KrJogja.com|ANDA yang menikmati masa kecil pada era 1970-1990-an tentu masih ingat “makhluk” seperti apa telegram itu. Bentuknya hanya selembar kertas kecil dan dikirimkan dengan amplop yang sisi mukanya terdapat plastik transparan sehingga penerima dapat mengintip isi telegram. Isi telegram biasanya terkait dengan kabar penting, seperti berita duka, keadaan darurat, dan rahasia.
Teknologi awal yang digunakan pada telegram adalah sandi Morse melalui alat bernama telegraf.
Berbeda dengan surat yang dilayani Pos Indonesia, pengiriman telegram justru dilayani oleh Telkom meskipun tetap menggunakan prangko.
Bentuk telegram sangat khas pada saat itu dengan amplop berwarna biru dan di atasnya ada logo Telkom. Layanan berbayar ini menggunakan hitungan per karakter dan ciri uniknya penulisan tanda baca dieja seperti kata. Karena itu, berita yang dikirim biasanya sangat singkat, seperti cepat pulang koma papa sakit keras titik.
Pernah Telkom melakukan terobosan dengan mengadakan layanan ‘telegram indah’ berupa ucapan selamat hari raya yang dapat dikirimkan secara cepat. Sontak layanan itu menjadi tren karena ucapan terkirim segera dengan pilihan desain beraneka. Kelebihan telegram memang pada kecepatannya karena berita dapat diterima kurang dari satu hari.
Telegram kemudian menjadi berkonotasi “horor” bagi penerimanya. Pasalnya, berita yang terkirim selalu memuat tentang kemalangan sanak saudara, jarang berupa kabar gembira. Saya sendiri merasakan pengalaman dengan telegram itu pada masa remaja ketika jantung berdegup kencang apabila menerimanya.
Mungkin karena itu pula yang melecut lahirnya novel Putu Wijaya berjudul Telegram. Novel itu secara dramatis mengisahkan tentang seorang lelaki yang begitu paranoid dengan telegram. Pikirannya telah dirasuki anggapan negatif bahwa benda itu hanya menyampaikan kabar tentang kecelakaan, sakit keras, dan kematian.
Lewat prasangka itulah kisah digerakkan oleh Putu Wijaya sebagai khayalan sang tokoh sampai si tokoh cerita benar-benar harus menerima kenyataan ia mendapat telegram yang isinya mengabarkan ibunya telah meninggal dunia.
Novel Putu Wijaya tersebut memenangi hadiah Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada 1972.
Pujian terhadap Telegram meluncur dari sosok Goenawan Muhammad dan Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun) yang menyebutkan Telegram sebagai karya “matang dan dewasa”. Menjelang perhelatan Frankfurt Book Fair 2015 yang menempatkan Indonesia sebagai tamu kehormatan, novel Telegram dialihbahasakan ke dalam bahasa Jerman oleh penerbit Angkor Verlag dengan judul Telegramm.
“Horor” Telegram Masa Kini
Sampailah kemudian saya dan Anda pada zaman generasi milenial saat ini, telegram masa lalu telah menjadi nostalgia. Telegram yang sekarang berbeda lagi.
Bentuknya adalah layanan pesan instan multiplatform yang dapat diakses melalui gawai ataupun perangkat komputer dengan berbagai sistem operasi, seperti Android, iOS, Windows, dan Linux. Aplikasi ini diluncurkan pada 2013 dengan logo avatar yang khas bergambar pesawat kertas.
Pengguna Telegram di Indonesia juga bertumbuh kembang meski tidak sepesat BlackBerry Messenger (BBM) atau WhatsApp (WA). Ada sejumlah keunggulan yang dikandung oleh aplikasi ini.
Pesan melalui Telegram dapat memuat media dan fail (file) dalam kapasitas besar hingga 1,5 GB. Pesan juga tersampai lebih cepat karena berbasis awan (cloud) dan aplikasi ini ukurannya lebih kecil sehingga lebih ringan dijalankan.
Tidak hanya itu, jika WA Group berkapasitas maksimal hanya untuk 100 anggota dan kemudian menjadi 256 anggota, Telegram Group dapat di-upgrade hingga menampung 1.000 anggota melalui fasilitas supergroups, bahkan kemudian berkembang lagi menjadi 5.000 anggota. Aplikasi ini juga memiliki fasilitas Channel yang dapat melakukan penyiaran pesan (broadcasting) dengan jumlah anggota tidak terbatas. Jika dibedah lebih lanjut, Telegram benar-benar aplikasi gratis yang efektif untuk menyebarkan apa pun dengan kecepatan tinggi dan ke ribuan orang.
Dengan segala keunggulan tersebut, saya sendiri malah baru mengunduh aplikasi ini beberapa bulan ke belakang dan belum menggunakannya secara efektif. Itu pun karena permintaan seorang teman yang saya bantu menulis buku. Tahu-tahu pada tanggal 14 Juli 2017, Kemenkominfo memblokir layanan Telegram yang kemudian mengundang reaksi berbagai pihak.
Pasalnya, dengan segala keunggulannya tadi, Telegram mengundang “horror” bagi pemerintah. Apakah pemerintah juga terjangkit gejala paranoia?
Alasan pemblokiran versi Kemenkominfo adalah terdeteksinya penggunaan Telegram untuk menyampaikan pesan-pesan berbau terorisme dan radikalisme, termasuk panduan bagaimana merakit bom.
Ada ribuan pesan semacam itu. Memang penyampaian konten secara daring melalui aplikasi rumpi (chat) ini telah berkembang di Indonesia, termasuk model kuliah dan ceramah, bahkan pelatihan juga.
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan berbagai konten, baik berupa teks, gambar, dan video, terutama pada generasi milenial. Saringan konten itu hanya ada pada penerima konten dan lebih tinggi lagi adalah pengembang konten alias perusahaan aplikasi tersebut.
Karena itu, Telegram pada masa kini benar-benar sebuah aplikasi revolusioner yang bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya revolusi di suatu negara. Dua kutub pun terbentuk yaitu kutub yang memandangnya sebagai kemaslahatan dan kutub yang memandangnya sebagai kemudaratan.
Pemerintah Indonesia berada di kutub kedua yang tentunya tidak akan pernah bersanding dengan kutub pertama.
Reaksi pun bermunculan, terutama dari lawan-lawan politik Presiden Jokowi yang menganggap rezim ini sudah menjurus menjadi diktator. Apalagi, pemblokiran dilakukan saat memanasnya opini tentang pemberlakuan Perppu Ormas yang lagi-lagi dianggap sebagai bentuk kediktatoran. Saya membaca juga seliweran berita dan komentar terkait pembekuan Telegram ini.
Pandangan dari Sudut Literasi
Kalau saya memandang dari sudut literasi, kekhawatiran pemerintah sangat beralasan di tengah masyarakat kita yang sebagian besar sebagai pengguna—bukan kreator—kurang memiliki kapasitas memilih, memilah, dan menyikapi sebuah konten viral di media sosial. Banyak fakta dan bukti menunjukkan fenomena ini sehingga berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian merajalela, apalagi doktrin-doktrin berbahaya.
Namun, tentu hal itu tidak semata terjadi di Telegram, di media sosial lainnya juga ada. Hanya tampaknya Telegram dalam versi Kemenkominfo tidak menggubris permintaan untuk menurunkan konten-konten bermasalah atau tidak lebih “jinak” dibandingkan Facebook, Twitter, maupun Youtube.
Sebelum tulisan ini ditayangkan, tersampai kabar bahwa CEO Telegram, Pavel Durov, asal Rusia menyampaikan permintaan maaf atas miskomunikasi dengan pemerintah Indonesia. Sebelumnya Durov membantah sudah dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia, tetapi kemudian ia mengaku baru menyadari adanya surat-surat pemerintah Indonesia yang meminta Telegram memblok konten-konten berbahaya. Sampai kemudian pemerintah Indonesia melakukan langkah tegas dan itu pun hanya sebatas blokir akses telegram melalui PC.
Kenyataannya tidak hanya Indonesia yang memblokir Telegram, pemerintah negara lain telah lebih dulu melakukanya, yaitu Cina, Arab Saudi, dan Iran. Bahkan, Telegram telah diblokir di negara pendirinya sendiri yaitu Rusia.
Durov mengecam tindakan negaranya dengan mengatakan dampaknya bahwa pemerintah Rusia telah mempercayakan urusan komunikasi pejabat Rusia dengan orang-orang terdekatnya, termasuk data-data penting mereka, untuk dipindahtangankan ke negara lain yang dikontrol oleh Amerika Serikat, seperti Google Drive atau Apple iCloud.
Di Iran, Telegram tidak sepenuhnya diblokir, tetapi hanya pada layanan panggilan suara karena protes beberapa perusahaan lokal. Di Cina dan Arab Saudi sepenuhnya diblokir dengan alasan keamanan yang sama dengan di Indonesia.
Permintaan maaf Durov lebih menjernihkan persoalan Telegram ini yang juga berdampak pada persoalan politis. Pikiran nakal saya sempat melintas bahwa pemblokiran boleh jadi terkait juga dengan pemanasan menjelang pilkada dan pemilu. Soalnya, Telegram dapat berkontribusi besar dalam menggalang dukungan dengan segala kedigdayaannya.
Ada kemungkinan Telegram bermutasi menjadi lebih digdaya dari saat ini. Saya kira kubu-kubu yang akan bertarung akan menjajal semua kanal media sosial, termasuk menjadikan Telegram sebagai “superkanal” andalan. Pastilah jika ditarik ke ranah politik, banyak lawan yang mencak-mencak karena salah satu peluru kendali pasukan medsos mereka telah dilumpuhkan.
Namun, di luar soal politik dan banyaknya orang yang memaki, menggerutu, mengejek, atau malah mendukung, kejadian ini mengingatkan kita semua akan pentingnya literasi media ditanamkan kepada masyarakat, terutama generasi milenial sebagai benteng yang lebih niscaya dibandingkan pemblokiran. Kreator-kreator konten positif justru harus disiapkan dan dilahirkan sebanyak-banyaknya bersamaan dengan lahirnya pembaca atau penikmat konten yang cerdas secara literasi. Jika perlu bukan hanya kreator konten, melainkan pengembang aplikasi media sosial asli Indonesia juga harus dilahirkan.
Soalnya, seberapa hebat pun pemerintah memblokir sebuah media sosial, pasti ada saja “kebocoran” informasi yang tidak dapat ditambal atau dibendung, bahkan ke depan akan muncul lagi aplikasi yang lebih canggih. Disadari atau tidak, kita telah terbawa pada era perang asimetris berbasis teknologi canggih di antaranya melalui media sosial.
Dengan demikian, pemblokiran sejatinya bersifat tidak permanen karena media sosial itu hanya kendaraan, bukan inti pesan. Apalagi, pikiran dan perasaan manusia tidak dapat dihentikan atau dibelenggu dengan pemblokiran/pemberedelan. Justru terkadang hal itu menimbulkan perlawanan yang terus hidup serta berproses sepanjang waktu seperti air mengalir yang terus mencari tempat terendah.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.