Manistebu.com | Sampai per tanggal 9 Juli 2017 saya melihat tulisan saya di situs ini bertajuk “Seharga Ini Editor Harus Dibayar” sudah dibaca 3.119 orang. Ini termasuk tulisan yang “laris” dibaca mungkin karena ada bau-bau duitnya, terutama bagi para editor yang berkepentingan ataupun orang yang ingin mencari tahu berapa harus membayar seorang editor.
Tarif penyuntingan naskah belum ada standarnya di Indonesia. Saya pernah mengikuti rapat di Pusat Perbukuan untuk membahas tarif bagi pelaku perbukuan karena Pusat Perbukuan juga melakukan aktivitas penerbitan buku. Ada rencana juga di Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional (Penpro), tarif ini akan dibahas.
Seharga ini Editor Harus Dibayar
Saya mau cerita sedikit bagaimana beberapa waktu lalu saya ditelepon oleh seorang pejabat militer. Beliau meminta bantuan saya untuk mengedit laporan kajian. Singkat cerita saya pun resmi bekerja sebagai editor lepas. Berapa tarifnya? Kira-kira Rp80.000 per halaman.
Mahal? Tidak juga bergantung pada tingkat kesulitannya karena penyuntingan naskah itu terdiri atas tiga level, yaitu ringan, sedang, dan berat. Level penyuntingan ringan berfokus memperbaiki ejaan dan tata bahasa plus data/fakta sederhana. Level penyuntingan sedang berfokus memperbaiki naskah secara menyeluruh. Level penyuntingan berat berfokus menulis ulang, bahkan merombak penyajian naskah.
Pekerjaan mengedit laporan kajian tersebut masuk kategori level sedang dan editing berat. Saya menetapkan tarif untuk penyuntingan sedang dan berat minimum Rp60.000/halaman dengan format kertas A4, margin normal, dan 1,5 spasi. Maksimalnya? Terkadang lebih dari Rp100.000,00.
Lah, kok sampai melebihi harga menulis naskah? Ya, coba kita ambil patokan standar biaya umum pemerintah. Satu-satunya SBU versi pemerintah hanya untuk penulisan artikel di internet dengan harga Rp100.000/halaman. Jadi, kalau penyuntingan naskah itu Rp60.000/halaman, menurut saya wajar saja jika termasuk penyuntingan sedang.
Saya sering mewanti-wanti para editor lepas untuk tidak memastikan tarif sebelum ia melihat naskah dari penulis atau klien. Pasalnya, sering kali penulis/klien berpersepsi bahwa naskahnya hanya memerlukan editing ringan sebatas ejaan dan tata bahasa. Padahal, banyak kasus sebenarnya naskah sangat tidak layak untuk terbit. Jelas, mana ada editor tega untuk mengedit seadanya karena itu juga akan berdampak pada kredibilitasnya.
Editor profesional tidak hanya akan mengerahkan pengetahuan kebahasaannya saat mengedit naskah, tetapi juga pengetahuan lain-lain, termasuk tata tulis. Karena itu, sebuah naskah akan dibaca dan ditinjau dari berbagai sisi. Pekerjaan membaca naskah saja sudah termasuk berat karena menggunakan teknik membaca analitis untuk menemukan kesalahan dan kelemahan pada naskah.
Ada banyak orang yang menghubungi saya untuk menanyakan tarif penyuntingan ini. Saya sering bilang kalau paling rendah tarif yang saya tetapkan dan dikerjakan oleh tim adalah Rp15.000/halaman. Tapi, tunggu dulu, saya harus melihat naskahnya. Tarif sedemikian hanya berlaku untuk naskah yang sudah sangat baik. Editor berperan untuk sekadar memperbaiki ejaan dan tata bahasa, data/fakta sederhana, serta legalitas dan kepatutan.
Kesalahan tata bahasa tidak semuanya tergolong kesalahan kecil atau sepele. Ingat itu! Saya ambil contoh kesalahan yang paling sering terjadi yaitu kesalahan pemerincian. Para penulis sering tidak terhindarkan untuk memerinci suatu bahasan, baik perincian ke samping atau ke bawah.
Saya berani jamin hampir 90% penulis melakukan kesalahan. Mereka tidak tahu bagaimana caranya memerinci kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kapan menggunakan huruf kapital dan kapan tidak perlu. Kapan menggunakan tanda titik (:) dan kapan tidak perlu. Mengedit soal ini saja “cape deh” bagi seorang editor. Bahkan, kadang juga editor harus memastikan konsistensi penerapan gaya.
Jadi, wajar saja jika tarif seorang editor setengahnya tarif menulis, bahkan lebih. Mengapa? Soalnya editor sering “terpaksa” ikut campur tangan terlalu jauh pada naskah, sedangkan penulis sudah pasrah. Begitulah romantika pekerjaan seorang editor. Mohon dimaklumi, Yang ….[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Saya editor untuk konten warta (berita, cerita, artikel) online bertema infrastruktur sejak 2005, dengan kontributor mayoritas bukan penulis/jurnalis (fiuhh), setuju banget sih sama yang Om tulis di sini. Bahkan bisa dibilang, editor malah lebih sering kerja kayak ghostwriter, wkwkwk.. “Mengsedih” memang, tapi yaa karena udah cinta sama bidang ini, ya udah deh.. Malahan saya seneng karena ikut membantu teman-teman mengisi portofolio mereka dengan tulisan yang sudah saya rapikan dan publikasi online.
Dan, terima kasih untuk isi blog-nya, Om. Baru nemu hari ini, tapi saya enjoy blogwalking di sini. Share ilmu terus ya, Om. Semangat!
Nggak apa-apa, diambil hikmah karena editor makin pintar; penulisnya (maaf) makin bego. Jadi, pekerjaan ini secara tidak sengaja malah mengasah kemampuan menulis kita. Itu yang saya jalani juga sejak tahun 1995. Mengerjakan apa pun, tetapi malah dapat menulis apa pun. Terima kasih kembali Nina. Blog ini memang sudah lumayan lama, baru tahun ini diperbarui kembali.