Ingat gagasan, ingat Rendra. Rendra yang saya maksud adalah Rendra si Burung Merak yang sangat memukau ketika membacakan sajak-sajaknya di atas panggung. Rendra pernah menulis sebuah esai berjudul “Pengarang dan Ilhamnya” (lihat Dwi Klik Santosa [ed.], Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an, Burung Merak Press, Cet. II, Agustus 2008). Dalam esainya itu, Rendra menuliskan hal menarik:”Bagaimanakah saudara mendapat ilham untuk karangan-karangan saudara? Apakah saudara mempunyai cara yang khusus untuk mencari ilham? Inilah pertanyaan yang sering diajukan oleh orang-orang kepada para pengarang. Sebagian besar surat-surat dari pembaca kepada saya juga menanyakan hal-hal tersebut.”
Tulisan tentang ilham yang disampaikan Rendra itu terkait dengan ide atau gagasan dalam membuat karangan. Apa jawaban Rendra? Dalam sub-bab yang diberi judul dengan sangat bagus, yaitu “Hidup yang Berisi”, Rendra menjelaskan bagaimana dia, sebagai seorang pengarang, mendapatkan ilham. Menurut Rendra, kedatangan “ilham” itu—merujuk ke ilmu jiwa—bisa diterangkan sebagai berikut: “Suatu waktu kita pernah berpikir tentang sesuatu dan mendapatkan buah pikiran tertentu yang kemudian, karena susulan-susulan yang lain, terlupakan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi kemudian, oleh suatu rangsangan, hal itu muncul kembali ke dalam kesadaran kita.”
Nah, Rendra sangat menekankan sekali soal rangsangan sebab “ilham” itu sesungguhnya sudah tertanam di dalam diri kita dan karena sesuatu hal, lantas tidak kita ingat. Untuk dapat mengingat atau memunculkannya, perlulah sebuah rangsangan. Untuk mencari rangsangan itu, menurut Rendra, seorang pengarang tidak perlu ngeluyur (pergi ke mana-mana tanpa ada tujuan yang jelas. Bisa juga memiliki tujuan yang jelas, tapi hanya iseng) atau semacam itu. Rangsangan yang baik akan timbul dengan sendirinya secara normal dan natural. Apabila rangsangan itu dicari-cari, jadinya akan tak natural.
“Pengarang akan selalu mengalami ‘rangsangan-rangsangan’ yang timbul dengan sendirinya apabila hidupnya memang berisi,” tegas Rendra, “namun pengarang yang hidupnya kosong dan iseng akan terpaksa mencari rangsangan itu. Jadi, sebetulnya tak ada gunanya ribut-ribut tentang bagaimana cara mencarinya. Titik pentingnya terletak pada bagaimana cara untuk membuat hidup si penulis jadi lebih berisi sehingga ia akan selalu mendapat stimulus yang memicu rangsangan tersebut.”
Bagaimana membuat hidup kita berisi? Menurut Rendra, pertama, banyak-banyaklah belajar dan membaca. Kedua, lakukanlah perjalanan jauh. Ketiga, bekerjalah sehari-hari secara normal. Keempat, pandai-pandailah bergaul di segala lingkungan. Kelima, lakukanlah pelbagai aktivitas yang berguna. Jadi, daripada keluyuran atau bertapa atau begadang malam-malam sembari minum kopi—yang kadang dimaknai sebagai sebuah keadaan sedang menunggu datangnya ilham—Rendra mengajak para pengarang untuk melakukan kegiatan-kegiatan normal sehari-hari untuk membuat hidupnya berisi terlebih dahulu.
Bagi saya, mengawali pembuatan buku dengan sebuah ide sangatlah penting. Ide ini akan meningkatkan gairah saya dalam membuat buku. Ide juga akan membantu saya dalam memfokuskan pikiran. Menurut pengalaman saya, ide ini nantinya juga akan berperan besar dalam membuat judul buku, sinopsis, dan juga asesori lain untuk melengkapi buku.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.