Manistebu.com | Lagi menikmati suasana di Mal Metropolitan Bekasi yang penuh pengunjung, Ahad kemarin, tiba-tiba ponsel saya berdering. Rupanya di ujung telepon ada Mas Dodi Mawardi, seorang penulis dan guru menulis yang produktif. Mas Dodi juga berprofesi sebagai co-writer dan ghost writer.
Ia membuka percakapan bahwa telah menemukan buku terbaru saya berjudul 200+ Solusi Editing yang diterbitkan Bumi Aksara. Lalu, berlanjutlah perbincangan soal bukunya berjudul Belajar Goblok dari Bob Sadino yang edisi revisinya telah terbit melalui Elexmedia. Ternyata bukunya ini ada yang meniru dengan judul hampir sama Bob Sadino: Goblok Pangkal Kaya–saya tahu buku ini terbit tak lama setelah Om Bob meninggal dunia.
Mas Dodi pun meminta saran saya soal kejadian ini. Menurutnya, ia telah menghubungi penulisnya dan penerbitnya. Penulisnya merespons dan meminta maaf dengan berbagai dalih. Namun, penerbitnya sama sekali tidak merespons. Bahkan, buku itu masih tetap dijual di TB Gramedia dan mejeng di rak best seller.
Saya menyarankan Mas Dodi untuk menulis surat sekali lagi secara resmi dengan ancaman somasi. Bagaimanapun plagiat sudah masuk ke ranah hukum. Ada dua perangkat hukum yang menjadi dasar yaitu UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 dan yang terbaru UU Sistem Perbukuan No. 3 Tahun 2017. Jika sampai dilaporkan, penulis dan penerbit harus mempertanggungjawabkan karya yang terindikasi plagiat tersebut.
Malamnya saya membaca status Mas Dodi di Facebook dengan rasa prihatin. Ia menjuduli dengan “Sakitnya Buku Dijiplak”. Saya kutip status tersebut.
Penulis buku-buku bestseller kemungkinan besar pernah merasakan bukunya dijiplak atau dibajak. Penjiplak atau pembajak hanya menjiplak/membajak buku yang laris. Pasti.
Beberapa tahun silam, buku karya saya dan Tirta Setiawan “Sales Kaya Sales Miskin” dijiplak oleh sebuah buku dengan menyadur langsung sebanyak lebih dari 20 halaman oleh penulis asal Surabaya, tanpa menyebut sumber. Kami protes. Kebetulan penerbitnya masih satu grup Gramedia. Penulisnya minta maaf, buku jiplakan ditarik, urusan selesai. Damai.
Mentor saya Darmadi Darmawangsa – bos Era Indonesia, mengalami hal serupa. Buku larisnya “Fight Like a Tiger Win Like a Champion” juga dijiplak. Pak Darmadi lebih galak daripada kami, hehe. Penjiplak tidak cukup hanya meminta maaf melainkan juga wajib membiayai satu kali cetak ulang buku pak Darmadi sebanyak kurang lebih 3000 eksemplar. Wah. Urusan selesai.
Bagaimana sih rasanya buku kita dijiplak/dibajak? Sebel, kesel, mangkel… awalnya. Lama-lama jika buku jiplakan malah tersebar bebas di toko buku dan laris, jadinya sakit hati. Kok bisa?
Buku saya “Belajar Goblok dari Bob Sadino” juga dijiplak. Buku jiplakan hadir sekitar pertengahan 2016. Isinya hampir 100% sama. Hanya diutak-atik redaksi kalimat dan susunan babnya saja. Judulnya “Goblok Pangkal Kaya”. Penulisnya alumnus UGM. Diterbitkan oleh penerbit Genesis Yogya. Penerbit lama buku saya Kintamani, diam saja. Justru distributornya yang aktif dan meminta saya bergerak cepat.
Saya sudah protes ke penerbitnya, tidak direspon. Protes ke penulisnya, direspon dengan permintaan maaf dan sejumlah alasan melalui emaii. Mengadu ke toko Gramedia dan meminta agar buku jiplakan tersebut ditarik sejak akhir tahun 2016, sampai sekarang belum direspon. Padahal sudah melalui jalur resmi distributor Buku Kita. Buku jiplakan tersebut tetap melenggang dan laris di toko buku ….
Naluri kepenulisan saya pun terusik. Lalu, saya kembali ke TB Gramedia di MM Bekasi itu keesokan harinya. Saya melihat buku itu nampang di rak best seller, bahkan keduanya berdampingan. Ini sungguh terlalu seperti mendampingkan produk asli dan produk abal-abal dengan label “halal”.

Saya mengecek daftar pustaka buku tersebut. Terteralah data berikut ini.

Nah, ternyata di dalam daftar pustaka, buku Mas Dodi disebut. Terus berarti bukan plagiat dong? Wah, sejak kapan daftar pustaka menjadi dasar untuk menggugurkan plagiarisme? Daftar pustaka hanya menunjukkan buku yang dibaca dan digunakan penulis sebagai rujukan. Jika ia hendak mengutip suatu buku, teks di dalam buku harus dirujuk (sitasi) dengan menyebutkan nama penulis (nama belakang biasanya), tahun terbit, atau bahkan ditambah nomor halaman yang dirujuk–itu cara dan etikanya.
Namun, menurut Mas Dodi, hampir semua isi buku itu sama dengan isi buku karyanya. Penulis hanya mengubah susunan kalimat (parafrasa) dan susunan bab. Pantas saja tidak dirujuk, lha semuanya dikutip. Mungkin kalau Om Bob masih hidup, ia akan spontan berujar kepada penulisnya, “Goblok kamu!”
Sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro), tentu saya harus membela penulis seperti Mas Dodi ini. Paling tidak jaringan Toko Gramedia juga jangan menjual lagi buku tersebut, apalagi mendampingkannya. Ini tentu dapat mengelabuhi calon pembaca.
Saya juga setahun lalu mengalami hal serupa, hanya levelnya lebih ringan karena ada bagian tulisan saya di blog Manistebu.com ini yang dikutip, tetapi tidak menyebut nama saya sebagai penulis. Tidak perlu waktu lama, isi buku itu saya foto dan saya sebarkan di media sosial.
Penulis dan penerbitnya menghubungi, meminta maaf, dan meminta kebijaksanaan saya (soal penarikan buku), sambil menawarkan pembagian royalti. Bagi saya ketika penulis dan penerbit meminta maaf dan ada iktikad baik untuk kemudian mencantumkan nama saya pada bagian yang dikutip, itu sudah cukup.
Namun, pada kasus buku Mas Dodi, plagiatnya sudah tingkat parah sehingga membuat Mas Dodi merasa “sakit betul” karena hampir keseluruhan isi bukunya diambil dan ditulis ulang. Jadi, sekali lagi saya menyarankan Mas Dodi agar mengirim surat resmi ke penulis dan penerbit dengan menembuskannya kepada Penerbit Elexmedia, Toko Gramedia, Ikapi, Penpro, YLKI, Dirjen Kekayaan Intelektual (Kemenkum HAM), dan pihak berwenang lainnya. Surat tersebut berisikan imbauan untuk menarik dan tidak lagi mengedarkan buku tersebut.
Jika masuk ke ranah hukum, penulis dapat terancam sanksi denda, bahkan pidana. Penyelesaian secara kekeluargaan sah-sah saja, tetapi harus ada iktikad baik dari penulis dan penerbit untuk menarik bukunya dan tidak mengulangi lagi perbuatan semacam ini.
Tentu ini dapat menjadi pelajaran bagi para penulis lainnya agar tidak main-main dalam soal plagiat. Apalagi, saat ini sudah ada UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan yang dapat menjadi acuan bagi para penulis buku untuk membela hak dan karyanya yang dirugikan oleh orang lain. Semoga sakitnya Mas Dodi dapat segera terobati.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.