Manistebu.com | Tulisan ini sebagai pengantar analisis pendahuluan tentang signifikansi dan urgensi dibentuknya organisasi atau asosiasi profesi penulis di Indonesia. Analisis pendahuluan ini menjadi dasar dibentuknya asosiasi profesi penulis profesional yang akan menjadi wadah bagi penulis dari semua genre.
Profesi Penulis sebagai Profesi Generik
Tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis. Jargon itulah yang menegaskan bahwa penulis adalah profesi generik. Adapun secara umum, masyarakat melihat bahwa penulis dibutuhkan sebagai SDM di bidang industri media, baik itu media massa maupun media buku (penerbitan). Namun, pada kenyataannya, penulis ada di semua industri dan berkontribusi untuk membangun citra industri sekaligus operasional industri dalam hal administrasi, seperti pembuatan surat, laporan, prospektus, dan proposal.
Dalam industri kreatif, penulis diperlukan hampir di semua sektor, seperti aplikasi games, animasi video, film, musik, televisi, radio, seni pertunjukan, dan tentu saja penerbitan. Penulisan kemudian dapat digambarkan sebagai industri artisanal (kerajinan) yang sebenarnya masih menjadi bisnis laut biru di Indonesia. Hanya segelintir penulis yang mampu mengisi ceruk pasar jasa penerbitan sebagai writerpreneur.
Saya kemudian membagi penulis berdasarkan lingkup bagaimana mereka berkarya yaitu penulis mandiri dan penulis jasa. Meskipun sama-sama berprofesi sebagai penulis, keduanya memiliki konsentrasi yang berbeda dalam berkarya.
Penulis mandiri adalah mereka yang menulis karya sendiri untuk diterbitkan di media. Penulis mandiri harus menunggu karyanya lolos seleksi untuk diterbitkan. Penulis jasa adalah mereka yang menulis berdasarkan pesanan, baik oleh media/penerbit ataupun oleh perseorangan ataupun lembaga nonmedia/nonpenerbit. Penulis jasa kemudian berkembang melakoni profesi sebagai penulis bayangan (ghost writer) dan penulis pendamping (co-writer). Penulis mandiri sering berhadapan dengan kondisi industri penerbitan yang tidak menguntungkan seperti halnya bentuk imbalan yang rendah. Adapun penulis jasa di satu sisi memiliki posisi tawar dengan imbalan tinggi untuk jasa yang mereka tawarkan.
Dalam konteks kini, penulis jasa memasuki ranah media digital dengan bekerja sebagai blogger, copy writer, ataupun publicist. Penulis jasa juga berkembang sebagai business owner dengan mendirikan usaha bernama jasa penerbitan (publishing service) dan perajin buku (book packager).
Terkait dengan konsentrasi jenis karya atau genre, ada penulis yang bersifat generalis yaitu mereka yang mampu menulis dalam beragam genre (fiksi, nonfiksi, dan faksi) serta ada penulis yang memilih jalur spesialis genre atau spesialis ranah.
Jenis | Ranah | Contoh Laras |
Fiksi | Sastra | prosa: cerpen, drama, novel
puisi: pantun, karmina, syair, gurindam, haiku, dsb. |
Nonfiksi | Akademik | skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, makalah, prosiding, bunga rampai, laporan penelitian, dsb. |
Jurnalistik | berita, feature, artikel, esai, tajuk rencana, resensi, surat pembaca, dsb. | |
Bisnis | laporan, presentasi, business plan, marketing plan, notula, surat, dsb. | |
Humas | siaran pers, advertorial, surat pembaca, prospektus, dsb. | |
Faksi | Kisah | biografi, autobiografi, memoar |
sejarah daerah, sejarah kota, sejarah penemuan, dsb. | ||
Catatan | karangan khas (feature), catatan perjalanan, profil tokoh |
Dengan keluasan peta berkarya ini maka penulis menjadi profesi yang sangat generik untuk berbagai bidang dan mewarnai berbagai institusi/lembaga di Indonesia.
Jejak Sejarah Organisasi Penulis di Indonesia
Dalam sejarahnya yang saya selisik di buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (editor: Pamusuk Eneste) pernah berdiri Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) berdasarkan hasil Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia, 1—7 Maret 1964 dengan ketua pertamanya Gayus Siagian. Pembentukan PKPI sangat kental dipengaruhi situasi politik masa itu.
Dalam buku lain Leksikon Susastra Indonesia yang disusun Korrie Layun Rampan disebutkan juga ada Himpunan Pengarang Indonesia Aksara (HPI Aksara) berdiri tahun 1981 yang dipelopori para pengarang perempuan, seperti Titie Said, Titiek W.S., Maria A. Sardjono, Sari Narulita, dan La Rose. Pembentukan organisasi ini juga didukung oleh Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, Korrie Layun Rampan, Hamsad Rangkuti, Rahmat Ali, Matheus Elanda Yosi Ds., Leon Agusta, dan lain-lain. Tercatat ketua terakhirnya (1996) adalah Titiek W.S.
Dalam makalahnya pada Kongres Perbukuan Nasional I (29—31 Mei 1995), Titie Said mencatatkan beberapa organisasi penulis/pengarang Indonesia, yaitu Himpunan Pengarang Indonesia Aksara; Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO); Persatuan Penulis Indonesia (Peperindo); Wanita Penulis Indonesia; Forum Sastra Wanita “Tamening” di Sumatra Barat, yang baru berdiri (kala itu); Beberapa himpunan penulis di daerah, seperti Yogya, Bandung, Bengkulu, dan lain-lain. Titie Said masa itu juga sudah mengeluhkan sulitnya berkembang asosiasi penulis di Indonesia dan tidak semua penulis/pengarang mau menggabungkan diri.
Trauma prahara budaya masa-masa tahun 1960-an, menurut Titie, tampaknya masih berpengaruh. Jelas masa itu ketika diselenggarakan Kongres Perbukuan Nasional I yang muncul kali pertama sebagai asosiasi penulis/pengarang Indonesia adalah HPI Aksara karena organisasi lain terpecah-pecah di daerah dalam lingkup kecil.
Kondisi saat ini sama dengan kondisi dua puluh tahun yang lalu. Sejatinya, kita sangat memerlukan asosiasi penulis yang dapat menaungi para pengarang/penulis Indonesia dalam berkarya sebagai wadah pembinaan dan pengembangan profesionalitas, apalagi untuk menghadapi perubahan zaman.
Peta Permasalahan Penulis di Indonesia
Ketiadaan wadah untuk bernaung menyebabkan masih banyak masalah yang melingkupi profesi penulis di Indonesia. Paling tidak ada lima permasalahan dalam dunia kepenulisan di Indonesia.
- Kode etik adalah salah satu syarat terbentuknya sebuah asosiasi profesi, tetapi tidak ada dalam konteks profesi penulis di Indonesia. Kode etik penulis digambarkan dalam ranah penerbitan atau publikasi terkait dengan legalitas dan kesopanan. Legalitas menyangkut soal penghormatan terhadap hak cipta orang lain dan kesopanan menyangkut masalah-masalah kepatutan yang berhubungan dengan norma hukum dan norma masyarakat.
- Pendidikan dan pelatihan menjadi perhatian karena ilmu kepenulisan dan kompetensi kepenulisan belum menjadi nomenklatur pendidikan vokasional di Indonesia. Hal ini berbeda dengan jurnalistik dan kehumasan yang di dalamnya kepenulisan masuk sebagai unit kompetensi yang harus dikuasai. Di negara-negara maju, penulisan yang biasanya disatukan dengan penyuntingan (editing) telah menjadi nomenklatur pendidikan vokasi, baik nondegree maupun setingkat diploma. Di Indonesia tidak ada sekolah penulis ataupun jika ada lembaga pendidikan penulis profesional, jumlahnya dapat dihitung dengan jari seperti yang diselenggarakan Tempo Institute.
- Spesialisasi menjadi tuntuan bahwa pembinaan untuk para penulis di tiga ranah induk (genre), yaitu fiksi, nonfiksi, dan faksi perlu dilakukan. Penulis yang paling banyak spesialisasinya adalah pada ranah nonfiksi yang menurunkan spesialisasi atau laras penulisan akademis, penulisan bisnis, penulisan kehumasan, dan penulisan jurnalistik. Di ranah faksi ada penulisan biografi, autobiografi, dan memoar. Dalam sejarahnya, asosiasi penulis di Indonesia lebih banyak menaungi penulis dari kalangan sastrawan yang kadang kepentingannya akan berbeda. Jadi, dalam pandangan saya tidaklah mudah menyatukan seluruh kepentingan penulis dalam satu wadah yang diinginkan. Di negara-negara maju, asosiasi penulis memang lebih banyak terspesialisasi.
- Standardisasi bahwa dalam hal ini perlu disusunnya standar di bidang penulisan dan pengembangan konten sehingga para penulis memiliki acuan dalam berkarya dan mengembangkan karyanya. Standardisasi diperlukan terutama pada penulisan ranah nonfiksi. Standardisasi sebagai turunan sertifikasi juga berimbas pada standar tarif, honor, atau royalti para penulis di Indonesia.
- Perlindungan hak cipta memang selalu menjadi masalah yang “hot” bagi banyak penulis di Indonesia. Kalau boleh saya analogikan, kita yang sudah menikah mungkin 99% tidak pernah membaca UU Perkawinan. Begitu pula para penulis yang kadang mengeluhkan soal imbalan terhadap eksploitasi hak ciptanya, mungkin 99% tidak pernah membaca UU Hak Cipta No. 28/2014 sebagai revisi dari UU Hak Cipta No. 19/2002. Penerbit pun setali tiga uang. Jadi, di sini sosialisasi konten UU Hak Cipta terkait penulisan perlu disampaikan asosiasi, termasuk tentang hak cipta turunan (derivatif) ‘subsidiary right’ yang sering kali tidak dipahami.
Dengan peta permasalahan yang tidak sederhana ini, penulis Indonesia memang memerlukan satu wadah organisasi untuk menghadapi tantangan masa depan profesionalitas penulis dan menjawab kebutuhan pada banyak bidang. Di sisi lain, RUU Sistem Perbukuan yang sedang digodok Komisi X DPR RI juga telah menempatkan penulis sebagai pelaku perbukuan yang harus mendapatkan perhatian.
Untuk itu, perlu disusun sebuah instrumen pemecahan masalah sehingga menghasilkan solusi yang diharapkan untuk pembinaan dan pengembangan para penulis. Kami memetakannya dalam infografis berikut ini.
Keterampilan ‘Artisan’ Menulis pada Era Kini
Penulis adalah profesi yang telah eksis sejak zaman dahulu yaitu sejak manusia telah mampu berkomunikasi dengan tulisan. Para penulis pada masa dulu mendapatkan hak-hak istimewa dari para penguasa. Sampai kini pun eksistensi penulis tidak dapat diragukan lagi. Dalam konteks Indonesia kita mengenal pakar hukum, Todung Mulya Lubis, dahulunya adalah seorang penulis cerita anak. Begitupun Fadly Zon, politikus yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR-RI juga seorang penulis. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie pun demikian, pakar hukum yang juga seorang penulis. Ada juga nama Rhenald Kasali sebagai akademisi yang menghasilkan banyak tulisan berbobot.
Dalam konteks penulisan kreatif, Indonesia juga sangat terkenal melahirkan para penulis besar pada zamannya, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, H.B. Jassin, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Kuntowijoyo, Romo Mangun, Umar Kayam, hingga Taufiq Ismail. Pada zaman kini juga lahir generasi penulis kreatif yang baru, seperti Dewi “Dee” Lestari, Raditya Dika, Andrea Hirata, Pidi Baiq, Eka Kurniawan, Tasaro GK, dan Tere Liye.
Sebelumnya, kita mengenal juga nama-nama, seperti Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Adjidarma, Hamsad Rangkuti, dan Ahmad Tohari. Jika dideretkan, akan menghasilkan daftar panjang para penulis kreatif yang berada di jalur fiksi (sastra). Pada jalur lain, juga ada para penulis-penulis jasa yang terkadang nama mereka tidak terlalu mencuat ke permukaan.
Menulis pada dasarnya sebuah artisan (keterampilan tangan) yang diperlukan banyak orang dan banyak bidang, tetapi tidak semua orang dapat menguasai dan melakukannya. Karena itu, selayaknya tidak semua orang pula dapat menyebut dirinya penulis tanpa ada satu indikator atau ukuran yang dapat ditandai.
Di balik industri penerbitan dan industri media, penulis sangat berperan dalam menghasilkan bahan baku utama penerbitan yaitu karya tulis. Dalam konteks kini karya tulis berkembang sebagai konten yang dapat dibentuk menjadi apa pun, apakah itu buku digital (multimedia), film, animasi, game, dan juga seni pertunjukan. Karena itu, sudah sangat mendesak para penulis mendapatkan pembinaan sebagai “man behind the gun” untuk berkontribusi pada bidang-bidang yang memerlukan konten-konten berkualitas di semua industri.
Asosiasi Profesi Penulis sebagai Pelecut
Terbentuknya wadah organisasi penulis atau asosiasi profesi akan melecutkan kesadaran diri para penulis Indonesia untuk memasuki era Big Data yang salah satunya mengandalkan konten tulisan. Di satu sisi, penulis juga memiliki tanggung jawab sosial-kemasyarakatan untuk menyebarkan tulisan-tulisan yang maslahat, bukan tulisan-tulisan “sampah” yang mengandung kebohongan ataupun ujaran kebencian.
Dalam hal ini, kita memang tidak menutup mata bahwa para penulis juga berperan dalam “perang informasi” yang melibatkan keterampilan ‘artisan’-nya untuk mengolah kata-kata. Untuk itu, melalui suatu wadah, penulis juga akan diminta menjunjung kode etik penulis dan profesionalitas dalam berkarya. Dengan demikian, pembinaan para penulis juga harus dilakukan secara berkesinambungan.
Dalam konteks input-process-output pendirian asoasiasi profesi penulis dapat digambarkan sebagai berikut.
Jadi, sebagai hasil yang diharapkan adalah munculnya penulis-penulis andal yang tersertifikasi, berkualitas, dan berdaya saing. Mereka lebih jauh akan memberikan kontribusi bagi peningkatan daya literasi bangsa.
***
Berdasarkan pemikiran tersebut, saya dan rekan-rekan yang awalnya tergabung di Grup WA Rumah Penulis Indonesia, berinisiatif mendeklarasikan Asosiasi Penulis Profesional Indonesia yang kami sebut Penpro. Deklarasi akan dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 2016 bertempat di Graha 1, Gedung A, Kemendikbud RI, Jakarta mulai pukul 15.30-20.00.
Penpro direncanakan akan bekerja dengan cepat yaitu langsung memilih ketua dan kepengurusan pusat sehingga pada awal tahun depan sudah dapat melakukan musyawarah kerja nasional untuk menyiapkan program kerja. Selain itu, Penpro juga akan membentuk kepengurusan wilayah di kabupaten/kota.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.