Bahan baku utama penerbit adalah naskah. Karena itu, penulis dan pengarang sebagai pemasok utama naskah adalah pemangku kepentingan yang harus dijaga oleh penerbit. Sebuah bagian yang mengurusi naskah sering disebut Bagian Akuisisi (acquiring) yang mempekerjakan seorang editor akuisisi.
Bagian akusisi atau pengadaan/pemerolehan naskah memang tidak boleh kehabisan akal soal mendapatkan naskah. Memang bagian ini selalu ditarget secara kuantitas dan juga kualitas. Kadang saking stresnya tidak mendapatkan naskah, bagian ini menggunakan jurus “Dewa Mabuk” untuk mendapatkan naskah. Siapa pun yang menulis naskah, pasti diterima. He-he-he.
Nah, satu ide dalam mendapatkan naskah adalah menerbitkan ulang buku-buku lawas yang dulunya pernah populer. Terbukanya kesempatan merevisi menjadi dasar diterbitkannya buku-buku daur ulang ini asalkan isinya masih relevan. Lihat saja Mizan yang mendaur ulang buku-buku karya Emha Ainun Nadjib. Saya ingat buku-buku Emha itu terbit pada tahun 1992-an dan menjadi idola banyak mahasiswa.
Di TB Gramedia beberapa hari lalu, saya juga mendapatkan buku lawas yang dikemas ulang berjudul Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah buah karya Prof. Winarno Surakhmad. Buku ini disebut-sebut menjadi satu-satunya buku acuan menulis karya ilmiah pada tahun 1970-an. Prof. Winarno menyebutkan angka puluhan ribu pelajar, mahasiswa, guru, dan para pejabat yang menggunakan buku ini. Artinya, buku ini sebelumnya sudah laris manis.
Prof. Winarno melakukan revisi menyeluruh, juga ditulis baru dengan mempertimbangkan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir, serta kondisi masyarakat yang lebih praktis dan pragmatis (hlm. 2). Penulis memang memulakan tulisannya dengan motivasi menulis dan mengingkari kata-kata bahwa “menulis adalah bakat”. Jadi, mirip pemikiran saya, he-he-he saya yang memiripkan dengan Prof. Winarno wong tahun 1970 sudah terbit bukunya.
Satu hal yang menarik adalah tentang perbandingan orang belajar menulis dan orang belajar berenang, Prof. Winarno menyampaikan sebuah anekdot seorang guru olahraga renang di Amerika yang dapat mengajar orang berenang tanpa harus masuk ke dalam air. Singkat cerita salah seorang muridnya yang diakui telah menguasai teknik renang secara teori dinyatakan cum laude untuk olahraga renang. Namun, sang murid mati tenggelam di laut.
Ya, yang belajar menulis menggunakan teori saja, pasti tenggelam dalam lautan kata-kata. Jadi, jangan percaya sama orang yang menjejalkan teori-teori menulis. Namun, yang tidak gunakan teori juga jangan langsung dipercaya. Percayanya sama saya saja. He-he-he.
Nah, ada yang menarik dari buku Prof. Winarno di halaman 44. Beliau menyajikan tabel jenis-jenis karya tulis lengkap dengan fungsi serta perlu tidaknya bibliografi (daftar pustaka) dan indeks. Bahkan, ada estimasi panjang tulisan.
Untuk mereka yang baru memulakan diri menulis karya tulis ilmiah, buku ini setidaknya akan membantu. Satu hal yang tidak sama antara saya dan Prof. Winarno adalah soal sepele kata pengantar. Prof. Winarno masih menyamakan kata pengantar dengan preface bukan foreword. Sama halnya dengan Gorys Keraf yang juga menyebut tulisan pemula karya yang ditulis penulis sendiri disebut kata pengantar.
Buku ini tebalnya x + 126 hlm. Tergolong tipis untuk sebuah buku panduan. Namun, kata-kata praktis yang disandangnya memang menampakkan buku ini tidak ingin membuat pembaca terlalu rumit berpikir. Bahkan, disebut-sebut cukup satu buku ini saja, Anda sudah punya pedoman dasar untuk menulis segala jenis karya ilmiah.
Baca, pelajari, dan praktikkan.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Tabel yang sangat bermanfaat. Terima kasih, Pak Bambang.
Terima kasih kembali.