Malam itu, 3 Desember 2015, akhirnya yang ditunggu-tunggu dalam Munas Ikapi XVIII muncul juga. Dialah Mas Menteri, sapaan akrab untuk Anies Baswedan. Sontak seisi ruang mendapatkan satu kesegaran baru setelah paginya bersua juga dengan Wapres Jusuf Kalla. Kesegaran tentang ketegasan dukungan Menteri Anies terhadap Ikapi.
Menteri Anies berkisah tiga minggu sebelumnya ia sempat berkunjung ke Papua dalam rangka momentum peringatan keliterasian. Seribuan orang masyarakat Papua berkumpul menyambutnya. Mereka adalah orang-orang Papua yang baru saja masuk kategori melek literasi.
Seorang ibu maju ke depan. Ketika ditanya bagaimana rasanya menjadi orang yang telah melek literasi, ia menjawab, “Bukan soal saya bisa membaca, tapi sekarang saat saya pergi ke pasar, saya sudah bisa membedakan mana lima ribu dan mana lima puluh ribu. Mana sepuluh ribu mana seratus ribu.”
Hadirin munas yang mendengarkan sontak tertawa. Jadi, kata Menteri Anies, bukan soal huruf saja, melainkan soal melek angka juga adalah persoalan kita bersama di berbagai daerah. Memang kita telah berhasil membalikkan keadaan dari dominan buta huruf kini menjadi negara yang dominan melek huruf. Namun, ternyata itu tidaklah cukup.
Literasi yang Bermasalah
Jika mencari kata literasi di KBBI, Anda tidak akan menemukannya. Kata ini umumnya dipadankan dengan keberaksaraan. Dalam perkembangannya literasi sejatinya tidak hanya terbatas pada baca-tulis.
Brian Ferguson dalam buku digital yang ditulisnya berjudul Information Literacy: A Primer for Teachers, Librarians, and other Informed People menyajikan model literasi informasi berdasarkan Deklarasi Praha tentang literasi informasi yang diselenggarakan September 2003 di Praha, Republik Ceko.

Ada lima komponen penting literasi informasi, yaitu literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, literasi media, dan literasi visual. Literasi informasi sendiri dari hasil Deklarasi Praha dijelaskan seperti berikut ini.
Literasi informasi meliputi pengetahuan tentang perhatian seseorang terhadap informasi dan kebutuhannya, serta kemampuan untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, mengatur sekaligus efektif membuat, menggunakan, dan mengomunikasikan informasi untuk mengenali dan mengatasi masalah yang dihadapi; hal itu merupakan prasyarat untuk berpartisipasi dalam Masyarakat Informasi , dan merupakan bagian dari hak asasi untuk belajar sepanjang hayat. “
— The Prague Declaration 2003 (NFIL, NCLIS & Unesco)
Saya ajak Anda menyoroti lebih dulu soal literasi dasar (basic literacy). Seperti kisah Mas Menteri, literasi dasar itu tidak hanya soal baca tulis. Ada delapan kompetensi yang termasuk literasi dasar, yaitu membaca-menulis, menyimak-berbicara, berhitung-memperhitungkan, menggambar-mengamati.
Apakah kita merasa ada masalah dengan literasi dasar? Lagi, kata Mas Menteri bahwa untuk mengatasi persoalan rendahnya kemampuan literasi, kita harus bersepakat lebih dulu bahwa memang ada masalah.
Saya tertarik dengan apa yang ditulis Ferguson tentng literasi dasar yang selama ini diidentikkan dengan kemampuan baca-tulis. Kompetensi baca-tulis adalah jalan untuk “bertahan” dalam menghadapi hidup karena akumulasi pengetahuan manusia sebagian besar diwujudkan dalam bentuk buku. Artinya, mereka yang mampu membaca dan menulis (dengan baik) akan memperoleh akses ke pengetahuan dan informasi.
Ada permasalahan kini ternyata bahwa standar literasi dasar mengalami peningkatan dibandingkan masa dahulu. Sederhananya seperti gambar yang saya tampilkan berikut ini.

Anda pasti setuju kalau saya sebutkan perlu kecerdasan literasi dasar untuk mampu membaca peta KRL di Jabodetabek ini. Lalu, bagaimana dengan peta kereta api di Tokyo seperti ini?

Di Tokyo, Anda akan dipaksa lebih cerdas lagi untuk membaca peta tersebut. Membaca tanda, simbol, warna, arah, dan jenis kereta. Itulah yang disebut Ferguson sebagai literasi dasar yang terus meningkat standarnya.
Ferguson menekankan bahwa semestinya guru di setiap subjek dan setiap jenjang secara bertahap meningkatkan kecanggihan literasi dasar murid-muridnya. Namun, apa yang terjadi dengan kita di Indonesia? Gurunya sendiri bermasalah dengan kompetensi literasi dasar, lalu bagaimana dengan murid-muridnya?
Buruknya cara mahasiswa menulis, termasuk berinteraksi dengan dosennya menunjukkan hal itu bahwa literasi dasar sang mahasiswa tidak bertumbuh kembang dengan baik. Mereka tidak mendapatkan pendidikan literasi dasar di bangku kuliah, tetapi di media sosial sehingga berkembang sebagai tren seperti halnya bahasa alay. Kesantunan yang biasa diselipkan dalam literasi dasar itu pun hilang entah ke mana.
Ekosistem dan Literasi Informasi
Ada satu satu informasi Menteri Anies yang saya catat bahwa kini Kemdikbud yang dipimpinnya tengah menjalankan strategic plan 2014-2019 dengan membangun insan di dalam ekosistem pendidikan dan kebudayaan. Mas Menteri menyadari bahwa sering pemerintah lebih berfokus pada pembangunan manusianya, bukan pada ekosistem. Alhasil keberlangsungan sebuah program sering terganggu.
Ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang akan dibangun Kemdikbud akan melibatkan pemerintah, guru, orangtua, penulis, penerbit buku, dan lainnya. Dengan demikian, akan ada interaksi antarsubjek sehingga bisa meningkatkan mutu, cakupan, dan mutual assesment.
Lebih lanjut, Menteri Anies menyebutkan bahwa interaksi dapat terjadi di dalam ekosistem–dalam konteks biologi–karena ada oksigen. Di dalam ekosistem pendidikan dan kebudayaan, oksigen itu adalah INFORMASI.
Di kepala saya langsung mencuat soal Literasi Informasi yang dideklarasikan di Praha. Jika informasi adalah oksigen, tabung oksigennya adalah literasi informasi. Kita sadar kini betapa informasi setiap hari datang bak air bah dari internet dan media interaksi seperti BBM, WA, Instagram, ataupun Line–untuk menyebut beberapa contoh. Mereka yang tabung oksigennya dipenuhi informasi sampah maka akan memuntahkan sampah pula ke ekosistem.
Demikianlah yang terjadi bahwa dengan informasi di genggaman tangan, kita dapat berpartisipasi dan berkontribusi di dalam masyarakat informasi. Satu hal yang mengkhawatirkan seperti diungkap Ferguson bahwa informasi mutakhir kerap kali dimiliki, disaring, didistribusikan, bahkan dimodifikasi terlebih dahulu oleh para penguasa media yang kadang lebih berorientasi pada laba ataupun kepentingan tertentu (politik misalnya). Di sinilah peran pendidikan dan pendidik menjadi sangat penting untuk membuat generasi baru melek informasi atau memiliki keterampilan literasi yang canggih.
Tidak pelak lagi ekosistem literasi juga harus dibangun. Bahkan, masuknya materi literasi informasi ke dalam kurikulum pendidikan sangatlah signifikan sekaligus relevan untuk masa kini.
Forum Nasional Literasi dan Buku
Saya baru saja menyiapkan konsep Forum Nasional Literasi dan Buku yang digagas oleh orang-orang perbukuan yang juga mantan Ketua Ikapi Pusat, yaitu Bapak Setia Darma Madjid, Bapak Firdaus Umar, dan Bapak Makfudin Wirya Atmaja. Pembentukan forum ini juga disampaikan ke tokoh nasional yaitu Bapak Emil Salim dan Bapak Jimly Asshiddiqie.
Forum ini sempat menggelar pertemuan perdana di LPPM pada19 November 2015 dengan nama Forum Diskusi Perbukuan Nasional. Secara aklamasi, Forum menunjuk Setia Darma Madjid sebagai ketua; saya sendiri, Bambang Trimansyah, sebagai sekretaris; dan bendahara ditunjuk Yulia dan Makfudin Wirya Atmaja.
Setelah menyusun konsep, saya mengajukan perubahan nama Forum Diskusi Perbukuan Nasional menjadi Forum Nasional Literasi dan Buku (National Forum on Literacy and Book). Pertemuan kedua akan digelar pada Januari 2016 dengan pemaparan konsep LITERASIANA sebagai progam induk FNLB. Satu komponen program yang penting adalah membentuk Simpul Literasi sebagai bagian menyiapkan ekosistem literasi yang andal.
©2015 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Pingback: Mengapa Sampai Sekarang Anda Tidak Bisa Menulis | Manistebu
Pingback: Mengapa Sampai Sekarang Anda Tidak Bisa Menulis – MANISTEBU