“… kesanggupan berbahasa merupakan ciri keunggulan eksistensi manusia sebagai penghuni a world of discourses. Ini berarti bahwa perkembangan kesanggupan berbahasa sekaligus merupakan proses yang memperkaya dan mempercanggih gagasan dan wawasan (ideas and insights) seseorang.”
-Prof. Dr. FUAD HASSAN
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa berarti: (1) sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka), yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri; (2) percakapan (perkataan) yang baik. KBBI menjelaskan arti kata “bahasa” dan bentukannya ini hampir sehalaman penuh.
Dalam On Writing (Qanita, 2005), Stephen King menekankan sekali pentingnya bahasa untuk dikuasai oleh seorang penulis. King secara rinci menjelaskan perkakas bernama bahasa ini dan memberikan contoh-contohnya secara sangat menarik dan tidak membosankan. Perkakas ini oleh King dirumuskan secara sangat spesifik dan dibagi menjadi tiga: (1) kosakata (perbendaharaan kata), (2) tata bahasa (cara membuat kalimat efektif), dan (3) gaya tulisan (secara khusus King membahas tentang makna paragraf).
Sekali lagi, mengapa bahasa menjadi perkakas terpenting? Pertama, kita tidak sedang melakukan perbincangan lisan. Kita sedang berusaha merumuskan sesuatu yang abstrak (yang ada di pikiran kita dan mungkin juga perasaan kita) lewat kata-kata yang tersusun rapi dan dapat dinalar secara baik. Memiliki kekayaan bahasa—lebih spesifik lagi: kosakata—akan membantu seorang penulis untuk menyampaikan berbagai pikiran dan perasaannya secara sangat kaya, logis, dan elok.
Kedua, memiliki bahasa yang kaya, beragam, dan indah akan—merujuk ke pendapat ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen dalam bukunya The Power of Reading (Libraries Unlimited, 2004)—memungkinkan pemiliknya mengembangkan dan menyampaikan pikirannya secara sangat jelas (terang benderang). Pikiran yang berkembang dengan baik akan menjadikan tulisan memiliki detail yang menarik serta cermat dan akurat. Menulis sesungguhnya sangat berkaitan dengan pikiran—tepatnya pikiran yang sudah berkembang dengan baik.
Ketiga, mengikuti pendapat King, kata itu representasi dari makna. Inilah alasan King tentang pentingnya kosakata diletakkan sebagai perkakas nomor satu. Ketika kita menulis, yang kita tulis bukan sekadar huruf (yang mati), rangkaian huruf (kata yang hampa/hambar), ataupun kalimat (rangkaian kata yang tak logis). Hal yang kita tulis adalah makna—sesuatu yang sangat penting dan berharga yang menyerbu dan menggerakkan pikiran. Makna itu harus dikandung oleh deretan kata yang kita tulis. Inilah mengapa menyediakan perkakas berupa bahasa menjadi sangat penting.
Dari buku Main-Main Dengan Teks (Kaifa, 2004), saya merancang sebuah “dunia teks” yang di dalamnya ada tujuh batu bata pembangun dunia tersebut. Ketujuh batu bata itu adalah kata, istilah, kalimat, definisi, alinea atau paragraf, makna, dan komunikasi. Siapa saja yang ingin memasuki “dunia teks” akan menjumpai ketujuh komponen pembangun “dunia teks” tersebut. Mula-mula dia akan berjumpa dengan komponen terkecil: kata.
Dari kata akan muncul berbagai bentuk “makhluk” yang mengisi “dunia teks” dengan beragam gaya. “Makhluk” pertama yang sering muncul adalah istilah. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), istilah diartikan sebagai (1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas di bidang tertentu; kemudian (2) sebutan, nama; dan (3) kata atau ungkapan khusus. Dari kata dan istilah ini muncul “makhluk” lain yang masih sangat dekat dengan kata atau istilah: kalimat.
Kata, istilah, dan kalimat kemudian berhasil melahirkan definisi. Definisi ini akan lebih lengkap apabila dibuat sepanjang satu alinea. Dan, akhirnya, kelima komponen “dunia teks” itu—kata, istilah, kalimat, definisi, dan alinea—apabila bersatu padu dan bekerja sama akan membentuk makna. Meskipun kadang komunikasi antarmanusia ada yang tidak bermakna alias sekadar obrolan ringan, makna tetap sangat penting apabila komunikasi itu dilakukan secara tertulis.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.