“Pak Hernowo, saya belum paham dengan ‘perkakas’ bernama bahasa. Mengapa bahasa menjadi ‘perkakas’ paling penting di kotak perkakas menulis?”
“Baik, ini jawaban saya. Setelah meminta bantuan Dr. Krashen, kali ini saya akan meminta bantuan Stephen King untuk menjelaskannya. Judul tulisan saya ini tepatnya adalah ‘Kosakata, Tata Bahasa, dan Ihwal Paragraf dalam Writing Toolbox: Sesuai Penjelasan King’.”
On Writing: A Memoir of the Craft (Pocket Books, 2000) merupakan judul lengkap edisi Inggris karya Stephen King, On Writing (Qanita, 2005), yang saya rujuk. Memoir dapat berarti laporan ilmiah atau riwayat hidup singkat, sedangkan craft adalah keahlian atau keprigelan. King, atau mungkin editornya, memberi anak judul seperti itu untuk menegaskan bahwa buku yang menjelaskan tentang seluk-beluk menulis ini berpijak pada pengalaman King sebagai penulis.
Pengalaman menulis King yang bagaimana? Tentu saja pengalaman-unik King ketika menulis novel-novel thriller-nya. Jika dijabarkan lebih jauh, pengalaman itu mencakup riwayat hidup King sebagai seorang penulis. Mungkin juga profesi penulis yang dijalani King yang dapat dimaknai sebagai sebuah keahlian (craft). Di benak saya, begitu memahami anak judul, A Memoir of the Craft, terbentuk gambaran tentang para pengukir kayu dari Jepara atau Bali yang piawai membuat berbagai karya seni ukiran kayu.
Ketika King mengaitkan toolbox yang dimiliki pamannya, Paman Oren, yang berprofesi sebagai tukang kayu, dengan pentingnya seorang penulis memiliki toolbox menulis, masuk akallah pengaitan tersebut. Saya merasakan kemudahan dan kelancaran menulis ketika memiliki kotak perkakas menulis. Seperti telah saya sebutkan sepintas, kotak perkakas menulis saya itu berisi lima perkakas yang secara otomatis membantu saya ketika saya berhadapan, terutama, dengan “writer’s block”: (1) bahasa, (2) mengikat makna, (3) free writing, (4) mind mapping, dan (5) AMBAK. Saat ini, saya masih memfokuskan diri pada perkakas #1 Bahasa.
Ketika menganjurkan Bahasa untuk dijadikan perkakas #1, novelis kondang tersebut merinci perkakas Bahasa dalam tiga unsur penting: (1) kepemilikan kosakata, (2) kepiawaian memahami tata bahasa, dan (3) kecanggihan menyusun paragraf.
Setidaknya, dalam konteks Bahasa, ketiga unsur tersebut perlu dikuasai oleh seorang penulis secara baik. King menjelaskan ketiga unsur tersebut secara sangat menarik. King lebih banyak memberikan contoh ketimbang sekadar berteori. Saya benar-benar takjub!
Tentang kosakata. King menulis: “Ingatlah bahwa aturan dasar kosakata adalah menggunakan kata pertama yang terlintas dalam pikiranmu, jika kata itu tepat dan penuh warna. Jika kau ragu-ragu dan mau memikirkannya dalam-dalam, kau akan menemukan kata lain—tentu saja, selalu akan ada kata lain—tetapi itu mungkin tidak akan sebagus kata pertamamu atau sedekat dengan yang benar-benar kau maksudkan (halaman 155).
Tentang tata bahasa. King menyarankan agar berupaya untuk menggunakan kalimat aktif. “Tubuh itu dibawa dari dapur dan ditempatkan di ruang tamu”, sebaiknya ditulis, “Freddy dan Myra membawa tubuh itu keluar dari dapur dan menempatkannya di atas sofa ruang tamu” (halaman 164). King juga menegaskan bahwa “kata keterangan bukan teman penulis” (halaman 165). Dalam bahasa Inggris, kata keterangan adalah kata yang diakhiri dengan “-ly” (dalam bahasa Indonesia, biasanya diungkapkan dengan kata “dengan”). Contoh: “dia menutup pintu dengan keras” sebaiknya ditulis “dia membanting pintu”.
Tentang paragraf. “Paragraf adalah bentuk organisasi yang muncul setelah kalimat,” tegas King. “Ambillah sebuah buku. Bukalah buku itu di tengah-tengahnya dan lihatlah kedua halaman yang terbuka itu. Perhatikan polanya—baris-baris hasil mengetik, margin, dan terutama blok-blok ruang kosong tempat paragraf dimulai atau diakhiri.
“Engkau bisa tahu, bahkan tanpa membacanya, apakah sebuah buku yang kaupilih cenderung mudah atau sulit. Buku-buku yang mudah memuat banyak paragraf pendek—termasuk paragraf-paragraf dialog yang mungkin hanya berisi satu atau dua kata—dan banyak ruang kosong. Mereka itu sama ringannya dengan es krim Diary Queen. Sementara itu, buku-buku sulit, yang penuh berisi gagasan, narasi, atau deskripsi, tampak lebih gemuk. Tampak padat.” (Halamann174).[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.
Sangat bermanfaat. Menunggu perkakas 2.