Saya mengajar Ilmu Digesting di Stikom (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Bandung sejak 1997. Karena kesibukan yang sangat padat, sekitar tiga tahun kemudian—tepatnya pada 2001—saya berhenti mengajar Digesting. Saya melanjutkan lagi mengajar Digesting di Era Digital yang sudah dipenuhi dengan berbagai model cara berkomunikasi online lewat media sosial. Ilmu Digesting pun mengalami evolusi—perbaikan dan perubahan sedikit demi sedikit yang semakin membaik dan lengkap—menjadi Ilmu Menulis di Era Digital.
Apabila pada awalnya digesting saya arahkan hanya untuk membangkitkan semangat (memotivasi) para mahasiswa dalam membaca dan menulis dengan baik, kini (pada era maraknya media sosial) digesting lebih saya fokuskan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara tertulis. Ada dua prinsip yang sedikitnya harus dikuasai oleh setiap mahasiswa ketika belajar digesting. Apa dua prinsip tersebut?
Prinsip pertama adalah cara meningkatkan kemampuan memahami—dalam hal ini kegiatan utamanya adalah membaca—sederetan teks. Prinsip kedua terkait dengan hal sangat penting, yaitu cara merumuskan pemahaman tersebut secara tertulis kemudian rumusan tersebut disampaikan secara menarik dan memenuhi kaidah-kaidah reasoning (penalaran). Prinsip pertama terkait dengan reading skill, sementara prinsip kedua terkait dengan writing skill.
Dalam tulisan pertama tentang writing skills map, saya telah menunjukkan tiga area yang saya manfaatkan untuk membangun kemampuan menulis ketika usia saya lewat 40 tahun. Tiga area tersebut adalah terkait dengan kebahasaan, kualitas pikiran, dan bidang komunikasi. Pada peta pertama (yang gambarnya disertakan dalam tulisan tersebut), kebahasaan memakan hingga 50% area. Menulis tanpa disertai dengan pemahaman (baca: pengetahuan) akan ketatabahasaan beserta kaidah-kaidah kebahasaan lainnya adalah omong kosong.
Dalam peta kedua (yang saya sertakan dalam tulisan ini), area yang terkait dengan kebahasaan saya persempit menjadi 25%. Area terbesar adalah area tentang komunikasi (50%). Secara otomatis, area tentang kualitas pikiran masih tetap sebesar 25%. Ketika saya membangun writing skills (pada saat-saat awal ketika usia saya melewati 40 tahun pada 1997), saya memulainya memang dari area komunikasi. Saya merasa nyaman di situ karena saya tidak memiliki latar belakang pendidikan bahasa. Saya berlatar belakang pendidikan teknik.
Mengapa saya memulainya dari area komunikasi dan bukan area yang lain? Saya mempersepsi bahwa jika saya dapat merumuskan (menuliskan) dengan baik pikiran saya secara tertulis, saya pun akan dapat menyampaikan (berkomunikasi) secara lisan dengan baik pula. Paling tidak, pikiran yang dapat saya rumuskan secara tertulis akan memudahkan saya dalam menyampaikannya secara lisan. Saya menyadari bahwa saya dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya Jawa yang tidak terlalu terbuka. Kedua orangtua saya—semoga Tuhan memberikan tempat terbaik bagi arwah keduanya—di samping pendiam juga pemalu. Sejak kecil hingga lulus SMA, saya mengalami kegugupan dan kegagapan dalam berkomunikasi secara lisan. Saya grogi ketika berbicara di hadapan orang banyak. Saya merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri ketika menyampaikan pendapat-pendapat saya di hadapan orang banyak.
Dalam The Seven Habits of Highly Effective People, Stephen Covey menyatakan, “Membaca dan menulis sama-sama merupakan bentuk komunikasi. Begitu pula berbicara dan mendengarkan. Sebenarnya itu semua merupakan empat jenis dasar komunikasi. Dan, pikirkanlah seluruh waktu yang Anda habiskan untuk mengerjakan setidaknya salah satu dari keempat hal itu. Kemampuan untuk mengerjakan itu semua dengan baik mutlak perlu demi efektivitas Anda.” Saya sangat setuju dengan pendapat Covey tersebut. Saya pun memakai pendapatnya untuk menjadikan reading-speaking-listening-writing sebagai pilar ilmu Digesting.
Rupanya reading-speaking-listening-writing tidak hanya menjadi kegiatan pokok dalam berkomunikasi. Ia juga menjadi faktor penting dalam pelejitan keterampilan berbahasa. Akhirnya, Ilmu Digesting pun saya sampaikan dalam bentuk teori sekaligus praktik atau latihan-latihan yang sifatnya berkelanjutan dan terjaga secara baik (ada konsistensi). Belajar dan berlatih Ilmu Digesting berarti belajar dan berlatih berkomunikasi secara menarik serta bagaimana berbahasa—baik secara lisan maupun tulisan—secara tertata dan jelas.
Di awal kuliah, setiap mahasiswa Ilmu Digesting, saya bekali dengan satu lembar kertas bertajuk “Aktivitas Digesting Mingguan”. Di dalam lembaran kertas tersebut ada empat kolom yang perlu diisi setiap mahasiswa. Kolom utamanya hanya menunjukkan proses “masuk” (in) dan proses “keluar” (out). Tanda “in” berarti sang mahasiswa sedang berusaha untuk memasukkan ke dalam pikirannya sesuatu (penting dan berharga) lewat membaca teks, dan tanda “out” menunjukkan sang mahasiswa sedang berusaha mengeluarkan sesuatu dari pikirannya lewat menulis. Setiap minggu, para mahasiswa menjalankan aktivitas digesting dengan memasukkan (membaca) dan mengeluarkan (menuliskan) sesuatu ke dalam pikiran dan dari pikirannya.
Teks apa yang dibaca? Teks yang dibaca adalah teks yang ada di buku referensi untuk mata kuliah digesting, “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna. Setiap mahasiswa, dalam jangka waktu efektif lima hari, saya dorong untuk membaca ngemil—membaca sedikit saja sekitar sepuluh halaman buku “Flow”—kemudian menuliskan apa yang ditemukannya ketika membaca teks tersebut. Ketika membaca ngemil, setiap mahasiswa harus melibatkan diri-unik miliknya. Teks yang dibaca harus dikaitkan dengan dirinya.
Membaca ngemil memang tidak hanya membaca dalam bentuk perlahan-lahan (bukan speed reading), sedikit demi sedikit, dan melibatkan diri-unik. Membaca ngemil adalah juga membaca yang bertujuan untuk menemukan “sesuatu yang penting dan berharga” (menurut diri-unik setiap pribadi). Apa pun yang dibaca, jika ada niat untuk menemukan sesuatu, tentulah akan ada yang muncul di dalam pikiran orang yang membaca tersebut. Nah, yang muncul di dalam pikiran tersebutlah yang kemudian segera dituliskan atau dikeluarkan secara spontan dan cepat. Efek masuk-keluar (in-out) ini, jika dibiasakan akan dapat memperbaiki kemampuan berkomunikasi seseorang. Kok bisa?
Karena membaca ngemil mempraktikkan reading-speaking. Ini membaca dalam bentuk reading-aloud gaya Jim Trelease, yaitu membaca secara tartil (membaca lantang dan mencermati setiap kata dan rangkaian kata yang dibaca). Setelah itu, makna kata dan rangkaian kata yang muncul harus dirasakan dan dipahami secara saksama. Makna kata dan rangkaiannya niscaya akan mampu mempengaruhi dan menggerakkan pikiran. Setelah reading-speaking, secara otomatis si pelaku membaca pun akan mengaktifkan kemampuan listening (menyimak). Terakhir, setelah reading-sepeaking-listening, kemampuan writing-nya pun diberdayakan dan dijadikan sebagai aktivitas penutup.
Demikianlah, Ilmu Digesting yang pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, di era digital juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan reading skill sekaligus—ini yang sangat penting—writing skill.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.