Manistebu.com | Perjumpaan saya dengan Mas Zaim Uchrowi kali pertama adalah di Balitbang, Kemendikbud, saat membahas mekanisme penilaian buku nonteks pelajaran (BNTP). Meskipun sudah mengenalnya lama lewat kiprah dan tulisan-tulisannya di Resonansi Republika, saya benar-benar baru bertemu muka saat itu.
Seusai rapat beliau berujar kepada saya, “Sudah tim dari Puskurbuk undang Mas Bambang dan duduk bersama, beres itu instrumen penilaian ….” Saya hanya tertawa menanggapi komentarnya itu.
Tanggal 6 dan 7 Juni kembali saya bertemu Mas Zaim yang dikenal sebagai wartawan senior itu–pernah menjadi Pemred Republika dan juga Dirut Balai Pustaka. Kami duduk berdampingan dan sesekali mengobrol soal perbukuan. Sore tanggal 7 Juni, tinggal kami berdua anggota panitia penilaian BNTP yang masih berada di ruang rapat lantai 5 Puskurbuk. Saya dan Mas Zaim mulai terlibat perbincangan tentang banyak hal, termasuk soal siapa penulis novel yang paling saya sukai.

Sampailah kemudian ketika kami pandangi buku-buku yang dinilaikan terlontar gagasan yang sudah lama Mas Zaim usulkan. “Pelaku perbukuan di bidang buku pendidikan perlu diakreditasi,” begitu katanya. Soalnya, terutama penulis, memang harus paham bagaimana menulis buku pendidikan seharusnya. Selain itu, perlu juga diakreditasi editor dan desainer buku.
Saya menimpali bahwa gagasan itu yang sedang juga saya rancang untuk penulis dan editor bahwa perlu disusun standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) dan sertifikasi profesi, khususnya buku pendidikan. Pasalnya, kita sering harus mengurut dada melihat masih banyaknya buku-buku yang dinilaikan tidak layak dari berbagai sisi. Masih banyak buku yang ditulis dan diterbitkan menggunakan “bingkai” pola pikir masa lalu, bahkan cenderung asal-asalan.
“Gagasan kita ternyata sama, Mas,” ujar Mas Zaim. Ia segera meminta saya untuk mengonkretkan dalam tulisan yang dipresentasikan di Puskurbuk. Saya mengiyakan dan memang inginnya saya presentasi di depan pejabat Kemendikbud, termasuk Mendikbud. Sudah saatnya penanganan perbukuan kita berubah, terutama buku pendidikan.
Reformasi perbukuan yang digadang-gadang tahun 1999 lalu, ternyata tidak berimbas banyak terhadap dunia perbukuan kita yang tidak dapat keluar dari “tradisi Proyek Inpres” masa lalu serta kongkalikong di baliknya. Banyak buku asal garap dan asal terbit, tetapi lolos penilaian. Penelitian skripsi saya tentang buku bacaan anak-anak membuktikan hal itu bahwa banyakbuku yang menjenuhkan untuk pembaca sasaran anak-anak. Penelitian ini kemudian dibukukan dengan bantuan Ford Foundation.
Salah seorang senior di Puskurbuk mengistilahkan buku-buku jenuh itu dengan “buku ecek-ecek” yang membuat Prof. Bana (Ketua Panitia BNTP) tergerak untuk mendefinisikan apa itu “buku ecek-ecek”.
Tahun 1979 ketika Proyek Buku Terpadu digagas oleh Kemendikbud yang dipimpin oleh Pak Daoed Joesoef, dibuat standar penggarapan buku dalam rentang waktu 1 tahun 7 bulan. Artinya, zaman itu pemerintah menyadari bahwa menulis dan menerbitkan buku itu bukan perkara gampang seperti membuat roti sekali jadi. Sementara itu, masih banyak penerbit yang membuat buku dengan metode “Sangkuriang” atau “Bandung Bondowoso”–istilah untuk penulisan dan penerbitan buku secepat kilat sebelum tenggat penilaian.
Momentum untuk standardisasi demi peningkatan penulisan dan penerbitan buku sebenarnya tepat ketika saat ini UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan baru diberlakukan. Setelah UU maka akan disusun PP atau Permen yang lebih detail dan teknis. Ambil contoh pada bunyi Pasal 43 “(1) Penulisan naskah asli Buku dilakukan sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik Penulisan naskah asli Buku. (2) Ketentuan mengenai standar, kaidah, dan kode etik Penulisan naskah asli Buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Terkait standardisasi yang dapat dengan jelas distandarkan adalah penulisan buku pendidikan, di antaranya buku anak, buku teks/buku ajar, buku panduan pendidik, buku referensi, dan buku ilmiah populer. Kompetensi penulisnya pun dapat dipetakan dengan jelas.
Adanya standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi setidaknya akan mencegah penulisan dan penerbitan buku terjadi secara asal-asalan dan dinilaikan dengan niat mencoba-coba. Nanti akan ditegaskan bahwa hanya penerbit yang terakreditasi dan pelaku perbukuan yang tersertifikasi yang boleh mengikuti penilaian buku untuk disahkan penggunaannya. Ini menjadi satu solusi konkret untuk Sistem Perbukuan dari sisi mutu.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.