Tulisan Tidak Mengandung SARA

Manistebu.com | Foto: Mari Helin Tuominen | Istilah “tidak mengandung SARA” tampaknya sudah menjadi populer sebagai persyaratan sebuah naskah yang layak dipublikasikan atau diterbitkan di segala media. SARA kita kenal sebagai singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan.

Secara logika bahasa, istilah “tidak mengandung SARA” sebenarnya tidak logis apabila ada syarat bahwa naskah buku religi tidak boleh mengandung SARA. Artinya, naskah buku religi tidak boleh mengandung isi (konten) bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan. Lalu, apa isi buku tersebut kalau bukan tentang agama, bahkan juga menyinggung suku, ras, dan antargolongan?

Masyarakat Indonesia memang suka melesapkan sebuah kata sehingga mengubah makna. Sebagai contoh lihat saja ungkapan “kebohongan publik”. Kata yang dihilangkan adalah kata kepada sehingga seharusnya “kebohongan kepada publik”. Penghilangan kata itu jadi membalikkan makna sebenarnya.

Begitupun pada kasus “tidak mengandung SARA” seharusnya ditulis “tidak mengandung penghinaan atau penistaan SARA”. Kandungan SARA sendiri adalah kandungan legal yang tidak melanggar hukum atau etika. Apa yang berbahaya justru penghinaan, penistaan, ujaran kebencian terhadap SARA yang dapat menimbulkan pergolakan atas dasar SARA. Jadi, ungkapan “berbau SARA” jika dimaksudkan negatif juga tidak benar karena semestinya “berbau penghinaan/penistaan/pelanggaran SARA”.

Berbeda halnya dengan ungkapan “tidak mengandung pornografi” yang jelas benar sebab pornografi sebagai konten memang terlarang dan memberi pengaruh negatif. Adapun SARA sebagai konten tidaklah terlarang. Buku-buku berbasis kearifan lokal pasti mengandung konten suku dan ras. Buku-buku politik pasti mengandung konten antargolongan dan mungkin juga konten agama.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.