Setelah Bahasa (perkakas #1) dan Mengikat Makna (perkakas #2), Free Writing merupakan perkakas ketiga yang terdapat dalam writing toolbox milik saya. Perkakas ketiga ini fungsinya untuk mengefektifkan pengoperasian perkakas-perkakas sebelumnya. Selain itu, perkakas ketiga ini juga membuat saya, sebagai seorang penulis, dapat memulai menulis tanpa emosi kemrungsung.
Saya tidak tahu secara persis apa padanan kata kemrungsung (bahasa Jawa) di dalam bahasa Indonesia. Mungkin padanan katanya adalah galau. Hanya, makna kata kemrungsung lebih dari sekadar galau. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, galau/ga·lau/ bisa berarti sibuk beramai-ramai atau ramai sekali atau kacau tidak keruan (pikiran). Mungkin arti “kacau tidak keruan (yang berkaitan dengan pikiran)” ini dapat beririsan dengan arti kemrungsung.
Bagi saya, kemrungsung dapat menunjukkan suasana hati yang bergejolak, tidak dapat dikendalikan, dan memang kacau balau. Free Writing dapat meredakan dan bahkan membuang kekacaubalauan tersebut. Bagaimana caranya? Lewat menulis (dalam arti mengetik atau memencet tombol-tombol huruf di papan ketik) secara sangat cepat, bebas, dan tanpa bentuk.
Proses memencet tombol huruf itulah yang saya maksudkan dengan upaya membuang kegalauan. Kemrungsung adalah emosi negatif. Ia sangat menganggu dan membuat seorang penulis tidak dapat berpikir jernih dan aman-nyaman. Bahkan, kadang, kemrungsung itu meneror dan sangat menekan. Inilah sejenis writer’s block yang menyiksa seorang penulis.
Apakah Free Writing kemudian dapat berfungsi mengubah emosi negatif menjadi emosi posisitf juga? Saya ingin menjawab, “Ya”, namun perlu saya tambahi dengan beberapa catatan. Pertama, Free Writing ini benar-benar sebuah kegiatan yang sangat fisikal (bukan mental). Kerja fisikal itu tugasnya adalah hanya mengalirkan (membuang) emosi negatif agar tidak menganggu kerja pikiran.
Kedua, Free Writing saya posisikan sebuah kegiatan menulis tanpa berpikir. Sekali lagi, ia hanya kegiatan yang bersifat fisik. Dan ketiga, selain merupakan kegiatan menulis tanpa berpikir, ia juga merupakan kegiatan menulis tanpa bentuk. Apa yang baru saya tunjukkan berupa tiga catatan tersebut—kerja fisik, menulis tanpa berpikir, dan menulis tanpa bentuk—perlu dipahami terlebih dahulu sebelum Anda dapat mengoperasikan perkakas ketiga bernama Free Writing ini.
Seberapa banyak dan seberapa lama proses Free Writing perlu dijalani? Apabila perkakas ketiga ini mengefektifkan bekerjana perkakas pertama dan kedua, mengapa perkakas ketiga ini tidak diposisikan sebagai perkakas yang paling pertama? Tentang seberapa banyak dan seberapa lama, itu relatif. Artinya, Free Writing dapat dilakukan sesuai kebutuhan—tidak ada batasan secara khusus.
Perkakas ketiga ini hanya sebagai penunjang, bukan hal pokok. Perkakas pertama dan kedualah yang merupakan hal pokok. Anda tidak usah meletakkan perkakas ketiga (Free Writing ini) dalam writing toolbox Anda jika Anda tidak merasa terganggu dengan keadaan emosi Anda—khususnya emosi negatif. Anda tetap dapat menulis tanpa Free Writing. Sementara itu, Anda mustahil dapat menulis untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas tanpa Bahasa dan Mengikat Makna—dua perkakas awal.
Saya akan memperjelas cara bekerjanya perkakas ketiga, Free Writing, ini di tulisan mendatang. Maksud saya, bagaimana Anda dapat menggunakan Free Writing ini dalam bentuk yang sangat praktis akan saya uraikan langkah-langkahnya di tulisan berikutnya. Saya akan meminta bantuan Peter Elbow dan, terutama, Natalie Goldberg untuk mendukung dan memperkuat gagasan tentang perkakas #3 ini.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.
“Ia mulai dunia menulis di usia lewat 40 tahun”
Sebagaimana Bapak sampaikan di Kopdar IV SPN di ITS Surabaya
Sungguh ini membahagiakan saya
yang selama ini seringkali merasa terlambat ketika usia saya sudah 40 tahun
Pelajaran yang bisa saya ambil,
kapan pun kesempatan itu datang, mulailah
Tak ada kata terlambat untuk memulai
Terima kasih, PAk Her