Manistebu.com | Pertanyaan di dalam judul tulisan ini sering terlontar dalam sesi pelatihan yang saya isi. Tidak ada yang sadar betul mengapa mengarang/menulis–yang sebagian orang menyebutnya gampang–itu TIDAK DAPAT dikuasai oleh orang-orang dewasa. Ada lagi yang heran dengan dirinya sendiri. Mengapa dahulu semasa SMP atau SMA ia menjuarai lomba karya tulis dan kini malah tidak MAMPU sama sekali menulis?
Saya ajak Anda untuk mengisi soal di bawah ini terlebih dahulu. Isilah bagian yang rumpang dengan satu kata yang menurut Anda paling tepat.
Bagaimana? Anda dapat mengisi semuanya? Berapa lama Anda mampu mengisikannya?
Coba baca kembali apa yang Anda isikan. Apakah sudah tepat pilihan kata yang Anda terapkan? Anda yakin?
Unsur tulisan terkecil yang memiliki makna adalah kata. Salah satu kesulitan seseorang menulis adalah karena perbendaharaan kata-katanya sangat sedikit. Ia akan tersendat menuliskan beberapa kalimat jika kosakatanya minim atau kalaupun jadi, pastilah kalimat itu membosankan dengan mengulang kata yang sama atau malah keliru karena kata yang digunakan tidak tepat.
Mari kita kembali pada perkara mengapa sampai sekarang Anda tidak mampu mengarang/menulis. Menulis termasuk ke dalam kemampuan literasi dasar (basic literacy) yang diajarkan sejak SD. Di samping menulis, ada literasi dasar lainnya, yaitu membaca, berbicara, menyimak, berhitung, menggambar, dan mengamati. Kebutuhan Anda terhadap literasi dasar terus terjadi dan berkembang sesuai dengan kompleksitas masalah yang Anda hadapi. Artinya, sampai Anda dewasa, bahkan tua, Anda tetap menggunakan literasi dasar.
Di situlah ada mata rantai terputus ketika literasi dasar dianggap sebagai pelajaran SD dan tanggung jawab guru SD seperti yang ditengarai Brian Ferguson dalam buku digitalnya berjudul Information Literacy: A Primer for Teachers, Librarians, and other Informed People.
The problem is that the standard for “basic literacy” is much higher now than it used to be, and it continues to go up. In addition, basic literacy now includes a much broader range of skills than it used to. Unfortunately, too many educators don’t see basic literacy as their responsibility. They seem to believe that basic literacy skills are the sole responsibility of the elementary schools. The truth is that one’s literacy can and should continue to develop throughout one’s childhood, adolescence, and adulthood. (hlm. 10)
Guru Anda di tingkat SMA atau dosen Anda di tingkat perguruan tinggi, tidak lagi berfokus pada literasi dasar tersebut karena menganggap Anda sudah mampu, apalagi dalam soal bahasa.
Di pihak lain, di perguruan tinggi Anda dihadapkan pada tugas membuat paper, skripsi, makalah, dan sebagainya yang lebih kompleks dari segi konten dan lebih rumit. Sementara itu, di SD Anda hanya mengenal karangan argumentasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi–ini yang disebut sebagai klasifikasi induk tulisan.
Jadi, wajar jika literasi dasar yang berkembang saat SD itu, kemudian lambat laun padam. Anda kembali merasa asing dengan kemampuan menulis meskipun dulu Anda adalah juara menulis tingkat kabupaten/kota. Namun, kasus berbeda akan terjadi jika Anda melatihkan terus kemampuan menulis tanpa bergantung pada pendidikan di sekolah.
Misalnya, Anda lahir dari keluarga wartawan, lalu ayah atau ibu Anda menjadi pembimbing Anda untuk berlatih terus-menerus hingga Anda dewasa. Kemampuan menulis Anda pastilah terus berkembang dan bertambah baik, termasuk dalam hal penulisan yang sulit.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kemampuan menulis yang hilang tadi. Seperti membaca sebuah novel hingga sampai halaman tertentu, lalu Anda tinggalkan beberapa lama, memori Anda tidak menyimpan adegan lama. Ketika hendak melanjutkan baca, Anda perlu balik lagi ke halaman-halaman sebelumnya. Jadi, sama halnya dengan menulis, Anda perlu dibawa kembali pada bahasan literasi dasar di SD.
Sebagai contoh, mereka yang sudah sarjana beberapanya lupa dengan perbedaan tema, topik, dan judul. Ketika menjelang lulus sebagai mahasiswa S1, mereka sibuk mengatakan mencari judul skripsi. Judul yang dicari atau topik yang dicari? Apakah topik dapat identik dengan judul?
Nah, itu literasi dasar waktu di SD. Anda lupa ketika sudah memasuki perguruan tinggi. Wajar jika kemudian, Pak Gorys Keraf menyusun buku Komposisi yang sangat lengkap untuk memandu Anda menyusun karya tulis. Sekali lagi, buku Komposisi pun tidak mudah dipahami bagi orang yang memiliki pengalaman menulis secuil saja. Kini, buku-buku tentang menulis banyak sekali, tetapi Anda tetap bingung memulainya dari mana.
Belajar Tanpa Metode
Belajar menulis memang harus menggunakan metode. Namun, kebanyakan kita tidak belajar dengan metode yang baku.
Negara-negara maju menerapkan kurikuum menulis yang sama dan baku untuk semua jenjang yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing. Di dalam metode ini literasi dasar diberi ruang untuk berkembang, termasuk berbicara, menyimak, berhitung, menggambar, dan mengamati. Namun, guru atau dosen yang tidak menguasai metode ini pastilah juga kepayahan mengajarkannya. Misalnya, ada guru yang membimbing siswanya menulis cerita, padahal guru tersebut tidak pernah menulis cerita yang layak dibaca.
Coba Anda lihat materi yang saya kutip dari Writers’s Notebook untuk Level A yang disusun The Editors of Time for Kids.

Tampak metode atau proses menulis lima langkah standar sudah diperkenalkan di tingkat SD kelas rendah.

Pada tahapan prewriting, siswa sudah diajak berpikir mengembangkan ide. Ide juga dikuatkan dengan menggambar pada tahapan drafting. Siswa juga dibangun kepercayaan dirinya agar tidak terlalu khawatir dengan kesalahan pada awal menulis.

Pada tahapan ketiga yaitu revising, siswa didorong untuk berani membacakan hasil tulisannya, menyimak (pendapat teman), dan berbicara (menanggapi). Pada bagian editing, siswa sudah diajarkan bagaimana mengoreksi kesalahan berbahasa. Puncaknya adalah memublikasikan karya sebagai tahapan akhir.
Standar metode tersebut dipakai untuk semua jenis (fiksi, nonfiksi, dan faksi) serta ranah/laras tulisan serta dikembangkan pada setiap jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi. Ya, di negara maju yang menggunakan metode tersebut saja masih ada orang yang tidak mampu menulis, apalagi di negara kita yang tidak menggunakan metode tersebut?
Soal tersebut memang menjadi tugas besar para pendidik di negara kita. Seperti diungkap Mendikbud Anies bahwa Kemdikbud berkonsentrasi membangun insan di dalam ekosistem pendidikan dan kebudayaan. Ekosistem tersebut dihidupkan oleh oksigen bernama informasi. Saya menambahkan bahwa tabung oksigen atau pohon penghasil oksigen itulah literasi informasi yang berakar pada literasi dasar.
https://manistebu.com/2015/12/27/tabung-oksigen-ini-bernama-literasi/
Ya, sebenarnya kita sudah paham ada mata rantai yang putus. Tinggal bagaimana menyambungkannya. Saya sendiri berjuang dengan cara saya yaitu mengampanyekan literasi dasar ini lewat satu komponen yaitu menulis, termasuk melatihkannya di banyak tempat. Saya percaya semua orang dapat dikembalikan kompetensi literasi dasarnya meskipun dalam taraf yang berbeda-beda.
Tetap semangat!

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
nyimak pak
nitip ->> http://wp.me/p2O1mO-1F4
Begitu ya mbak Memabaca dan menuliskannya. Tapi membutuhkan latihan terus
Untuk anak anak hanya perlu menuliskan imaginasi mereka, tapi ada anak anak yg bakatnya ada di gambar
Semua anak punya bakat di literasi dasar, bergantung pada pengembangannya di rumah dan di sekolah.
Ehmmm, untuk buku pengembangan ada buku rekomendasi pak?
The Talent Code: Rahasia Bakat, karya Daniel Coyle, 2009, terjemahan diterbitkan Esensi (Erlangga).
Ok pak trimakash infonya
Betul sekali, Pak. Artikel Bapak sangat bermanfaat. Khususnya bagi saya yang sangat menyenangi dunia literasi. Semoga saya bisa berkontribusi, minimal untuk sekitar saya, dengan literasi sebagai alatnya.
Aamiin… semoga diberi kemudahan bergiat dalam bidang literas.
Mantab pak! memang seperti ada yang terputus setelah masa SD itu hehehe
Harus disambung segera 🙂