Manistebu.com | Sudah dua kali pemuda yang baru lulus sarjana itu datang ke rumah saya, diantar sang ibu. Kali pertama ia datang membawa naskah novel setebal 399 halaman. Ia begitu bersemangat menceritakan sekilas proses kreatifnya menulis novel itu.
Sang pemuda mengambangkan tawaran menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Ia ingin menjadi literator katanya alias pengarang profesional. Saat saya tanya apa kegiatan sehari-harinya kini, ia menghabiskan waktu dengan meriset untuk tulisannya. Meriset? Sesuatu yang jarang memang dilakukan para pengarang/penulis Indonesia–bukan riset pustaka.
Luar biasa, sang ibu tak mampu menahan keinginan anak lelakinya ini. Ia, sang anak, punya prinsip. Menjalani sesuatu itu harus dengan komitmen atau totalitas. Jika memilih menjadi dosen, ya harus total menjadi dosen. Jika memilih menjadi pengarang, ya harus total menjadi pengarang. Tidak bisa dijalankan kedua-duanya. Itu prinsipnya, yang sekali lagi saya hormati.
Saya sendiri meski boleh dibilang total menjadi editor dan penulis sejak lulus kuliah, tetap saja mengambil pekerjaan mengajar sebagai dosen ataupun tutor pelatihan menulis. Namun, bidangnya ya itu-itu juga. Caranya saja berbeda. Adapun sang pemuda tadi jelas bidang dan latar belakang pendidikannya bukanlah sastra. Ia seperti nekat mencemplungkan dirinya dalam dunia tulis-menulis.
Totalitas semacam ini memang pilihan sulit bagi seorang pengarang atau penulis. Sebuah pertaruhan untuk hidup sepenuhnya dengan menggantungkan diri dari menulis. Bayaran bagi seorang pengarang atau penulis tidaklah memadai di negeri ini jika tidak dibarengi dengan kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang. Namun, boleh jadi hal itu tidak selamanya benar jika seorang benar-benar total. Mungkin jalan berkarya itu tidaklah mutlak hanya pada sebuah cerpen atau novel. Bisa dalam bentuk lain yang basisnya adalah gagasan dan tulisan.
Karena jarak rumahnya dan rumah saya tidak sampai sepeminuman teh, saya pun akan memberi pendampingan menulis kepadanya. Bakat adalah keterampilan yang diulang-ulang, begitu kata Daniel Coyle di dalam bukunya Talent Code. Namun, munculnya keberbakatan biasanya didahului oleh pengapian alias kompor yang menyala dari dalam diri. Para trainer sering menyebutnya passion dan dalam bahasa Indonesia secara indah dipadankan dengan kata renjana.
Sang pemuda merasa bisa berbagi lewat sastra, mengerahkan daya pikir dan daya imajinasinya. Novel perdananya mengangkat topik kaum muda yang depresi, salah satu yang menjadi topik skripsinya juga. Ya, di Indonesia kebanyakan masyarakat tidak menganggap depresi sebagai penyakit karena itu jarang yang memeriksakan kondisi kejiwaannya ke dokter jiwa. Kata “galau” lebih banyak dibuat sebagai canda daripada sebagai gejala depresi.
Saya belum membaca tuntas novelnya karena saya membaca sambil mengedit. Ada energi yang harus dikerahkan untuk menelusuri kelemahan-kelemahan pengarang pemula ini. Namun, berhasil menuntaskan 399 halaman bagi saya bukanlah pekerjaan yang ringan. Masih banyak kok penulis yang setengah menyelesaikan, lalu setelah itu melarikan diri ke tulisan lain.
Totalitas memilih karier dan totalitas berkarya, itulah tantangan anak-anak muda sekarang. Waktu terus berjalan. Di satu sisi teman-teman sang pemuda masih asyik dengan euforia kelulusan dan mengejar cara bagaimana diterima sebagai PNS, ia malah asyik bertotalitas untuk menjadi pengarang. Ia yakin dengan pilihannya.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Salam, Pak Bambang.
Jadi penasaran cerita selanjutnya.
Bagaimana hasil reviu terhadap tulisan si pemuda? 😀
Tetap berjuang menulis dan melakukan riset mendalam. Semoga suatu saat karyanya terbit dan mampu mengguncang.