghost writer yang diterjemahkan menjadi “penulis siluman”–jadi ingat 7 Manusia Harimau.
Buku Prof. Winarno setelah saya baca memang menyajikan pemikiran-pemikiran orisinal beliau. Jika menilik tahun terbitnya, pemikiran tersebut adalah sebuah kemajuan pada zamannya dalam soal penulisan dan penyusunan KTI. Saya bisa memahami buku ini ditulis tanpa rujukan referensi alias tanpa daftar pustaka.
Buku lain yang saya beli adalah karya Prof. Dr. Avip Syaefullah, drg. M.Pd. berjudul Prinsip Dasar Penyusunan dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah (The Fundamental of Scientific Writing) yang diterbitkan Grasindo. Buku ini memang menyajikan gelar lengkap sang penulis di kover buku, berbeda dengan buku Prof. Winarno yang hanya menampilkan nama beliau di kover tanpa embel-embel gelar. Artinya, Prof. Winarno benar mengikuti konvensi penulisan internasional yang tidak mencantumkan gelar di kover buku, tetapi di bagian dalam Tentang Penulis disebutkan lengkap.
Nah, buku Prof. Avip menyertakan 67 sumber di dalam daftar pustaka. Artinya, pemikiran beliau di dalam buku banyak dipengaruhi bacaan dan juga mengutip pemikiran-pemikiran dari buku (bacaan) lain.
Bukan Sekadar Best Seller
Kembali ke buku Tendi, ya harus saya katakan antara judul dan konten tidak terlalu klop. Memastikan best seller itu hanya dibahas di Bab VI dengan bahasan yang terlalu ringkas, termasuk bahasan tentang menggunakan medsos untuk jualan buku.
Sejatinya, menulis buku itu tidak seharusnya didorong oleh best seller. Kadang best seller-nya buku tidak dapat diprediksi dan bersifat anomali. Di Indonesia, bahkan di dunia, kecuali fiksi, jarang buku bisa mencapai predikat best seller jika kita bersepakat best seller adalah penjualan di atas 50.000-100.000 eksemplar dalam setahun. Saya mengambil angka 50.000 eksemplar setahun karena di angka itulah royalti baru terasa nendang.
Kalau buku seharga 58.800 dan royalti 10%, berarti penulis mendapat Rp5.880 tiap eksemplar buku terjual. Kalau dikali 3.000, itu berarti hanya Rp17.640.000. Angka yang ecek-ecek jika disebut best seller. Kalau 50.000, barulah diperoleh royalti Rp294.000.000, lebih dari seperempat miliar. Lumayan untuk beli mobil atau uang muka rumah di real estate.
Untuk pemula, buku ini sudah cukup. Namun, untuk yang benar-benar ingin menjadi penulis (buku) profesional, buku ini masih prematur–meskipun Tendi mengatakan ia perlu beberapa tahun sebelum pe-de mengeluarkan buku ini. Apa pun itu, buku ini perlu diapresiasi sebagai buku motivasi menulis yang menyesuaikan dengan zamannya. Buku ini juga baik buat saya karena menyadarkan saya untuk segera melahirkan kembali buku tentang menulis buku yang komprehensif.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Sangat ditunggu pak… bait-bait terakhir “Buku ini juga baik buat saya karena menyadarkan saya untuk segera melahirkan kembali buku tentang menulis buku yang komprehensif.” 🙂
Siap meluncur buku “SAYA (TIDAK) BERMIMPI MENULIS BUKU”
Dapat rekomendasi buku-buku bagus lagi dari tulisan di atas. Terima kasih, Pak, segera akan saya buru (hunting) di Gramedia Matraman.
Sama-sama Mas.
Terima Kasih Pak Bambang atas review bukunya.. 🙂
Terima kasih Mas Diptra, tetap menulis bukan sekadar untuk citra. 😀