KrJogja.com|ENTAH mengapa membaca buku ilmiah, bahkan yang disebut populer sekalipun, yang ditulis oleh orang Indonesia selalu mengesankan ke-jaim-an. Tulisannya tidak “cair” dan miskin dengan gaya pengisahan. Tulisannya juga berjarak dengan pembaca, bahkan kadang menggunakan kata-kata yang hanya dipahami penulisnya.
Berbeda dengan membaca, contoh saja, buku sangat ilmiah yang ditulis Stephen Covey dan diterbitkan kali pertama tahun 1989 bertajuk 7th Habits for Highly Effective People. Buku Covey itu renyah untuk dibaca meskipun bahasannya tidak dapat dianggap remeh temeh. Covey menyisipkan banyak cerita yang dialaminya sehingga bersambung pada apa yang digagasnya di dalam buku yang telah menjadi best seller kelas dunia itu.
Begitu juga ketika membaca salah satu buku terkenal karena Thomas L. Friedman bertajuk The World is Flat, Friedman dengan luwes menulis bab pertama bukunya berjudul “Saat Saya Terlelap” dengan cerita. Para penulis buku ilmiah populer, seperti Covey atau Friedman, memang tak sungkan menggunakan kata ganti “saya” atau”kami” (jika mereka menulis berdua/bertiga) di dalam buku-buku ilmiah.
Sekali lagi bandingkan dengan penulis Indonesia yang masih jaim dengan menggunakan kata ganti ‘penulis’ atau sama sekali tidak menggunakan kata ganti yang memosisikan mereka berada di luar pagar—berjarak dengan pembacanya. Mereka enggan menggunakan kata ‘saya’ karena nanti dianggap kurang ilmiah. Ada-ada saja pendapat ini.
Satu hal lagi, para penulis buku ilmiah kerap memperlihatkan cara menyajikan dengan “memberi tahu” daripada “menunjukkan”. Cara “memberi tahu” itu menempatkan penulis benar-benar terkesan lebih tahu daripada pembaca, bahkan untuk hal-hal yang sudah umum sekalipun. Karena itu, kita sangat terbiasa membaca tulisan ilmiah populer karya orang Indonesia seperti ini: Dalam kehidupan sehari-hari, air memiliki fungsi yang vital. Tanpa air, manusia tidak mungkin dapat hidup. Bahkan, tubuh manusia 70%-nya adalah air.
Kebiasaan menggunakan cara “memberi tahu” itu sudah berjangkit turun-temurun sehingga amatlah membosankan. Bandingkan dengan cara “menunjukkan” seperti ini: Krisis air benar-benar menjadi mimpi buruk bagi warga Gunung Kidul. Bayangkan hidup tanpa air bersih satu hari saja, tetapi warga Gunung Kidul harus merasakannya berhari-hari. Beruntung jika punya uang berlebih, mereka dapat membeli.
Jadi, tidak perlulah sebagai penulis ilmiah menyebutkan kembali soal yang sudah umum seperti pentingnya air bagi kehidupan, tetapi tunjukkanlah bahwa air itu memang penting dengan contoh-contoh plus data dan fakta. Karena itu, menggunakan gaya penyajian yang tidak jaim menjadi keharusan agar para pembaca dapat larut akrab dengan gagasan si penulis.
Jangan takut untuk menyisipkan banyak kisah asalkan itu benar-benar faktual yang dialami penulis atau orang lain. Memang tidak semua penulis buku ilmiah Indonesia demikian. Contohnya, Prof. Rhenald Kasali, buku-bukunya menjadi laris karena renyah dibaca dan ia menuliskannya seperti mengobrol dengan pembacanya. Kesan ilmiah tidak lantas hilang dengan gaya nonformal seperti itu.
Semoga tulisan ini dapat menginsafkan banyak penulis buku ilmiah untuk tidak melupakan pembaca sasarannya saat menulis. Hilangkan ke-jaim-an itu dan berakrablah dengan pembaca Anda. Ini yang sering saya “kompori” lebih dari tujuh tahun memberi pelatihan konversi KTI nonbuku menjadi buku bagi para peneliti di LIPI Press. Wibawa kita terkerek naik bukan karena ke-jaim-an dalam tulisan, melainkan karena kebermanfaatan yang dapat kita sampaikan tanpa membuat dahi berkerut.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.