Manistebu.com | “Apa yang dirasakan Pak Hernowo paling rumit ketika membuat buku?”
“Saya merasakan hal paling rumit adalah ‘mengorganisasi pikiran’,” jawab saya.
Ketika membuat buku, saya mengibaratkan diri sedang membangun rumah. Saya harus menyediakan material atau bahan pembangun rumah. Kemudian, saya juga harus menentukan terlebih dahulu ingin membangun rumah seperti apa? Terakhir, bagaimana rancangan strukturnya: dua, tiga, atau hanya satu lantai.
Terkait dengan buku, struktur rumah sama dengan struktur buku. Ingin menggunakan hanya beberapa bab atau ada bagian. Atau kumpulan tulisan lepas, tetapi tulisan itu dikelompokkan sesuai tema. Bisa juga stukturnya mengambil bentuk yang lain.
Tentu bentuk rumah mungkin dapat disamakan dengan tipe rumah. Ini sama dengan gagasan dalam membuat buku tersebut. Kadang, dapat saja membuat buku tanpa memulai dengan gagasan. Pokoknya ingin nulis buku bertemakan ini atau itu. Hanya, gagasan itu akan membantu saya dalam mengarahkan kegiatan pembuatan buku.
Jika ada gagasan, tentu menjadikan buku saya berbeda dengan buku lain meskipun temanya biasa saja atau sama dengan buku yang sudah terbit. Gagasan juga dapat menginspirasi saya untuk membangun judul—judul buku, judul bab, atau judul-judul lainnya.
Terakhir, barulah saya memikirkan bagaimana mengumpulkan materi (bahan) untuk buku saya tersebut. Sering terjadi, materi buku itu sudah terkumpul atau sudah saya tuliskan secara bebas terlebih dahulu. Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza (Kaifa, 2003) adalah contoh terbaik untuk hal itu.
Jadi, jika diringkaskan ada tiga hal yang saya pakai untuk membangun buku: gagasan, struktur (rancangan susunan buku), dan bahan pembuat buku. Ketiga hal ini urutan kemunculannya dapat saling tukar. Bisa jadi struktur dahulu baru gagasan atau bahan dahulu baru muncul gagasan lalu terbentuklah strukturnya.
Andaikain Buku Itu Sepotong Pizza mulai dari bahan dahulu. Bahan saya kumpulkan, tambah, dan kembangkan. Selama menata bahan-bahannya, muncul gagasan: buku sebagai makanan rohani dan bagaimana membuat sebuah buku yang “enak” dibaca. Terbentuklah kemudian strukturnya.
Sampailah kita pada hal yang paling rumit: mengorganisasi pikiran. Mengapa tidak mengelola pikiran? Organization, sebagai kata benda, dalam Kamus Inggris-Indonesia (1996) susunan John M. Echols dan Hassan Shadily, dapat berarti “organisasi” dan juga “hal mengatur”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), organisasi diartikan sebagai (1) kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu; (2) kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Mengorganisasi, sebagai kata kerja, berarti mengatur dan menyusun bagian-bagian (orang dan sebagainya) sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang teratur. Sementara itu, manage, sebagai kata kerja transitif, berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, memperlakukan.
Saya menggunakan kata “mengorganisasi” bukan “mengelola” karena ada “bagian-bagian yang diatur”. Nah, menyusun materi buku sesuai struktur dan juga gagasan itu sesungguhnya menata dan menyusun agar berbagai pikiran yang berkembang itu dapat saya satukan.
Tidak mudah menjelaskan soal menyatukan berbagai pikiran yang terus berkembang sehingga menjadi satu kesatuan sesuai gagasan dan struktur. Pekerjaan mengorganisasi pikiran ini memang rumit sehingga tak mudah saya menjelaskannya lebih jauh.
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.