Kata ‘Kita’ dalam Naskah

Manistebu.com | Sering untuk melibatkan pembaca agar beriringan sejalan dengan penulis maka sang penulis menggunakan kata ganti orang pertama jamak kita. Pemunculan kata ini berulang-ulang dimaksudkan untuk memberi impresi (penekanan) kepada pembaca, tetapi malah kadang menjadi mubazir atau kontraproduktif.

Contohnya, seperti berikut ini.

Pembaca yang budiman, kita telah membahas bab sebelumnya tentang perencanaan bisnis secara sederhana. Sekarang, mari kita membahas hal lebih mendalam lagi.

Kita ketahui bersama bahwa saat ini persaingan dalam bisnis sedemikian tajam. Kita yang tidak siap akan masuk dalam pusaran persaingan yang mematikan. Untuk itu, kita ….

Kata kita sebagai kata ganti orang pertama jamak digunakan apabila melibatkan saya/aku (kata ganti orang pertama tunggal) dan kamu/Anda/engkau/kau (kata ganti orang kedua tunggal) serta kalian (kata ganti orang kedua jamak). Penulis menggunakan kata kita karena ingin melibatkan pembaca tidak sekadar “di luar pagar” tulisan. Pembaca ingin ikut dimasukkan oleh penulis.

Bandingkan dengan contoh berikut.

Pembaca yang budiman, saya telah membahas bab sebelumnya tentang perencanaan bisnis secara sederhana. Sekarang, akan saya bahas hal yang lebih mendalam lagi. Semua tahu bahwa saat ini persaingan dalam bisnis sedemikian tajam. Saya atau Anda yang tidak siap akan masuk dalam pusaran persaingan yang mematikan. Untuk itu, kita perlu menerapkan strategi khusus.

Contoh kedua lebih variatif menggunakan kata saya sebagai penulis dan kata Anda kepada pembaca, lalu kata kita. Ya, sepertinya penulis harus memainkan pemosisian seperti ini karena kalau melulu menggunakan kata kita dan melibatkan pembaca terus-menerus berada pada posisi Anda sebagai penulis, pembaca mungkin merasa terganggu karena “dipaksa” menyetujui.

Tentulah meskipun maksud penulis untuk menggiring pembaca larut ke dalam topik tulisan, tidak harus pembaca juga ditarik masuk untuk menyetujui buah pikiran penulis.

Perhatikan contoh berikut ini.

Kita harus menyadari bahwa arus informasi sekarang berlangsung setiap detik dan sulit dibendung. Sering kita terlena oleh kata-kata atau gambar yang tampak benar, padahal bohong. Hal ini terjadi karena kita sudah sedemikian keranjingan terhadap gawai dan berselancar di internet. Kita dibuat rabun oleh informasi. Karena itu, tampaknya kita perlu membangun sistem peringatan dini pada diri melalui literasi media.

Dengan penyebutan kita tersebut berulang-ulang, penulis seolah menekan pembaca untuk menyetujui buah pikiran penulis atau menempatkan pembaca sebagai orang yang sama dengan penulis. Harus diingat bahwa pembaca bukanlah penulis. Tidak semua hal yang penulis alami juga dialami pembaca. Contohnya, seperti ini.

Saat bepergian ke luar negeri, kita sering takjub bagaimana bangsa asing menata kehidupan di perkotaan, terutama di negara-negara maju. Kita bisa melihat transportasi publik yang ramah terhadap pengguna, termasuk orang berkebutuhan khusus. Kita juga bisa melihat bagaimana pasar dan pusat-pusat bisnis tertata dengan baik. Karena itu, wajar jika kita berdecak kagum.

Teks itu untuk penulis dan pembaca yang sudah pernah ke luar negeri atau ke negara-negara maju. Bagaimana dengan mereka yang belum? Di sinilah penulis perlu juga menggunakan empatinya sebagai pembaca sebelum menggunakan kata kita.

Jadi, tidak heran ada ungkapan slang: Kita? Lu aja kali …. Ya, karena kita seolah-olah melibatkan saya dengan Anda atau melibatkan saya dengan kalian, padahal saya tidak ikut-ikutan. Pesannya jelas: kalau menulis, sebaiknya penulis itu tidak baper berlebihan sehingga membawa-membawa pembaca.

Intermeso saja. Mari kita menempatkan kata kita sebagaimana mestinya.[]

4 thoughts on “Kata ‘Kita’ dalam Naskah”

  1. Terima kasih. Sangat mencerahkan. Sebagai waraga Bugis. “Sebagian besar warga Bugis Bone” menggunakan kata ‘kita’ sebagai bahasa yang sopan.
    Dan kata ‘kita’ ini sudah menjadi hal yang lazim untuk penggunaan kata ganti orang kedua. Yang dalam kontesnya, lebih sopan daripada harus bilang kamu.
    “Iko = kamu & idi = kita.” Kedua kata tersebut “iko & idi” adalah sama-sama kata ganti orang kedua dalam bahasa bugis. Namun ketika mereka membawanya ke bahasa Indonesia, sepertinya ada keganjalan.
    Begitulah keadaan di daerah bugis ini, sehingga mereka beranggapan: bahasa bugis yang di anggapnya sopan, ternyata di salah artikan pula.
    Dan saya pun terkadang ingin teratawa mendengarnya. Namun, karena kebiasaan yang telah mebelokkan pandangan mereka hingga pada akhirnya meberikan identitas yang membuatnya mudah di tebak asal usulnya. Dan bahkan mejadi pertanyaan orang umum.
    Dan dengan tulisan Bapak, saya telah menyadari itu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.