Puluhan orang mengantre di salah satu sudut Gedung Forum (Forum Hall), arena Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Antrean terus memanjang sepanjang saya memandang. Rupanya itu adalah antrean untuk mencicipi kuliner khas Indonesia yang terdapat di Accente Services—restoran yang terletak di lantai bawah setelah Paviliun Indonesia. Kuliner Indonesia ternyata mampu menjadi magnet bagi para pengunjung untuk bertualang dalam soal rasa Indonesia yang terkenal kuat.
Antrean pengunjung di Accente Services untuk mencicipi kuliner Indonesia.
Kekayaan kuliner memang menjadi satu andalan Indonesia sebagai guest of honour (GoH). Ada program book bertajuk Spice it Up! yang menyajikan konten-konten kuliner khas Indonesia. Di Paviliun Indonesia terdapat juga pameran bumbu dan rempah-rempah khas Indonesia.
Akan tetapi, sejatinya FBF 2015 adalah pameran buku. Karena itu, gempita Indonesia sebagai tamu kehormatan tidak dapat dipisahkan dari kekuatan karya literasinya yang bermutu. Sungguh diperlukan perjuangan besar untuk menaikkan buku dan mereka yang berada di balik penerbitan buku ke pentas dunia.
Alhasil, muncul pertanyaan penting setelah perhelatan yang menghabiskan dana ratusan miliar ini. What’s next? Ya, apa selanjutnya dilakukan pemerintah Indonesia sebagai sponsor utama setelah menjadi tuan rumah? Apa pula yang patut ditindaklanjuti oleh insan-insan perbukuan di Tanah Air? Hal yang mengkhawatirkan adalah program penguatan industri buku justru terhenti setelah ingar bingar menjadi tamu kehormatan.
Benarlah bahwa FBF 2015 bukan sekadar ajang pameran buku, melainkan sebuah wahana diplomasi budaya serta unjuk keunggulan Indonesia dalam soal konten. Ada konten tradisional dan ada juga konten-konten modern yang diusung. Paling tidak mata dunia telah terbuka melihat kekuatan konten literasi bangsa Indonesia.
Lalu, bagaimana membuat mata dunia tetap terbuka untuk Indonesia? Program-program yang sudah dirancang selama proses menjadi tamu kehormatan mesti dilanjutkan. Berikut ini tiga program lanjutkan yang dapat dijadikan prioritas pasca Indonesia menjadi GoH di FBF 2015.
Melembagakan Program Funding
Lazimnya negara-negara lain yang pernah menjadi guest of honour di Frankurt Book Fair, program pendanaan atau funding untuk penerjemahan tetap dilanjutkan. Program ini dalam bentuk memberikan biaya subsidi penerjemahan bagi para penerbit asing yang berminat membeli copy right buku-buku di Indonesia, termasuk juga membina para penerjemah profesional.
Sebagai contoh, Korea Selatan pernah menjadi GoH FBF 2005, tetapi program funding penerjemahannya sudah dimulai sejak 1996 dengan didirikannya Literature Translation Institute of Korea (LTI). Lembaga ini didirikan dengan maksud mempromosikan kesusastraan Korea dan budaya mereka ke seluruh dunia agar dapat berkontribusi secara aktif bagi kebudayaan dunia. Sebuah strategi yang matang untuk melesakkan sastra Korea ke pentas dunia.
Kita bisa meniru model pelembagaan LTI seperti Korea ini dengan membentuk sebuah akademi yang melatih penerjemah profesional serta juga melibatkan secara aktif para native speaker untuk membantu penerjemahan atau memberikan pelatihan. Selain itu, LTI juga menyediakan dana hibah penerbitan bagi penerbit asing yang membeli copyright buku karya penulis Korea, dana hibah untuk penerjemahan dengan menyediakan pula penerjemah profesional, hingga dana hibah untuk penerbitan e-Book.
Hibah LTI difokuskan pada buku-buku humaniora, ilmu sosial, karya sastra, dan sastra anak. Rata-rata hibah diberikan: $13.000 per judul (humaniora dan ilmu sosial).
Harapannya memang Indonesia meniru apa yang telah dilakukan negara-negara lain, seperti Korea Selatan, untuk mendukung dan melanjutkan program penerbitan buku-buku Indonesia di negara lain dengan melembagakan komite yang mengurus soal penerjemahan ini. Sebuah lembaga yang independen dan profesional tentu meniscayakan program yang lebih jelas serta memberi benefit yang lebih besar.
Memperkuat Indonesia International Book Fair
Indonesia Book Fair, pameran buku yang dikelola Ikapi sejak 1955, berubah namanya menjadi Indonesia International Book Fair (IIBF) kali pertama pada tahun 2014 lalu. Perubahan ini ditandai pula dengan adanya guest of honour dan focused country IIBF untuk kali pertama yaitu Arab Saudi—sebagaimana lazim berlaku pada pameran buku internasional di negara-negara lain. Tahun 2015 sebagai tahun penyelenggaraan pameran yang ke-35 tahun, telah ditetapkan Korea Selatan menjadi guest of honour IIBF dan perhelatan yang diselenggarakan di JCC itu pun berlangsung sukses.
Kenaikan derajat Indonesia Book Fair menjadi Indonesia International Book Fair adalah konsekuensi dari keinginan Ikapi untuk menjadikan industri buku di Indonesia go international dan menjadikan Indonesia sebagai warga perbukuan dunia yang disegani. Ikapi sendiri telah menjadi anggota ASEAN Book Publisher Association (ABPA) dan kini mendapat giliran sebagai ketua sehingga penting bagi Ikapi memiliki event berskala internasional yang didukung pemerintah.
Sejak tahun 2015 pula IIBF atas dukungan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya (INDB), Kemendikbud, kembali digelar di tempat yang representatif yaitu Jakarta Convention Center (JCC), tepatnya di Cendrawasih Room, setelah beberapa tahun hanya mampu digelar di Istora Senayan. Kembalinya IIBF digelar di JCC tentu mengembalikan kepercayaan diri kalangan industri perbukuan untuk menempatkan buku tidak kalah dengan produk lain, seperti otomotif, komputer, ataupun perangkat elektronik.
Jika Indonesia ingin tetap eksis dalam pentas perbukuan dunia, IIBF harus semakin diperkuat dan dibuat menarik sebagai ajang bertemunya para penerbit internasional, minimal di Asia untuk saling bertransaksi di bidang copyright dan melakukan kegiatan-kegiatan literasi di Indonesia.
Membidik Tamu Kehormatan di International Book Fair
Setelah FBF 2015, tentunya penting bagi Indonesia membidik rencana menjadi tamu kehormatan pada event perbukuan internasional yang bergengsi lainnya. Sebut saja seperti London Book Fair, Book Expo Amerika, Seoul International Book Fair, Sharjah Book Fair (UEA), Tokyo International Book Fair, dan Bologna Children’s Book Fair.
Indonesia tidak boleh berhenti di FBF 2015 yang memang terbesar di dunia, tetapi harus muncul pada event-event lain sehingga wacana Indonesia makin kuat memberi kontribusi untuk literatur dunia. Pemerintah bersama-sama dengan pemangku kepentingan industri perbukuan tentu bisa merancang program jangka panjang untuk sepuluh tahun ke depan.
***
Pesta perbukuan sejagat di Frankfurt sudah usai dan Indonesia pastilah menerima banyak kesan serta pesan sebagai GoH. Apakah setelah pesta semua benar-benar usai? Industri perbukuan Indonesia masih menghadapi tantangan, bukan hanya di pentas dunia, melainkan juga di “kampung sendiri”.
Karena itu, selayaknya momentum sebagai GoH menjadi momentum kebangkitan industri buku dan industri konten Indonesia yang menempatkan kita bukan hanya menjadi penonton, melainkan juga pelaku industri kreatif yang bisa unjuk gigi sekaligus unjuk gigih. Baiklah, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan pemerintah setelah menjadi GoH FBF 2015.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
majulah Indonesia (melalui buku)