Manistebu.com | Jumat 18/3 saya bergegas dari Gedung Ikapi di kawasan Cikini menuju Atrium Senen. Rintik hujan masih meningkahi setelah lelah menderas di Jakarta Pusat. Ada janji pertemuan mendadak dengan seorang penulis yang saya kagumi cara ia mengurai masalah, apalagi politik. Saya menyapanya dengan “Bang” meski ia merasa sungkan.
Penulis itu adalah Yusran Darmawan. Ini adalah pertemuan kali kedua kami secara fisik, tetapi yang kali pertama saya tidak menyadari pernah bertemu Bang Yusran di Gramedia Matraman saat peluncuran novel Nibiru karya Tasaro GK.
Bang Yusran sejauh yang saya kenal, aktif menulis esai dan artikel opini untuk beberapa portal. Ia juga menulis buku dan melakukan perjalanan riset untuk menulis. Ia sendiri masih berprofesi sebagai PNS di bidang riset di IPB. Hal yang pasti saya menyukai tulisan-tulisannya terkait analisis politik ataupun soal kearifan lokal.
Obrolan kami ngalor ngidul seputar pekerjaan menulis sampai juga saya menceritakan perkembangan RUU Sistem Perbukuan yang kebetulan saya melakoni diri sebagai tim pendamping ahli.
“Industri penerbitan buku Indonesia juga harus siap menghadapi disrupsi,” kata saya sambil mengingat bahasan Prof. Rhenald Kasali tentang disruption yang sekarang menjadi topik kesukaannya. Sebulan lalu saya sempat juga mengikuti presentasi seorang dosen UI tentang disruption ini dalam sebuah forum KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional).
Disrupsi dalam KBBI artinya ‘perihal tercabut dari akarnya’. Dalam konteks kini, disrupsi menjadi istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan radikal atau ekstrem di berbagai bidang yang membalikkan banyak logika berpikir, terutama di bidang bisnis. Hitungan rencana jangka panjang dengan prediksi atau asumsi tren 5 sampai 10 tahun, sudah tidak berlaku lagi karena perubahan dapat terjadi dalam hitungan satu tahun saja.
Disrupsi di dunia penerbitan buku memang sudah terjadi beberapa tahun lalu dengan kemunculan teknologi POD (print on demand), berbagai platform buku elektronik, dan juga aplikasi semacam Wattpad saat ini yang memungkinkan seorang penulis langsung berkarya dan dibaca ribuan orang dalam hitungan jam.
Disrupsi kreatif ini adalah para penulis tak lagi bergantung pada penerbit untuk menerbitkan bukunya. Walaupun demikian, kesadaran melakukan ini secara besar-besaran belum terjadi di Indonesia. Para penulis masih memandang menerbitkan buku yang mereka sebut di penerbit mayor masih lebih bergengsi daripada menerbitkan buku sendiri.
Mengapa? Karena memang sebagian besar penulis pun tidak memiliki kapasitas untuk menjadi self-publisher–justru yang terjadi istilah self-publisher menjadi bias dengan vanity publisher. Tapi, saya lihat saat ini penerbit konvensional ataupun penerbit tradisional harus peka terhadap perubahan radikal itu ketika mereka malah harus bersaing dengan self-publisher ataupun penerbit “kemarin sore” yang membangun sistem dan platform lebih menarik bagi para penulis.
Ketika Toko Buku Gramedia mengubah labelnya menjadi Toko Gramedia (saja), banyak orang yang protes dan menunjukkan bahwa Gramedia telah meninggalkan bidang yang membesarkannya, yaitu buku. Saya kira bukan karena Gramedia sudah tidak sudi disebut toko buku, tetapi para petingginya sedang mengamati gejala disrupsi ini. Mereka memutuskan harus berubah cepat meskipun “akar buku” itu tidak mereka tinggalkan sama sekali. Mereka paham jika tidak berubah, dominasi mereka dalam dunia penerbitan buku akan tumbang juga.
Belajar dari Blue Bird atau armada taksi lain yang kini pendapatannya sedikit banyak porak poranda oleh kehadiran taksi daring, lalu langkah yang dilakukan raksasa seperti Blue Bird akhirnya adalah “berdamai” dengan Gojek. Disrupsi besar telah terjadi di dunia transportasi, khususnya di kota besar. Begitu pula di dunia pariwisata, khususnya perhotelan.
Saya sudah membayangan sekira 10 tahun lalu bahwa orang sudah dapat menerbitkan buku hanya dari ruang 3 x 3 meter, bahkan kurang dan menghasilkan omset miliaran rupiah. Menulis sebagai pekerjaan artisanal (kerajinan tangan) juga semakin menemukan momentumnya untuk menghasilkan rupiah karena diposisikan sebagai ‘konten’ bukan sekadar naskah.
Karena itu, bolehlah resah mereka yang memiliki ilmu kanuragan menulis, tetapi belum mampu mengoptimalkan kemampuannya sendiri. Keterampilan artisanal itu tertanam di gawai dirinya, tetapi tidak berkembang menjadi “aplikasi” yang mendatangkan keuntungan, baik keuntungan finansial maupun keuntungan sosial.
Hampir dua jam kami mengobrol sambil menikmati sajian minuman di Dunkin Donuts antara Bang Yusran dan saya. Sungguh kurang untuk sebuah obrolan bertukar pikiran, apalagi tentang writerpreneurship. Kami mengakhiri pertemuan sore hingga menjelang malam itu dengan kesepakatan bersua kembali.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Pingback: Suatu Hari Bersama Bambang Trim – SEMUA INFORMASI ADA DISINI