Dunia penyuntingan naskah memang tak pernah ada habisnya. Editing termasuk dalam linimasa proses penerbitan naskah yang merupana core (inti) dari linimasa itu sendiri, yaitu: Prewriting-Drafting-Revising-Editing-Publishing. Bila seorang penulis memiliki ide-ide berbentuk naskah mentah alias draft sebagai otak dari sebuah kerangka tulisan, maka proses penyuntingan merupakan jantung dari sistem tersebut.
Pada Pelatihan Menulis dan Swasunting Profesional yang saya ikuti bersama pak Bambang Trim pada 8 Desember 2016 lalu, filosofi pak Bambang yang menggambarkan tulis dan sunting itu malah bagaikan sepasang kekasih. Tulis tak ada tanpa sunting. Begitu pula sunting. Ya iyalah, nggak ada yang bisa disunting kalau nggak ada naskahnya. Haha…
“Tak Ada Naskah yang Tak Retak” mengupas dunia penyuntingan dari sudut pandang yang berbeda. Katakanlah, seorang penulis sudah pernah melalui proses penerbitan naskahnya, dan sudah pernah ‘melihat’ bagaimana sosok seorang editor atau penyunting tatkala naskahnya sedang di ‘utak-atik’ oleh sang editor.
Nah, namun sekali lagi, penulis hanya mengenal editor dari sudut pandangnya saja. Seorang tetangga yang baru saja lulus kuliah tahun ini bercerita pada saya,”Ais, kalau kamu nulis buku tuh, sama saja seperti menulis skripsi! Naskah kamu bakal dicoret-coret sama editor!”
Seketika itu terbayang dalam benak saya betapa ‘seramnya’ seorang editor. Pasalnya, saya juga pernah menulis sebuah karya tulis berjudul “Advantages of Visual Media on Enhancing Human’s Memory” saat saya duduk di bangku kelas 12 SMA. Masa-masa di mana karya tulis saya dikomentari, dikritik, bahkan sudah menunggu lama buat antrian mencetak naskah, lalu tiba-tiba pembimbing saya meminta naskah saya diketik ulang.
Frustasi? iya. Setelah membaca buku ini, perasaan frustasi itu sangat wajar. Mengapa? Karena ternyata menjadi editor itu lebih frustasi lagi. Haha….
Eh tapi serius, lho. Tugas-tugas editor, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamedi Mohd. Adnan yang bisa dilihat pada halaman 36:
E = Evaluation (Penilaian)
D = Delete (Mengurangi)
I = Include/Instruct (Menambahkan/Menunjukkan)
O = Organize (Merapihkan)
R = Review (Menilai)
Belum lagi jika editor harus berhadapan dengan ‘3 macam penulis L’ yang ditampilkan pada halaman 12:
- Penulis Lemah: Penulis yang pasrah dengan apa pun saran serta perbaikan dari editor
- Penulis Liat: Yaitu penulis cari ribut atau penulis yang teguh pendirian, sampai-sampai rela berdebat dengan editor
- Penulis Luwes: Nah, penulis satu ini less stressing ketimbang kedua penulis lainnya. Penulis Luwes adalah penulis yang dapat diajak kerja sama, berdiskusi cerdas, serta dapat menerima saran-saran dari editor.
Satu hal yang ternyata adalah hal yang perlu dipahami oleh editor adalah:
Kemahiran dan keterampilan berbahasa mereka harus di atas rata-rata dengan juga menguasai berbagai teori kebahasaan sebagai penguat argumen
Bukannya sombong, bukan juga mau pamer ilmu. Tujuan mengapa editor harus menjadi Master tingkat tinggi karena peran editor itu sendiri. Layaknya dosen pembimbing skripsi dan karya tulis, editor wajib membimbing dan menuntun naskah menuju ‘jalan yang benar’.
Buku “Tak Ada Naskah yang Tak Retak” bukan cuma cocok dibaca oleh orang-orang yang berprofesi sebagai editor, tapi juga penulis, penerbit, ghostwriter, kepala penerbitan, bahkan layouter dan ilustrator. Baca lah buku ini, karena toh, siapa tahu konsep editing yang disajikan secara rinci dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.
Jika Anda bingung di mana mencari buku ini, saya cuma bisa merekomendasikan Distrobuku.com. Sebab, portal toko buku online ini tempat pesan buku langsung dari penulisnya! Keren, kan?
Sekarang, saya sudah paham dunia penyuntingan, karena memang tak ada naskah yang tak retak. Anda kapan? []

Untuk beli bukunya dari link mana ya?? Soalnya saya tdk bisa akses link http://www.distrobuku.com