Manistebu.com | Bukan sebuah kebetulan jika saya bersua dengan tokoh sastra dari Banjarmasin yaitu Haji Iberamsyah Barbary. Beliau sengaja datang ke Samarinda untuk menghadiri bedah buku sahabat karibnya, Haji M. Rusli. Bersua di Samarinda dan saling berkenalan, kemudian kami terlibat pembicaraan hangat tentang literasi.
Jika di Riau ada Raja Ali Haji sebagai orang yang berjasa memopulerkan gurindam dengan karya masyhurnya Gurindam 12 pada abad ke-19, di Banjarmasin pada abad ke-21 muncul Haji Iberamsyah Barbary dengan karyanya 1001 Gurindam. Gurindam merupakan bentuk puisi lama yang terdiri atas dua larik dalam setiap bait, dengan pola persajakan a-a atau b-b.
Berikut contoh petikan Gurindam Pasal 1 karya Raja Ali Haji
Ini Gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat.
Barang siapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Ciri isi gurindam adalah nasihat atau petuah. Namun, seperti yang ditengarai Maman S. Mahayana, pakar sastra yang memberikan catatan pada karya Haji Iberamsyah, penulis gurindam pada masa kini makin surut ke belakang. Gurindam kalah pamor dengan pantun.
Buku 1001 Gurindam menjadi buku yang langka menggunakan gurindam untuk menyajikan nasihat-nasihat secara kontekstual. Bagi Maman S. Mahayana, kehadiran buku ini laksana embun yang menyejukkan di tengah ingar bingar politik dan pemberitaan akhir-akhir ini yang jauh dari nasihat kesantunan.
Dari obrolan ringan sambil sarap pagi di Resto Pendopo, Hotel Mesra, Samarinda nan resik, Haji Iberamsyah menjelaskan bahwa ia baru berkonsentrasi menulis setelah 30 tahun tidak menulis sama sekali. Tiga dekade itu ia habiskan sebagai karyawan hingga ke level manajemen di PT Asuransi Jiwasraya. Setelah pensiun, barulah kembali ia terpanggil untuk menggali khazanah sastra, terutama dari tanah kelahirannya. Ia merasa harus kembali ke habitat awalnya sebelum menjadi pegawai BUMN itu yaitu sebagai guru.
Sastrawan yang lahir di Kandangan, Kalsel, ini berkonsentrasi pada penulisan puisi, terutama menghidupkan kembali puisi-puisi lama dan juga menulis cerpen serta buku religi. Tidak hanya menulis, ia pun berkegiatan menggemakan semangat sastra di kalangan kaum muda. Ia pernah mencetuskan kegiatan Olimpiade Sastra yang berhasil dilaksanakan di tingkat provinsi Kalimantan Selatan. Sayang kegiatan ini tidak berkelanjutan karena faktor dana dari pemerintah yang terhenti. Padahal, antusias peserta dari berbagai sekolah kala dilaksanakan kali pertama luar biasa.
Terkait dengan informasi tentang berdirinya Asosiasi Penulis Profesional Indonesia (Penpro) pada 22 Desember 2016 lalu yang saya sampaikan kepadanya, beliau begitu antusias untuk membentuknya di Banjarbaru, kota tempat bermukimnya kini. Ia memang hendak mengkhidmatkan hidupnya pada sastra dan kemajuan literasi, terutama di daerahnya.
Hingga kini Haji Iberamsyah Barbary aktif di Dewan Kesenian Banjarbaru dan mendirikan Yayasan Kamar Sastra Nusantara. Pada tahun 2012, ia menerima Anugerah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan dan pada tahun 2013 menerima Anugerah Astaprana dari Kesultanan Banjar.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.