Kita masih akan membicarakan tentang ilmu Digesting—ilmu tentang menulis di era media sosial. Pada tulisan sebelum ini, saya menyebut seorang penulis yang telah mengubah diri saya terkait dengan kegiatan membaca teks. Penulis itu bernama Jim Trelease. Jim menulis buku bagus berjudul “The Read-Aloud Handbook”. Pada karyanya tersebut Jim melakukan riset tentang pentingnya membaca lantang bagi anak-anak.
Reading-aloud (membaca lantang) berbeda dengan story telling (dalam khazanah kebahasaan kita, istilah ini lazim dipadankan dengan “mendongeng”). Reading-aloud wajib menggunakan (dan dipandu oleh) buku dan story telling boleh tidak menggunakan buku. Reading aloud kemudian memunculkan sosok penting yang berperan dalam mebudayakan membaca sejak dini, yaitu “the reading mother”. Ya, budaya Barat memang punya tradisi membacakan buku secara lantang kepada anak-anak. Sosok pembaca lantang itu ada di dalam diri seorang ibu.
Saya mengikuti petunjuk Jim Trelease dalam membaca lantang. Hanya saja, tujuan membaca lantang milik Jim saya belokkan. Saya membaca lantang untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Setiap kali saya menemukan sederetan teks yang tertata dengan sangat baik—saya menyebutnya sebagai “teks yang bergizi”—saya pun membacanya secara lantang. Saya memadukan aktivitas reading-speaking. Ketika membaca secara lantang, kedua telinga lahir saya pun ikut menyimak (listening) secara aktif. Sebagai contoh, apabila menemukan kata atau istilah yang rumit, saya wajib berhenti sejenak dan kemudian mengejanya secara tepat dan benar. Secara otomatis, saya sesungguhnya sedang melatih kemampuan memahami makna yang dibawa oleh teks.
Active listening yang terjaga dapat membantu diri saya meningkatkan kemampuan memahami makna-makna yang dibawa oleh teks yang sedang saya baca. Kadang-kadang bahkan saya harus merujuk ke kamus bahasa agar makna yang muncul adalah makna yang tidak membuat saya ragu. Memahami dengan melakukan proses menepatkan makna kata merupakan hal sangat penting. Sebagai seorang penulis, saya sadar bahwa makna kata yang tidak meyakinkan akan membuat kepercayaan diri merosot drastis. Ini baru sebatas makna kata. Ada banyak sekali makna yang dibaca oleh teks yang lebih panjang dan kompleks daripada sekadar kata.
Apa yang saya bicarakan sebelum ini baru sebatas memasukkan sesuatu yang penting dan berharga ke dalam pikiran—yang biasa disebut dengan membaca teks. Membaca memang tidak sekadar melihat dan mengeja huruf. Di dalam deretan huruf yang membentuk kata dan dalam rangkaian kata yang membentuk kalimat itu ada makna. Apabila kita hanya memasukkan susunan huruf dan rangkaian kata, pikiran kita tetap akan diam (jumud). Hanya makna yang akan membuat pikiran kita bergerak secara sangat dinamis dan kemudian menemukan sesuatu yang baru. Active listening menjadi sangat krusial ketika seseorang sedang membaca teks. Tanpa upaya memahami (menyimak secara aktif), mustahil sepotong makna dapat dimasukkan ke dalam pikiran.
Bagaimana mengeluarkan (menuliskan) makna yang telah masuk ke dalam pikiran? Apabila yang masuk ke dalam pikiran adalah istilah “batu karang”—sebagai contoh—dan yang dikeluarkan atau dituliskan adalah tetap “batu karang”, maka proses ini tidak memiliki dampak apa-apa. Apa yang dimasukkan harus berbeda dengan apa yang dikeluarkan. Pikiran bukanlah “mesin” yang bekerja secara mekanis dan otomatis. Hanya “batu karang” yang dikaitkan dengan diri-uniklah yang akan membuat pikiran bergerak mengolah dan mencerna. Ini menjadikan istilah “batu karang” tersebut akan dikeluarkan (dituliskan) secara berbeda ke selembar kertas atau ke layar laptop. “Ini tentang ‘batu karang’ apa? ‘Batu karang’ yang mana? Dan ‘batu karang’-nya dapat dikaitkan dengan apa?” begitulah mungkin sang diri-unik akan mencar-cari sesuatu yang baru yang berbeda dengan yang awal dimasukkan (dibaca).
Kemungkinan besar “batu karang” tersebut dapat berubah menjadi sebuah cerita pendek apabila dapat dikaitkan dengan kisah si Malin Kundang, atau “batu karang” itu dapat menjelma menjadi sikap yang sangat kukuh dan tidak mau berubah apabila dikaitkan dengan kegigihan. Seorang penulis yang suka memotivasi akan menjadikan “batu karang” sebagai contoh kerja keras yang tidak pernah surut atau takut meskipun diterjang ombak seganas apa pun. Ada banyak makna—sekali lagi mohon perhatikan soal penting ini: makna—ketika sebuah kata atau istilah dikaitkan atau dkontekskan dengan diri yang unik. Menulis atau mengeluarkan sesuatu dari dalam pikiran akan menjadi mudah dan lancar begitu yang dimasukkan adalah makna.
Proses “in-out” atau memasukkan-mengeluarkan sesuatu ini dalam ilmu Digesting memang tidak dapat dilakukan secara instan. Ada kemungkinan, pada saat awal, yang dimasukkan dan dikeluarkan bisa jadi sama atau bukan sesuatu yang bermakna. Namun, apabila kegiatan “in-out” itu terus dibiasakan, sang “mesin” berpikir pun akan berkembang serta akan dengan mudah memproses dan memproduksi banyak sekali makna.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.