Kamis, 14 Januari 2016, sontak Indonesia menjadi topik utama pemberitaan dunia. Serangan teror yang mengejutkan pada jam sibuk sekira pukul 10.00 paling tidak telah menewaskan langsung tujuh orang. Empat orang di antaranya adalah pelaku teror sendiri. Bom lempar mirip granat serta senjata laras pendek ditemukan dari pelaku teror yang tewas.
Gawai berkamera canggih menjadi satu pengantar laporan pandangan mata oleh netizen yang menggunakannya dari jendela gedung-gedung tinggi. Foto-foto kejadian juga dengan cepat tersebar, termasuk foto korban yang berada di dekat pos polKonten Jalan Thamrin. Keriuhan di media sosial tidak terhindarkan. Akses internet segera menyebarkan secara viral kejadian teror di jantung Jakarta itu detik per detik.
Sampai kemudian muncul tagar di media sosial, seperti #PrayForJakarta, #SaveIndonesia, dan #KamiTidakTakut. Respons terhadap petaka dapat dicermati memang berbeda-beda. Salah satunya adalah fenomena penyebaran hoax entah dari mana datangnya. Kehebohan dan kepanikan seolah-olah menjadi bahan berita yang menarik untuk mengikat perhatian pembaca atau pemirsa media.
Itulah fenomena masyarakat Indonesia merespons petaka. Kita tidak dapat menutup mata bahwa sebagian besar dari kita memang memiliki literasi media yang rendah. Literasi media adalah kemampuan membaca/melihat informasi, menyaringnya, mencernanya, dan meresponsnya. Banyak sekali masyarakat yang menelan bulat-bulat informasi tanpa proses—bahkan membaca secara saksama—, lalu tergerak langsung untuk membaginya kepada yang lain agar dianggap paling tahu atau kekinian. Contohnya, foto-foto korban yang terkapar.
Media saja memiliki etika untuk tidak menampilkan gambar-gambar korban secara vulgar. Namun, di tangan netizen yaitu para pemilik akun media sosial yang naif menjadi lain—gambar-gambar itu disebar tanpa rasa bersalah, apalagi memperhatikan etika.
Respons lain adalah menyebarkan berita yang tidak jelas kebenarannya, seperti terjadinya ledakan di daerah lain, seperti Slipi, Kuningan, Cikini, dan Mal Alam Sutra. Entah dari mana sumber berita tersebut, tanpa konfirmasi, netizen naif tadi pun menyebarkannya via media sosial.
Ujian petaka di ibu kota ini memang berbahaya jika dipandang dari cara kita merespons informasi dengan serampangan. Syukurlah ada netizen yang juga saling mengingatkan bahwa penyebaran informasi tersebut akan menguntungkan teroris sebagai publikasi gratis dan mKontennya tercapai menciptakan ketakutan. Tagar #KamiTidakTakut muncul kemudian sebagai bentuk perlawanan netizen terhadap aksi teror.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.