Sampai saat ini tetap ada pertanyaan terkait dikotomi ilmiah murni dan ilmiah populer pada karya tulis ilmiah (KTI). Saya mencoba merinci pembeda di antara keduanya dengan mengklasifikasi berdasarkan pembaca sasaran, bahasa, dan penyajian.
Kategori | Pembaca Sasaran | Bahasa | Penyajian |
Ilmiah Murni | Terbatas pada lingkungan ilmiah (penguji, akademisi, sesama peneliti) | Menggunakan selingkung bahasa ilmiah yang cenderung teknis dan sulit (kalimat tesis, premis) | Kaku dan sistematis sesuai dengan ketentuan publikasi yang ditetapkan. Minim subjektivitas. |
Ilmiah Populer | Lebih luas mencakup juga kalangan umum atau praktisi di luar lingkungan ilmiah. | Menggunakan bahasa umum yang lebih mudah dipahami pembaca umum meskipun tingkatan pembaca secara pendidikan masih tinggi (sederhana, ringkas, padat). | Lebih fleksibel dalam sistematika dan banyak menggunakan pengayaan-pengayaan materi, seperti contoh-contoh, studi kasus, dan perbandingan. Kadang mengandung subjektivitas (opini) |
Ilmiah (murni) dan ilmiah populer alhasil sering menjadi perdebatan di kalangan masyarakat akademis atau masyarakat ilmiah. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat akademis-ilmiah ingin mempertahankan ciri keilmiahan KTI sehingga menolak istilah ilmiah populer. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat akademis-ilmiah yang ingin mendobrak pandangan minor dari masyarakat umum bahwa KTI itu sulit dipahami sehingga nilai manfaatnya tidak dapat dirasakan secara luas.
Kadar keilmiahan yang kental memang terasa, terutama pada KTI kesarjanaan sehingga kemudian muncul upaya konversi (penyaduran) KTI tersebut menjadi lebih komunikatif dalam bentuk KTI lain, yaitu artikel ilmiah atau buku. Karena itu, dorongan kecendekiaan seseorang dapat terlihat dari upayanya menjadikan karya tulisnya dapat dipahami secara luas dan kontekstual.
Dalam hal ini Wibowo (2013: 3) menyebutkan “seorang penulis belum tentu cendekia dan seorang yang cendekia belum tentu menulis”. Kecendekiaan seseorang dapat dideteksi dari bahasa tulis yang digunakannya dan seberapa banyak cara yang dikuasainya untuk mengalirkan tulisan. Dalam kritiknya, Wibowo menyebutkan kondisi menganggap hanya ada satu cara untuk menyajikan tulisan melahirkan pembimbing killer yang berkesan memaksakan kehendak karena “kacamatanya” buram oleh hal-hal yang bersifat kontekstual (2013: 3). Pembimbing yang dimaksud adalah para pembimbing karya-karya kesarjanaan.
Kontekstualitas berkenaan dengan strategi komunikasi yang dirancang penulis untuk audiensi atau pembaca sasarannya. Wibowo (2013: 4) menyampaikan pendapat bahwa penulis artikel ilmiah harus mencerminkan kecendekiaannya melalui gaya menulis ilmiah populer.
Ilmiah populer dapat disimpulkan sebagai upaya penulis menyajikan tulisannya keluar dari kesan membuat dahi para pembacanya berkerut, dipenuhi istilah teknis, dan jargon keilmuan yang berat-berat. Walaupun demikian, ciri keilmiahan yang dikandung KTI populer tidaklah hilang. Ilmiah populer menjadi lebih komunikatif karena mengandung ciri emansipatoris, singkat, jelas, tepat, mencerahkan, dan objektif (Wibowo, 2013: 5).
Diseminasi
Kata kunci mengapa diperlukannya konversi KTI menjadi KTI populer adalah diseminasi. Diseminasi didefinisikan di dalam KBBI sebagai penyebarluasan ide atau gagasan. Dalam Lampiran Peraturan Kepala LIPI Nomor 2 Tahun 2014, diseminasi didefinisikan sebagai “penyampaian hasil litbang dan/atau pemikiran di bidang iptek kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan untuk dimanfaatkan atau dikembangkan lebih lanjut”.
Karena itu, KTI yang didiseminasikan harus mampu berkomunikasi dengan audiensinya yaitu masyarakat dan pemangku kepentingan pada bidang yang menjadi bahasan. Contohnya, hasil penelitian di bidang peternakan tentang penggemukan sapi perlu dibuat diseminasi agar para peternak sapi yang umumnya bertingkat pendidikan rendah dapat mengetahuinya.
Jika lebih dikonkretkan lagi, tuntutan gaya penyajian ilmiah populer terlihat dari konversi bentuk KTI berikut ini. KTI yang mempertahankan gaya ilmiah dengan gaya bahasa yang lebih teknis ditujukan untuk pembaca sasaran terbatas yaitu tim penguji/penilai atau pimpinan. Adapun KTI populer ditujukan untuk pembaca lebih luas, bahkan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Sumber:
Wibowo, Wahyu. 2013. Menulis Artikel Ilmiah yang Komunikatif: Strategi Menembus Jurnal Akademik Bereputasi. Jakarta: Bumi Aksara.
©2015 oleh Bambang Trim
Dicuplik dari handout “Konversi KTI Nonbuku Menjadi Buku”.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Terima kasih sharingnya mas.. Sangat bermanfaat buat saya yg sekelebat punya niatan bikin buku KTI Populer.. Abis di blog saya banyak tulisan kutipan ilmiah juga yang digabung dengan cerita orang atau pengalaman pribadi.. Dulu pas bikin tesis, dospemnya pernah bilang ke saya: “Tulisan kamu berasa tulisan populer nih, kurang berasa tulisan ilmiahnya..”.. Hehe.. Udah bawaan saya kali ya.. (^o^)/..
Ya memang umumnya yang ilmiah tidak dapat digabung dengan model komunikasi naratif (pengisahan). Model itu hanya digunakan pada buku-buku ilmiah populer, terutama karangan penulis-penulis Amerika atau Eropa.
Oohh.. gitu ya mas.. Kalo gitu, bisakah ditarik kesimpulan: penulis dengan gaya seperti itu masih “jarang” di Indonesia ??..
Kalau dari kalangan akademisi/peneliti ya memang jarang. Namun, harus sesuai dengan konteksnya. Kalau karya kesarjanaan seperti skripsi, tesis, disertasi memang tidak bisa dibuat ilmiah populer. Jika mau dipopulerkan, harus dikonversikan dulu. Contoh di Indonesia bisa lihat tulisan Prof. Chaedar Alwasilah (alm.) yang menggunakan gaya populer meskipun yang dibahas materi ilmiah.
Waw.. Sip.. Terima kasih banyak atas infonya mas..