Aplikasi media daring populer Detik.com tertanam di gawai saya. Otomatis banyak berita terbaru yang kadang dalam hitungan menit saya akses dari sana. Namun, semakin lama saya membaca berita media daring itu, semakin saya merasa banyak bahan berita sama diulang-ulang dengan judul berbeda. Atau yang paling telak bikin melongo antara judul dan konten jauh berbeda.
Saya pun berpikir apa ini memang teknik jurnalistik baru untuk model media daring agar mendapatkan banyak klik. Nggak percaya, nih satu contoh berita kemarin.
Reshuffle Kabinet
JK Blak-blakan Soal Alasan Reshuffle Kabinet
Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja melantik 5 menteri dan Sekretaris Kabinet. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut reshuffle kabinet dilakukan agar pemerintahan mencapai hasil yang lebih baik.
“Ya kan sebagaimana prinsip-prinsip dasar kalau ada reshuffle tentu ingin mencapai hasil yg lebih baik. Tentu alasannya itu, utk mencapai hasil yang lebih baik,” kata JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (12/8/2015).
Menurut JK tak ada alasan lain reshuffle kecuali pemerintah ingin mencapai hasil kinerja yang lebih baik. “Kemarin itukan faktornya bukan hanya masalah menteri. Sebagian besar karena masalah eksternal. Jadi tidak bisa juga perkembangan itu akibat kabinet atau menteri,” kata dia.
Secara khusus JK memberika pesan kepada tiga menteri koordinator agar bisa melakukan koordinasi lebih baik lagi dan fokus, serta memiliki langkah-langkah program yang jelas.
“Kenapa Menko yang utama diubah,” tanya wartawan.
“Itukan teknis sekali. Masa disampaikan sama kalian,” jawab JK.
Pertama, wartawan atau editor Detik.com tampaknya masih perlu diikutkan pelatihan editing kebahasaan. Kata “blakblakan” adalah satu kata yang bukan berasal dari kata “blak” yang diulang sehingga penulisan blak-blakan jelas keliru. Sama halnya dengan waswas yang juga satu kata.
Kedua, di mana menurut Anda blakblakannya JK soal reshuffle? Apa yang tersirat dan tersurat justru JK tidak mau blakblakan seperti paragraf terakhir berita dan cenderung menjawab diplomatis atau normatif saja. Blakblakan itu kalau disebutkan satu per satu fakta secara terbuka dan nyata, contohnya mengapa Rachmat Gobel dicopot?
JK bisa menjawab kira-kira begini, “Oh itu Anda semua pasti tahu karena dwelling time dan satu lagi yang paling baru, daging sapi menghilang dan melambung. Pak Jokowi marah betul.”–ini contoh blakblakan versi saya.
Dalam KBBI kata blakblakan bermakna “tidak ada yg ditutup-tutupi atau disembunyikan; terus terang; terbuka”.
Jadi, konten telah dibuat menikung dan judul menjadi rambu yang mengantarkan pembaca ke “jurang” informasi bukan sebenarnya. Satu kata lain yang juga sering digunakan untuk menimbulkan efek heboh yang menikung adalah geruduk.
Alkisah sekelompok ibu mendatangi kantor DRPD untuk sekadar menyampaikan aspirasi. Demi menimbulkan efek berita maka ditulislah judul “Kantor DRPD Tegang Digeruduk Ibu-Ibu”.
Judul lebay boleh jadi pantas disematkan. Namun, makin hari ke hari, pengelola media tidak peduli. Redaktur seperti tak punya kerja lagi selain mengamini posting berita demikian.
Mereka menyasar kaum pembaca yang rendah media literacy-nya sehingga tidak cukup awas hingga memamah semua berita. Bahkan, kadang membagi berita tersebut tanpa membacanya alias hanya percaya pada judul yang menikung konten tadi.
©2015 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Media daring yang satu ini sudah ditandai oleh rekan-rekan blogger, Pak. Selain gaya redaksional beritanya yang kadang mbulet, akurasinya juga kerap dipertanyakan. Ya itu tadi, tujuannya buat mendulang traffic dan kunjungan semata. Saya sepakat.
Hehehe benar dia hidup dengan kepentingannya.
Sudah bertahun-tahun saya tidak menyambangi media itu dengan alasan yang sama, yaitu akurasi berita dan bahasa yang lebay.
Padahal jaman jadi jurnalis di koran dulu bikin angle sama konten susahnya minta ampun. Diomel-omelin editor. Media satu itu blas nggak selektif atau edit-edit sama sekali. Satu berita bisa dipecah jadi 5 judul. Isinya sama.