Manistebu.com | Tahun 2017 ini, LIPI mulai memberlakukan akreditasi penerbit ilmiah khusus untuk penerbitan buku. Artinya, hanya penerbit ilmiah terakreditasi atau memenuhi syarat yang bukunya dapat dinilai sebagai angka kredit bagi para peneliti ataupun widyaiswara di lingkungan LIPI serta berbagai lembaga pemerintah yang menerbitkan buku. Akreditasi penerbit ilmiah ini didasarkan pada Peraturan Kepala LIPI No. 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Akreditasi Penerbit Ilmiah. Sebelumnya LIPI juga telah mengeluarkan Perka LIPI No. 03 Tahun 2014 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah yang ditujukan untuk penerbit jurnal ilmiah.
Dalam sebulan ini, dua kali saya menghadiri acara terkait dengan rencana akreditasi penerbit ilmiah. Pertama, saya menjadi narasumber bersama Prof. Djoko, Kepala Pusbindiklat LIPI, untuk mengisi materi penerbitan ilmiah di Balitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam rangka pendirian Penerbit Agraria.
Acara kedua adalah di Balitbangkes, Kementerian Kesehatan. Badan ini telah lebih dulu mendirikan penerbit bernama Lembaga Penerbitan Balitbangkes (LPB). Saya hadir pada acara pertama yaitu terkait MOU antara Ikapi dan Balitbangkes. Selanjutnya, saya diminta untuk menjadi narasumber tentang Manajemen Penerbitan yang Terakreditasi. Seharian saya berbagi kepada tim LPB tentang langkah-langkah menuju akreditasi penerbit ilmiah, termasuk menyusun outline draf Pedoman dan Panduan Penerbitan.
Tiga pengalaman saya sebelumnya untuk menyusun pedoman penerbitan atau buku gaya selingkung (house style book) memang jadi bekal berharga. Secara intens saya telah membantu penyusunan pedoman dan panduan teknis penerbitan untuk IAARD Press, Balitbangtan, Kementan. Kedua, untk P2M2 UT sebagai lembaga penerbit buku dan modul UT. Ketiga, saya turut membantu penelaahan buku pedoman penerbitan buku yang disusun oleh LIPI Press.

Wajar jika para penerbit buku-buku ilmiah, terutama dari kalangan pemerintah ini masih gamang untuk memenuhi akreditasi penerbit ilmiah. Pasalnya, akreditasi menuntut pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan ilmu penerbitan (publishing science) yang sangat jarang diketahui di Indonesia. Pendidikan dan pelatihan ilmu penerbitan sangat minim diadakan di Indonesia, bahkan untuk pendidikan formal hanya ada satu di Polimedia yaitu di Jurusan Penerbitan. Itu pun masih setingkat D-3.
Dalam Perka LIPI tentang Akreditasi Penerbit Ilmiah tersebut bertebaran istilah-istilah teknis penerbitan yang terkadang belum banyak dipahami oleh para pelaku penerbitan sendiri. Berikut contoh definisi dari penerbitan.
“Penerbitan adalah suatu rangkaian kegiatan penelaahan, penyuntingan, produksi, promosi dan distribusi, yang bertujuan untuk menambah nilai suatu naskah/artikel sehingga menjadi terbitan (baik tercetak maupun elektronik) yang layak bagi pembaca sasaran.”
Dalam definisi lanjutan disebutkan berikut:
“Penerbitan ilmiah adalah proses yang menekankan pada aspek penyuntingan substansi melalui penilaian dan penelaahan naskah untuk menghasilkan terbitan karya tulis ilmiah (KTI) sesuai dengan kaidah yang ditetapkan.”
Pada definisi tersebut ada istilah penyuntingan substansi (substantive editing) sebagai salah satu jenis penyuntingan/editing yang menekankan pada aspek konten/materi. Selain penyuntingan substansi, dikenal juga penyuntingan mekanis (mechanical editing) yang juga sangat penting untuk menjaga mutu terbitan. Dengan kata lain, penerbitan ilmiah sangat mengutamakan aspek editorial atau adanya manajemen editorial yang standar dan profesional sebagai implementasi dari manajemen kendali mutu.
Perhatikan tabel bobot penilaian akreditasi berikut ini.
No. |
Unsur |
Nilai |
1 |
Sistem Manajemen Mutu Penerbitan Ilmiah |
37 |
2 |
Substansi Ilmiah |
32 |
3 |
Konsistensi Gaya Selingkung |
18 |
4 |
Kompetensi SDM dan Infrastruktur Penerbitan |
13 |
Jumlah Total |
100 |
Unsur tertinggi terdapat pada manajemen mutu dan substansi ilmiah. Tiap-tiap bagian itu dijabarkan lagi menjadi beberapa poin indikator penilaian seperti yang terdapat di dalam Pedoman Akreditasi Penerbit Ilmiah yang dikeluarkan oleh LIPI.
Menemukan Momentumnya
Rintisan LIPI untuk mengakreditasi penerbit ilmiah patut diapresiasi karena ini menjadi titik awal untuk meningkatkan mutu penerbitan ilmiah. Tidak akan ada lagi “penerbit abal-abal” yang menerbitkan buku ilmiah dengan cara menawarkan jasa ke para peneliti atau widyaiswara agar mendapatkan angka kredit kenaikan pangkat, tetapi mutu terbitan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, momentum akreditasi ini sejalan dengan akan diundangkannya RUU Sistem Perbukuan oleh Pemerintah RI. Di dalam RUU Sisbuk, lembaga pemerintah telah diakui sebagai penerbit. Berikut bunyi pasal tentang penerbit: “Penerbit adalah lembaga pemerintah atau lembaga swasta yang menyelenggarakan kegiatan penerbitan buku.” Adapun dalam Pedoman Akreditasi Penerbit Ilmiah yang dikeluarkan LIPI mendefinisikan penerbit ilmiah sebagai berikut: “Penerbit ilmiah adalah suatu organisasi atau badan hukum yang memiliki tugas dan fungsi utama melaksanakan penerbitan ilmiah untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.”
Penerbitan ilmiah karya para penulis Indonesia sudah saatnya unjuk gigi di tingkat dunia. Karena itu, penanganan penerbit secara profesional memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Di dunia perguruan tinggi pun kadang persoalan unit penerbitan ini masih terabaikan sehingga banyak university press yang mati suri atau kurang memberikan kontribusi pada citra perguruan tinggi tersebut.
***
Kegiatan di Grand Hotel Cempaka yang diselenggarakan oleh Balitbangkes untuk menyiapkan Lembaga Penerbitan Balitbangkes menjadi penerbit ilmiah terakreditasi masih menyisakan PR untuk menyusun pedoman dan panduan teknis penerbit. Saya dihujani begitu banyak pertanyaan, baik yang bersifat umum hingga yang bersifat teknis tentang penerbitan. Pengalaman selama lebih dari 20 tahun di dunia penerbitan dengan aneka terbitan dan latar belakang pendidikan tinggi saya di bidang editing dan publishing science menjadi bekal berharga untuk menjawab semua pertanyaan, termasuk pada soal penerbitan elektronik.
Pada dasarnya, sebuah penerbit ilmiah harus terlebih dahulu menyiapkan SOP penerbitan dan manajemen editorial. Proses penerbitan buku sejatinya memang kompleks karena melibatkan beberapa bidang keahlian.
Usulan saya tentang sertifikasi penulis dan editor buku ilmiah juga mendapat sambutan antusias, terutama dari Prof. Djoko (Kapusbindiklat LIPI). Artinya, akreditasi akan lebih “afdol” jika para pelaku perbukuan juga memiliki sertifikasi karena penulisan dan penyuntingan juga merupakan nomenklatur ilmu pengetahuan yang diakui di dunia.
Institut Penulis Indonesia (IPI) di bawah naungan PT Inkubator Penulis Indonesia yang saya dirikan telah dipersiapkan untuk memberikan jasa konsultasi dalam pendirian penerbit dan akreditasi penerbit, termasuk untuk sertifikasi para pelaku penerbitan, terutama para penulis dan editor. Kami juga memberikan pelatihan-pelatihan teknis penulisan dan editing, termasuk untuk karya tulis ilmiah (KTI).
Saat ini, IPI telah menandatangani MOU dengan Universitas Islam Negeri Sumatra Utara dan juga dalam proses dengan Universitas Muhammadiyah Purwokerto dalam upaya peningkatan daya literasi civitas academica kampus tersebut. Di Makassar, IPI telah menandatangani MOU dengan IGI Sulawesi Selatan yang diwakili oleh pimpinan IPI di sana, Bachtiar Adnan. Masih ada beberapa lembaga pendidikan tinggi yang telah bersiap mengikat kerja sama dengan IPI untuk peningkatan kapasitas SDM di bidang penulisan dan penerbitan.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.