Manistebu.com
Tulisan ini merupakan tulisan serial menyambut Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei. Kali ini Manistebu.com menampilkan sosok yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah perbukuan era modern di Indonesia.
Ia bernama Ajip Rosidi. Hawe Setiawan dalam buku 50 Tahun Ikapi Membangun Masyarakat Cerdas, menulis begini: “Membicarakan dunia perbukuan Indonesia tanpa menyinggung perannya (Ajip Rosidi) adalah suatu keteledoran yang tak termaafkan.”
Ajip adalah sosok komplet dalam dunia perbukuan, yaitu sebagai penulis, sebagai sastrawan, sebagai guru, dan juga sebagai penerbit. Ia terlibat sebagai penerbit sejak 1962 ketika bersama rekan-rekannya mendirikan penerbit Kiwari di Bandung yang bergerak dalam bidang penerbitan buku-buku berbahasa Sunda dan berbahasa Indonesia. Kemudian, Ajip mendirikan CV Tjupumanik di Jatiwangi (1964) dan PT Duta Rakyat (1965) yang juga bergerak dalam penerbitan buku.
Selain itu, sejarah juga mencatat Ajip pernah memimpin penerbit PT Dunia Pustaka Jaya yang semasa itu merupakan penerbit disegani dengan berbagai buku terbitannya yang bermutu. Ia juga dikenal sebagai “pemelihara dan penjaga” penerbitan buku berbahasa daerah hingga melembagakan pemberian hadiah sastra bernama Rancage.
Sosok Ajip muncul sebagai “panglima buku” di Indonesia ketika ia memimpin Ikapi pada 1973-1976, lalu berlanjut pada 1976-1979. Artinya, Ajip berkiprah saat Orde Baru mulai berkuasa. Ajip mampu membangkitkan gairah para penerbit Ikapi yang sebelumnya lemah lunglai dihantam krisis dan transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Ketika Presiden Soeharto mengundang Ikapi dalam acara jamuan makan siang memperingati Tahun Buku Internasional 1972, itulah pembuka bagi peran Ajip membawa kapal Ikapi berkiprah dalam pengadaan buku. Puncaknya ide Ajip tentang pentingnya pembangunan perpustakaan di sekolah-sekolah disambar oleh Prof. Dr. M. Makagiansar baru saja diangkat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan (Setiawan, 1999).
Ide Ajip dibawa oleh Departemen P&K ke rapat kabinet. Gayung bersambut. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 10/1973 yang mulai dilaksanakan pada tahun 1974. Selain itu, kemudian dikeluarkan juga Inpres No. 6/1974 tentang Program Bantuan Pembangunan SD yang di dalamnya termasuk proyek pengadaan buku. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Proyek Inpres yaitu proyek pengadaan buku bacaan (nonteks) besar-besaran.
Peran Ajip tidak sampai di situ. Ia juga kritis terhadap pemerintah dan penerbit yang kala itu banyak tumbuh hanya untuk mencari peluang proyek. Ajip mengingatkan pemerintah untuk selektif dalam merumuskan kebijakan proyek pengadaan buku.
Memang tidak dimungkiri pada masa itu muncul dikotomi di Ikapi bahwa kemudian lahir anggota Ikapi garis bisnis dan garis idealis. Garis bisnis adalah mereka yang lebih bertujuan menjadi penerbit dan anggota Ikapi karena aji mumpung adanya proyek pengadaan buku dari pemerintah. Adapun garis idealis adalah mereka yang dari awal masuk mendirikan usaha penerbitan buku untuk cita-cita mencerdaskan bangsa dan menghidupkan tradisi intelektual bangsa.
Suatu hari tanggal 19 September 1975, Ajip Rosidi diundang untuk bicara di depan Parlemen. Pada kesempatan tersebut, Ajip sudah membawa gagasan tentang Undang-Undang Buku. Ajip membandingkan industri buku dengan industri pers. Dunia pers menurut Ajip sudah jelas undang-undangnya dan sudah jelas tempat bernaungnya. Ada Undang-Undang Pokok Pers dan ada Departemen Penerangan. Adapun industri buku adalah kebalikannya. Tidak ada UU dan tidak jelas pula tempat bernaungnya.
Jadi, Ajip Rosidi dapat dikatakan sebagai orang Indonesia pertama yang menggagas perlunya UU Buku. Baru 41 tahun kemudian Undang-Undang Sistem Perbukuan (Sisbuk) akhirnya disahkan oleh DPR-RI pada 27/4/2017.
Kegalauan Ajip Rosidi merepresentasikan kegalauan Ikapi yang saat itu menjadi satu-satunya organisasi penerbit di Indonesia. Industri penerbitan buku meskipun sudah digadang-gadang sebagai industri penting dalam pembangunan oleh Presiden Soeharto, tetap tidak mendapatkan kejelasan untuk beraktivitas dengan berbagai permasalahan yang dihadapi.
Tahun 1978, Ajip kembali mengkritik kebijakan pemerintah. Ia menyayangkan tiadanya kebijakan pemerintah yang “tunggal dan terpadu” sehubungan dengan amat pentingnya peranan buku dalam kehidupan masyarakat.
Ajip berkomentar keras, “Saya menilai usaha itu sebagai hangat-hangat tahi ayam. Secara keseluruhan belum terlihat planning yang jelas dan usaha tekun yang terus-menerus. Proyek itu merupakan jalan pintas yang patut dihargai, tetapi proyek itu seharusnya merupakan bagian dari kebijaksanaan selanjutnya,” ujar Ajip.
Setali tiga uang setelah lewat empat dekade, hal inilah yang terjadi pada kita bahwa Pemerintah tidak memiliki satu gerakan ataupun program tunggal dan terpadu di bidang perbukuan atau sekarang lebih populer disebut keliterasian. Apa yang kini ada hanyalah program-program literasi yang bersifat parsial.
Terakhir, ide Ajip Rosidi yang perlu dicatatkan di sini adalah tentang perlunya buku ditempatkan sebagai bahan pokok. Buku sebaiknya menjadi bahan pokok kesepuluh. Setiawan (1999) menulis bahwa hal ini sebagai bentuk “provokasi” yang cerdik dari seorang Ajip menempatkan buku sama dengan beras, minyak goreng, tepung terigu, dan sayur-mayur yang perlu dikendalikan meskipun terkesan sebagai joke.
Jika ada penghargaan Adiliterasi untuk tokoh yang perjuangannya tiada henti di dunia perbukuan/literasi Indonesia, itu sangat tepat diberikan kepada seorang Ajip Rosidi. Ia seorang penulis, penerbit, dan dapat dikatakan sebagai Ketua Ikapi paling “bergigi” yang menorehkan sejarah emas kiprah Ikapi dalam dunia perbukuan di Indonesia.[]
Sumber:
Setiawan, Hawe, dkk. 2000. 50 Tahun Ikapi Membangun Masyarakat Cerdas. Jakarta: Ikapi.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.