Marilah sekarang kita membesarkan bidang lain yaitu bidang yang terkait dengan kualitas isi pikiran. Setelah bidang komunikasi yang saya manfaatkan untuk melejitkan writing skills—lewat teori digesting—kali ini saya akan memanfaatkan bidang yang di dalamnya pikiran menjadi hal yang perlu diperhatikan ketika kita ingin menulis. Seperti sudah saya sampaikan, yang kita tuliskan atau ungkapkan sesungguhnya adalah isi pikiran—mungkin juga sedikit perasaan (emosi).
Menulis memang perlu menguasai tata cara berbahasa dan bagaimana sebaiknya diri kita berkomunikasi. Namun, tanpa kita menyadari bahwa yang kita tulis adalah isi pikiran kita, maka secanggih apa pun penguasaan kita atas tata cara berbahasa dan cara-cara berkomunikasi maka yang kita tulis tidak akan memberikan hasil yang membuat kita sangat percaya diri.
Sepengetahuan dan sepengalaman saya, sebagian besar hambatan atau bahkan kegagalan menulis itu berpangkal pada apakah kita merasa percaya diri atau tidak dengan apa yang kita tulis. Kepercayaan diri ini sangat terkait dengan kualitas isi pikiran kita. Oleh karena itu, sebelum yang lain-lain, kita perlu meningkatkan kualitas isi pikiran yang kita miliki. Bagaimana caranya? Pertama-tama, yang paling mudah adalah dengan memahami pikiran kita sendiri.
Saya beruntung karena dahulu, sekitar tahun 2000, saya pernah diserahi tanggung jawab untuk memimpin Penerbit Kaifa. Buku perdana Kaifa adalah buku fenomenal Quantum Learning. Kebetulan pada saat pendirian Penerbit Kaifa, pemerintah Amerika Serikat baru saja mencanangkan era tahun 1980-an sebagai “Dekade Otak”. Ini berarti di dunia Barat sedang sibuk dengan riset-riset tentang otak.
Biasanya, riset tentang otak dimanfaatkan untuk keperluan medis atau untuk mengatasi penyakit manusia. Pada era “Dekade Otak” tersebut, hasil-hasil riset otak dimanfaatkan untuk banyak sekali bidang kehidupan manusia, termasuk bidang nonmedis. Dan salah satu pemanfaatan hasil-hasil riset otak untuk bidang nonmedis adalah bidang pendidikan—saya lebih suka menyebutnya pembelajaran (learning).
Dari situlah kemudian muncul buku-buku seperti Brain-Based Learning, Multiple Intelligences, The Learning Revolution, Quantum Learning, Accelerated Learning, dan lain-lain. Belajar dan mengajar yang berbasiskan cara kerja otak kemudian menyebar ke mana-mana. Saya pun ikut terseret oleh gelombang brain-based learning. Saya diasyikkan oleh kegiatan belajar-mengajar yang fun karena sesuai dengan cara kerja otak. Stres atau merasa terbebani/tertekan ketika belajar kemudian dapat saya atasi.
Lewat buku-buku yang mengaitkan learning dan brain itulah kemudian saya bertemu antara lain dengan tiga tokoh penting ini: Tony Buzan, Roger Sperry, dan Paul D. MacLean. Roger Sperry memperkenalkan kepada saya tentang adanya dua belahan otak. Dua belahan otak itu disebut left dan right brain hemisphere. MacLean memperkenalkan keberadaan “tiga jenis otak di dalam satu kepala” atau diistilahkannya sebagai “triune brain”—dan salah satu jenis otak itu ada yang menyimpan potensi emosi (yaitu bagian midbrain atau otak tengah).
Tony Buzan memanfaatkan temuan Roger Sperry untuk menciptakan tool mengingat yang sangat efektif. Tool itu bernama mind mapping. Namun, bukan alat untuk mengingatnya yang kemudian mengesankan saya, tetapi berkat tiga tokoh lain—Michael J. Gelb, Joyce Wycoff, dan Gabriele Lusser Rico—mind mapping saya manfaatkan untuk menulis (tepatnya untuk membuka dan mengalirkan isi pikiran, khususnya isi pikiran yang tersembunyi yang tersimpan di dalam otak belahan kanan).
Ternyata otak belahan kanan ini, menurut buku Quantum Learning, berhubungan dengan emosi. Lantas, berkat “triune brain”-nya Paul D. MacLean peran emosi dalam menulis ini semakin diperjelas bentuknya. Ada dua jenis emosi, yaitu emosi positif dan negatif. Emosi positif akan mendukung dan memberikan kenyamanan menulis, sementara emosi negatif adalah jenis emosi yang mengganggu dan bahkan merusak suasana menulis. Agar ketika kita menulis ada rasa senang dan hasil tulisan kita menyenangkan para pembaca kita maka kita harus berupaya membangun emosi positif sebelum menulis.
Pemahaman akan potensi emosi itu menjadi sangat penting karena emosilah yang mampu meningkatkan atau menurunkan kualitas isi pikiran.[]
Hernowo—di dunia maya dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”—adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Dia punya konsep membaca-menulis bernama “mengikat makna”. Ia mulai menekuni dunia menulis di usia lewat 40 tahun. Buku pertamanya, Mengikat Makna (Kaifa 2001) terbit saat usianya mencapai 44 tahun. Kini sudah 37 buku diciptakannya. Buku ke-37-nya berjudul “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna (Kaifa, 2016). Kini Hernowo sedang mempersiapkan buku tentang “free writing”, bagaimana membuat buku, dan aplikasi “mengikat makna”.