“Digesting (1)” bicara tentang ilmu menulis yang dicampur dengan ilmu komunikasi. “Digesting (2)” bicara tentang menulis sebagai proses mengeluarkan sesuatu dari pikiran setelah membaca dan membaca sendiri sama dengan memasukkan sesuatu ke dalam pikiran. “Digesting (3)” akan membicarakan tentang apa yang dapat dikeluarkan atau dituliskan dari dalam pikiran. Ada tiga hal yang dapat dikeluarkan dari dalam pikiran setelah seseorang selesai membaca teks yang bergizi. Apa saja ketiga hal tersebut?
Pertama, materi tulisan berbentuk pengalaman membaca. Pengalaman membaca sifatnya sangat personal. Hal ini bersangkutan dengan suka (like) atau tidak suka (dislike) atas teks yang dibaca. Tentang apakah si pembaca terbebani (sulit dalam membaca teks) atau tidak terbebani (merasa diberdayakan oleh teks yang dibaca). Menuliskan (mengeluarkan) pengalaman membaca adalah kegiatan yang termudah di antara dua kegiatan lainnya. Sekali lagi, yang dituliskan (dikeluarkan dari dalam pikiran) bisa jadi hanya berupa kesan-kesan atas teks yang baru saja selesai dibaca.
Contoh menuliskan pengalaman membaca atau yang termasuk tingkatan pertama ini adalah sebagai berikut.
“Aku baru saja membaca buku Rhenald Kasali tentang disrupsi. Buku ini tebal dan di setiap halaman ada saja istilah baru yang tidak mudah kupahami. Aku benar-benar merasa kerepotan dalam membaca (memahaminya). Tak cukup hanya membaca sekali. Aku perlu mengulang membacanya hingga dua atau tiga kali. Membaca buku terbaru Rhenald Kasali ini perlu stamina yang prima—antara lain kesabaran disertai konsentrasi (fokus) yang tinggi.”
Kedua, materi tulisan berkaitan dengan pemahaman terhadap teks yang dibaca. Meskipun masih bisa disebut sebagai kegiatan yang bersifat personal, kegiatan menuliskan pada tingkat kedua ini memerlukan unsur-unsur obyektivitas yang cukup tinggi. Obyektivitas ini diperlukan agar standar tulisan yang dihasilkan terpenuhi: kejujuran dan kelogisan. Perbedaan dengan tingkat pertama adalah (1) mungkin masih dibalut oleh suasana emosional, (2) sudah merangkak lebih tinggi ke tahapan yang lebih rasional.
Tentu saja, menuliskan (mengeluarkan) pemahaman akan terasa lebih sulit ketimbang menuliskan pengalaman membaca. Pada tingkat kedua, pikiran diarahkan untuk menemukan makna di balik teks yang dibaca. Merumuskan pemahaman bukan pekerjaan mudah, apalagi rumusan tersebut harus dapat memenuhi syarat kebahasaan yang baik. Pada tingkat kedua ini, si pelaku juga dituntut untuk menunjukkan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional bukan emosional.
Contoh menuliskan pemahaman atas teks yang dibaca.
“Ketika membaca penjelasan Rhenald Kasali tentang disrupsi, saya memahami disrupsi sebagai sebuah perubahan. Hanya disrupsi lebih menunjukkan kondisi perubahan yang tidak ala kadarnya (alias perubahan biasa). Disrupsi adalah “perubahan plus”. Perubahan yang dibawa oleh kata disrupsi merupakan perubahan yang mengguncang seluruh fondasi bidang-bidang yang mengalami perubahan tersebut.”
Ketiga, materi tulisan dalam tingkat ketiga lebih sulit daripada materi tulisan pada tingkat sebelumnya, yaitu berupa pemerolehan gagasan. Tingkat ini merupakan tingkatan menuliskan (mengeluarkan) sesuatu yang paling tinggi. Isi pikiran sudah berubah (akibat membaca teks) sudah menjadi berbeda dengan sebelumnya. Tak berhenti hanya berbeda dengan pikiran sebelumnya, pikiran pun bahkan sudah berhasil membentuk atau mewujudkan sesuatu yang baru. Efek memasukkan makna (ketika membaca teks) tidak hanya berhenti pada dikeluarkannya pengalaman atau pemahaman tetapi pikiran telah berhasil memproduksi sesuatu yang sangat penting dan sangat berharga bernama gagasan.
Gagasan ini dapat diperoleh si pelaku pada saat awal membaca teks atau di tengah atau bahkan di akhir. Sifatnya memang spontan dan sangat cepat. Tiba-tiba pikiran akan menemukan substansi yang mengguncang dan kemudian pikiran terisi oleh sesuatu yang baru dan sangat berbeda dengan substansi teks yang dibacanya. Bahkan apabila yang masuk ke dalam pikiran adalah istilah “batu karang”, yang muncul di dalam pikiran bisa saja “langit” atau bahkan “mutiara”.
Saya tidak akan memberikan contoh bagaimana menuliskan pemerolehan gagasan. Berbeda dengan yang pertama (pengalaman membaca) dan yang kedua (pemahaman akan teks yang dibaca), yang ketiga ini memerlukan kecepatan dalam merumuskan (menuliskannya). Kecepatan merumuskan tersebut menjadi faktor penting sebab jika terlambat beberapa detik, gagasan itu dapat lenyap tidak berbekas.
Memperoleh gagasan ketika membaca sederetan teks adalah sebuah anugerah ilahiah. Hank Zeller menyatakan, “Ketika Anda menyadari bahwa Anda baru saja menemukan ide (gagasan) yang lebih unggul daripada apa pun yang telah dikerjakan orang lain, Anda akan merasakan kegembiraan luar biasa. Anda mengalami sesuatu yang menakjubkan. Rasanya hampir seperti mendengar bisikan Tuhan.”[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.