Manistebu.com | Sebuah surat pembaca Kompas yang diterbitkan Jumat/19 Februari 2016 tentang royalti penerbitan kamus sempat disebarkan secara viral di media sosial. Adalah ahli waris Bapak WJS Poerwadarminta, penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang menuntut pihak PT Balai Pustaka membayarkan royalti yang tertunggak. Winardi Poerwadinata yang menulis surat pembaca menuntut BP untuk meminta sisa royalti hak cipta atas buku kamus edisi ke-III, cetakan ke-XII, 2014. KUBI sendiri kali pertama terbit tahun 1953.
Dalam UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 telah diatur bagaimana sebuah hak royalti akan jatuh kepada ahli waris manakala pengarang/penulis meninggal dunia. Sebuah karya cipta menjadi domain publik terhitung setelah 70 tahun pengarang/penulis meninggal dunia. Ketentuan ini jelas untuk memberikan manfaat kepada ahli waris, mungkin sampai generasi ketiga agar dapat menikmati hasil jerih payah karya cipta yang dibuat oleh pendahulunya.
Timbulnya masalah pada hak cipta yang turun ke ahli waris biasanya karena baik pengarang/penulis maupun penerbit tidak mengantisipasi sebuah pasal terkait pewarisan hak cipta ini kepada ahli waris yang ditunjuk di dalam perjanjian penerbitan. Kerumitan bisa muncul jika yang berhak sebagai ahli waris banyak sekali (suami/istri dan anak-anak). Tentu secara hukum harus ditunjuk salah seorang yang mewakili seluruh ahli waris karena boleh jadi beberapa penerbit mencoba menghubungi ahli waris yang berbeda untuk mendapatkan hak eksploitasi hak cipta.
Sebenarnya jika seorang pengarang/penulis meninggal dunia, penerbit juga bisa segera membuat komitmen baru dengan para ahli waris terkait eksploitasi atas hak cipta yang masih terjadi. KUBI karya W.J.S. Poerwadarminta memang masih digunakan hingga sekarang berdampingan dengan KBBI yang disusun Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa). Awalnya KBBI juga diterbitkan oleh Balai Pustaka bekerja sama dengan Pusat Bahasa, tetapi belakangan KBBI diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Soal royalti yang tertunggak, bukan kali ini saja BP mendapat sentilan di media. Beberapa bulan sebulanya, sastrawan Korrie Layun Rampan bahkan menulis dalam sebuah artikel. Tidak lama setelah menulis artikel yang mengeluhkan atas royalti karya-karyanya, Korrie pun tutup usia karena sakit. Tentu ahli waris bisa meneruskan perjuangan mendapatkan hak atas eksploitasi karya-karya beliau.
Sebagai BUMN yang kini tengah berbenah, BP semestinya sudah mulai membereskan masalah hak cipta ini, terutama untuk para penulis yang sebagian besar sudah tiada disebabkan BP sudah berdiri sejak lama sebagai penerbit tertua di Indonesia. Jika memang hak ekonomi hendak dilepaskan, tentu ada mekanisme pemberitahuan kepada para ahli waris.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.