Manistebu.com | Sering kita mendengar petuah bahwa menulis bersahabat karib dengan membaca. Apalah artinya menulis tanpa membaca terlebih dahulu. Bahkan, membaca dan menulis termasuk ke dalam empat keterampilan berbahasa. Urutannya begini: menyimak-berbicara-membaca-menulis. Menulis ditempatkan paling buntut karena dianggap sebagai keterampilan berbahasa tingkat tinggi.
Walaupun demikian, seseorang yang menulis, tetapi tidak membaca, tetap saja diragukan hasil karyanya benar-benar berdaya. Benarkah ia mampu menulis tanpa membaca sedikit pun?
Jadi, masih mending orang yang membaca, tetapi tidak menulis. Orang dapat memakluminya. Namun, orang yang banyak berbicara, tetapi tidak membaca, apalagi menulis, orang segan dan enggan memakluminya. Alhasil, muncul sebutan tong kosong nyaring bunyinya.
Membaca sebagai keterampilan berbahasa, menjadi sahabat karib tulisan yang memberi warna tiap kata yang ditikkan. Apalagi, jika seorang penulis membaca begitu banyak pustaka bermutu, tulisannya akan mencerminkan kedahsyatan gelombang samudra ilmu.
Namun, para penulis juga tidak boleh melupakan kekasihnya menulis yaitu menyunting atau mengedit. Dalam proses menyuntinglah sebuah tulisan “diselamatkan” dari ketidaklayakan dibaca. Lewat menyunting, penulis akan menata tulisan ibarat rangkaian puspa nan indah, memikat, sekaligus menyiratkan dan menyuratkan beragam makna.
Sayangnya, menyunting sering dilupakan, terutama swasunting yaitu kemampuan untuk menyunting tulisan sendiri. Entah lupa atau entah karena tidak pernah mempelajarinya, banyak penulis memublikasikan karyanya tanpa sentuhan sang kekasih ini sehingga karyanya penuh goresan luka. Luka-luka yang semestinya dapat dicegah sedari awal.
Di dalam pendidikan berbahasa di negeri kita, pelajaran menyunting juga sering tidak diadakan atau terpinggirkan karena yang dipentingkan adalah berkarya dan berkarya dengan menulis. Alhasil, banyak karya, banyak pula luka.
Di negara-negara maju, pendidikan tinggi vokasi menulis selalu disandingkan dengan keterampilan menyunting. Sebutan prodinya Professional Writing and Editing. Jadi, menulis tidak pernah berdiri sendiri sebagai keterampilan.
Dua sejoli ini, menulis dan menyunting adalah pangkal kekuatan literasi yang menghasilkan bahan bacaan dahsyat. Alhasil ini adalah lingkaran literasi yang dahsyat yaitu membaca-menulis-menyunting-menerbitkan, lalu dihasilkan sebuah karya yang kemudian dibaca, dituliskan kembali, dan disunting lagi. Demikianlah sungai literasi akan mengalir sampai jauh meninggalkan riwayatnya hingga kini.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Pingback: Menulis, Membaca, dan Menyunting - Editor Naskah