Manistebu.com | Sewaktu ada pameran buku di Bandung, saya membeli buku karya Mortimer Adler dan Charles Van Doren berjudul How to Read a Book yang diterjemahkan Penerbit Nuansa. Buku ini adalah buku klasik terbitan awal tahun 1972. Saya tertarik karena Adler dan Doren mendorong kita untuk menjadi pembaca yang cerdas, apalagi jika kita berprofesi sebagai penulis.
Mungkin kita berpikir membaca adalah sekadar membaca, tanpa tahu bahwa terdapat pembagian cara membaca. Adler dan Doren mengelompokkannya menjadi empat tingkatan.
- Tingkatan pertama membaca disebut membaca tingkat dasar. Mereka yang menguasai tingkat membaca seperti ini disebut telah beralih dari buta huruf menjadi melek huruf. Siswa sekolah dasar umumnya sudah melewati tingkatan ini.
- Tingkatan kedua adalah membaca secara cepat dan sistematis atau disebut inspectional reading. Tingkat membaca seperti ini ditandai dengan penekanan khusus pada waktu. Seseorang diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan sebuah bacaan. Ia harus memperoleh sebanyak mungkin informasi dari sebuah bacaan dalam tempo tertentu. Jika yang disodori buku, seseorang harus mengenali secara cepat identitas buku melalui kover buku (depan dan belakang) dan bagian dalamnya di daftar isi. Karena itu, ketika kepadanya diajukan sebuah pertanyaan: Buku itu jenisnya apa? Siapa penulisnya? Isinya tentang apa? Ia akan dapat menjawabnya. Namun, ia tidak akan bisa menjelaskan secara detail isi buku, apalagi menarik kesimpulan.
- Tingkatan ketiga, membaca analitis lebih kompleks dan sistematis daripada tingkatan membaca sebelumnya. Membaca secara analitis adalah membaca secara menyeluruh, lengkap, atau membaca dengan baik. Waktu yang diberikan tidak terbatas.
- Tingkatan keempat atau terakhir adalah membaca secara sintopikal. Tingkatan ini paling kompleks dan paling sistematis. Pembaca sintopikal akan membaca beberapa bacaan atau buku dalam satu waktu tertentu (simultan) dan harus mencari keterkaitan antarbuku yang satu dan buku yang lainnya tentang satu subjek yang menjadi pokok bahasan. Melalui perbandingan ini, sangat mungkin si pembaca mengembangkan analisis baru.
Membaca sintopikal menjadi keterampilan atau tingkatan membaca yang harus dikuasai para penulis, terutama mereka yang mengerjakan karya tulis akademis atau karya tulis ilmiah (KTI). Mereka harus membaca beberapa buku dalam satu subjek atau topik dalam satu rentang waktu secara simultan dan menarik benang merah dari berbagai bahan bacaan itu.
Di sini ada seninya bahwa ketika Anda memasuki tingkatan membaca sintopikal maka Anda harus menggabungkan kemampuan tingkatan membaca cepat dan membaca analitis. Nah, ketika Anda menemukan sebuah karya tulis ilmiah mengandung 100 sumber rujukan, apakah yang terpikir dalam benak Anda? Apakah penulisnya akan membaca 100 sumber rujukan tersebut secara analitis satu per satu? Hal yang paling mungkin dilakukan penulis adalah membaca secara cepat.
Adler dan Doren menyebutkan jika Anda membaca ratusan buku secara analitis itu akan menghabiskan masa puluhan tahun. Atau jika secara ekstrem Anda menghabiskan waktu untuk membaca secara analitis 100 buku, diperlukan waktu berbulan-bulan.
Itu sebabnya ketika ditanya berapa kuantitas sumber rujukan dalam daftar pustaka atau daftar rujukan yang selayaknya digunakan untuk KTI, saya menjawab sebanyak yang Anda perlukan. Soalnya, sudah menjadi rahasia umum jika sebuah lembaga riset atau lembaga pendidikan menjadikan angka tertentu sebagai patokan, 100 buku misalnya, sudah dapat dipastikan ada puluhan buku yang sekadar nampang di daftar pustaka tanpa pernah dibaca, bahkan tanpa pernah ditemukan oleh penulisnya.
Dalam kebiasaan saya menulis, referensi menjadi hal pokok yang harus tersedia dalam jangkauan saya. Biasanya buku-buku yang akan menjadi rujukan akan saya taruh di rak buku atas meja. Buku-buku itu sudah dipilih untuk dibaca, baik secara cepat atau analitis. Panduan utama saya adalah daftar isi. Artinya, saya melakukan teknik baca sintopikal dengan gabungan dua teknik: baca cepat dan baca analitis.
Tentu hasil bacaan itu akan saya gunakan sebagai penguat argumen di dalam buku, membantu mendefinisikan sesuatu, dan yang terpenting kita mendapatkan “mata baru” dalam menulis. Karena itu, saya tidak habis pikir jika ada buku nonfiksi yang ditulis tanpa daftar pustaka, kecuali penulisnya memang seorang pakar yang memunculkan gagasan benar-benar orisinal–ia mungkin tak memerlukan rujukan.
©2015 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.