Hermawan Kartajaya memiliki buku kecil yang mengesankan saya, judulnya, Marketing Yourself (MarkPlus & Co, 2004). Buku kecil karya Hermawan ini mengenalkan kepada saya konsep membangun citra diri dengan nama segitiga PDB—segitiga Positioning, Differentiation, dan Brand. Agar dikenal di tengah masyarakat dengan baik, seseorang perlu memosisikan diri secara berbeda dengan diri lain sehinggga punya merek (brand) yang mudah dikenali oleh masyarakat.
Ketika era digital tiba, Hermawan memperbarui konsep segitiga PDB itu dalam bukunya yang berjudul, New Wave Marketing (PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hermawan mengubah PDB menjadi 3C: Positioning diganti Clarifying, Differentiation diganti Coding, dan Brand diganti Character. Bagi saya, gagasan adalah karakter yang dimiliki seseorang atau merek (brand) yang mencuat dari sang diri.
“Kata brand sendiri berasal dari bahasa Skandinavia Kuno, brandr, yang artinya ‘membakar’,” tulis Hermawan. “Istilah ini mengacu kepada aktivitas para peternak yang mengecap hewan ternaknya dengan besi panas untuk membedakan antara hewan yang satu dengan yang lain.”
Selain melacak asal-usul kata brand, Hermawan juga merujuk definisi brand yang diberikan oleh American Marketing Association (AMA). Menurut AMA, “Brand adalah sebuah nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut, yang bertujuan mengidentifikasi barang dan layanan dari suatu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari pesaing.”
Ketika seseorang ingin membuat buku, sesungguhnya dia harus memikirkan tentang bagaimana menjual buku karyanya—atau bagaimana buku yang dibuatnya itu dapat dikenali dan kemudian menarik minat masyarakat untuk membelinya. Salah satu yang akan memudahkan buku tersebut dikenali dan kemungkinan terjual dengan mudah dan cepat adalah apabila buku itu memiliki brand atau—dalam bahasa saya disebut—gagasan (karakter).
Lebih jauh, di era digital, Hermawan kemudian mengaitkan brand dengan karakter. Bagi saya, untuk memunculkan gagasan—sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya yang mengaitkan gagasan dengan keunikan—seseorang perlu memahami karakternya. “Nah, bagi saya sendiri, brand adalah value indicator,” tegas Hermawan. “Brand bukan sekadar nama. Bukan juga sekadar logo atau simbol. Salah satu unsur brand memang adalah nama (brand name).”
“Kedua istilah ini—brand dan brand name—memang dianggap sama, tetapi sebenarnya berbeda. Brand punya makna yang lebih luas dan dalam daripada sekadar nama. Brand adalah ‘payung’ yang merepresentasikan produk atau layanan, perusahaan, orang, atau bahkan negara. Brand merupakan cerminan value yang kita berikan kepada pelanggan. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai value indicator.”
Ketika Anda memiliki gagasan dan gagasan tersebut tercermin dalam judul buku Anda, misalnya, buku Anda seakan-akan sedang menawarkan value. Value inilah yang menjadikan buku Anda menarik dan berbeda dengan buku lainnya. Lebih jauh, value atau gagasan inilah juga yang menjadikan buku karya Anda dapat dipakai sebagai personal branding bagi diri Anda. Anda kemudian dikenali masyarakat lewat buku Anda yang memiliki gagasan (karakter).
Gagasan dapan dimunculkan dari diri Anda yang unik. Karakter Anda adalah keunikan Anda. Kaitkan buku yang Anda buat dengan keunikan atau karakter Anda.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.