Manistebu.com | Kasus buku yang menjadi kontroversial karena kontennya, memang tidak dapat terbendung ketika menjadi viral di dunia maya. Tidak jarang sebuah kegeraman ditumpahkan hanya dari potongan-potongan informasi yang diterima seseorang. Itu yang terjadi dalam beberapa hari ini pada buku anak berjudul Aku Berani Tidur Sendiri: Aku Belajar Mengendalikan Diri karya Fita Chakra, terbitan Tiga Ananda (imprint Tiga Serangkai).
Dalam tulisan ini saya ingin beropini dari beberapa sisi. Bukan hanya karena secara psikologis, saya pernah terkait juga dengan penerbitnya. Imprint Tiga Ananda adalah gagasan saya ketika masih menjabat sebagai GM General Book di Tiga Serangkai (TS)–saat itu saya menggagas beberapa imprint baru untuk memberi pemosisian baru bagi produk buku umum TS. Seandainya saya masih di sana, tentulah kasus buku ini juga harus saya hadapi.
Saya perlu sedapat mungkin membela penulis, editor, ilustrator, dan tim yang telah bekerja untuk itu karena bagaimanapun mereka bekerja atas dasar sebuah proses panjang yang telah diamini bersama. Dalam sebuah penerbitan yang sudah mapan, tidak serta merta sebuah naskah diloloskan dan dijadikan buku begitu saja. Sebuah ilmu bernama comprehensive editing, sangat memungkinkan pimpinan penerbitan (chief editor) mengambil keputusan menghentikan proses penerbitan sebuah buku dengan beberapa pertimbangan.
Karena itu, jika sebuah buku sudah telanjur terbit dan ternyata mengundang keresahan pada masyarakat, boleh saja penerbit berkilah dalam sudut pandang lain setelah menelusuri dulu akar masalah yang terjadi. Jika pun memang ada kekeliruan, penerbit juga tidak perlu membuang energi membela diri mati-matian, tetapi meminta maaf langsung justru lebih elegan, sambil kemudian mengevaluasi kembali kinerja editorial yang telah dilakukan penerbit.
Sisi lain, saya mengenal Fita Chakra (Fitria Chakrawati) sebagai seorang penulis buku anak yang produktif. Bahkan, yang saya tahu Fita juga meneruskan tradisi saya ketika mengusung ide The Story Explorer di TS dengan memberi pelatihan kepada para penulis cilik. Fita jelas bukan penulis kemarin sore karena sudah menghasilkan banyak karya. Blognya sendiri ia juduli Menulis dengan Hati. Setahu saya juga, Fita pernah meraih penghargaan untuk karyanya di ajang Islamic Book Fair.
Saat menerima kabar ini kali pertama di grup WA Rumah Penulis Indonesia, saya menitip pesan kepada Mas Wiwien yang menjadi pengurus Penpro Semarang untuk mengajak Fita masuk Asosiasi Penulis Profesional Indonesia (Penpro). Seandainya Fita sudah masuk Penpro, tentulah Penpro akan turun tangan memberikan advokasi kepada anggotanya. Bukan soal membela penulis yang dibilang khilaf, melainkan untuk mendudukkan persoalan secara proporsional dan profesional agar Fita tidak menjadi “korban” risak di dunia maya dan bulan-bulanan di media sosial.
Jika perlu, ujaran yang disampaikan Menko PMK Puan agar melakukan investigasi dapat dilakukan. Bagaimana misalnya ide penulisan buku itu bermula, lalu dipresentasikan dan dirapatkan di redaksi? Penerbit sekaliber TS tentulah juga punya pertimbangan dan kaidah-kaidah redaksional–juga argumentasi seperti yang disampaikan lewat media sosial tentang niat baik untuk memberikan pendidikan seks kepada anak dan bahwa penerbitan buku sudah dikonsultasikan sebelumnya kepada para pakar.
Sisi lain seperti sebuah momentum bahwa kasus ini mencuat tepat ketika Komisi X DPR-RI, Panja RUU Sistem Perbukuan, tengah melakukan uji publik di Semarang dan di Medan. Sontak saya pun dimintai pendapat dari Ketua Panja soal kasus ini karena kedudukan saya sebagai tim pendamping ahli RUU Sisbuk. Saya juga sempat diwawancarai oleh Radio Elshinta di Medan karena kebetulan saya memang sedang berada di kota durian Ucok itu dalam kaitan uji publik RUU.
Saya belum membaca utuh buku Fita sehingga pendapat saya pun normatif dan dalam sekilas saya hanya dapat mengatakan ada sisi yang tidak tertutupi atau terlewat dari pengamanan penyajian pada buku sensitif tersebut. Semestinya memang lebih baik jika lebih dulu disiapkan buku untuk orangtua atau pendidik terkait pendikan seks untuk anak sebelum buku anaknya yang diterbitkan. Dengan demikian, buku orangtua/pendidik dan buku anak dapat dibuat satu paket. Namun, itu contoh gagasan pengemasan saja.
Selain itu, terkait dengan isi yang sensitif, sebaiknya memang dilakukan uji coba secara terbatas agar penerbit dan penulis menerima masukan dari pembaca sasaran, termasuk orangtua dan pendidik. Tidak usah jauh-jauh, uji coba dapat dilakukan di lingkungan karyawan penerbit sendiri.
***
Kasus buku-buku bermasalah seperti ini selalu terjadi berulang dan yang menjadi korban utama biasanya para penulis atau editornya. Harus diakui kadang ada tengara bahwa buku bermasalah memang sengaja ditulis, tetapi ada juga karena ketidaksengajaan atau suatu kealpaan yang normal terjadi pada manusia. Saya pun kadang dalam menulis tidak luput dari kekeliruan meskipun tidak sampai pada tahap fatal. Mana ada sih naskah yang “tak retak” dan penulisnya tak pernah luput dari kekeliruan?
Kalau penulis memang benar-benar sengaja menulis buku yang menyesatkan, apalagi untuk anak, itu adalah sebuah kejahatan. Namun, jika penulis keliru atau khilaf karena luput mempertimbangkan suatu hal dalam proses kreatifnya, itu tentu harus dimaafkan dan penulis diberi jalan untuk memperbaiki karyanya.
Saya juga tidak berani mengatakan masyarakat kita belum siap dengan pendidikan seks untuk anak karena nanti malah membuat masyarakat tersinggung bahwa hanya ada segelintir orang di Indonesia ini yang paham dengan pendidikan seks, sedangkan yang lainnya tidak. Masyarakat kita sejatinya sudah terbentuk dari suatu akar budaya yang memiliki pantangan atau ketabuan untuk diungkapkan. Bukan persoalan pendidikan seksnya, melainkan persoalan cara menyajikannya dan media untuk menyajikan.
Opini ini memang mengandung pembelaan terhadap penulis yang bukunya tiba-tiba dianggap kontroversial. Meskipun sang penulis sudah coba memberi klarifikasi dan penjelasan, lebih banyak publik yang tidak mau tahu dan tetap menganggap penulis telah melakukan kecerobohan dalam karyanya. Namun, mari kita memberi ruang tenang bagi penulis untuk berkontemplasi atas apa yang terjadi–dalam konteks seutuhnya buku itu setelah saya ketahui bahwa cerita itu merupakan rangkaian kejadian yang faktanya dialami banyak anak lelaki.
Dan buku itu pun sudah ditarik. Penerbitnya sudah meminta maaf. Penulisnya, Fita pun telah meminta maaf seperti dalam tautan berikut ini http://Fitria Chakrawati.
Fita memerlukan dukungan, terutama dari rekan-rekan sesama penulis. Pada suatu saat mungkin kita juga yang memerlukan dukungan dari yang lainnya ketika sebuah karya bergulir tanpa kita sadari berbeda dalam sudut pandang banyak orang.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.