Manistebu.com | Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik dengan dunia buku teks pelajaran. Namun, takdir membawa saya kali pertama menulis buku adalah buku teks pelajaran. Kali pertama saya menulis buku Bahasa Indonesia untuk SMP di Penerbit Granesia (Grup Pikiran Rakyat), lanjut juga buku untuk SMA.
Sejak itu, saya pun menerima order penulisan buku teks untuk beberapa penerbit, termasuk menulis buku yang dinilaikan dalam program PBMB (Pengembangan Buku dan Minat Baca) yang didanai Bank Dunia.
Spesialisasi saya memang mata pelajaran bahasa Indonesia. Saya sempat juga menulis buku SIMBI (Saya Ingin Mahir Berbahasa Indonesia) untuk SD yang masuk kategori sangat laris di Penerbit Grafindo Media Pratama.
Lagi-lagi takdir membawa saya bergumul dengan penerbitan buku teks pelajaran ini. Itu terjadi saat saya berkarier di Grafindo Media Pratama (GMP). Memulai karier sebagai editor, naik menjadi kepala bagian penerbitan, lalu manajer, division head, hingga akhirnya direktur, saya terlibat dalam berbagai program dan proyek penerbitan buku teks serta buku nonteks pelajaran.
Kreativitas yang Terbatas
Periode 1997-an, GMP muncul sebagai salah satu kekuatan penerbit buku teks pelajaran dengan mengusung beberapa terobosan. Pemain besar sebelumnya seperti Erlangga, Ganeca Exact, Intan, Tiga Serangkai, dan Yudhistira boleh dibilang sangat mewaspadai kehadiran GMP.
Selain kuat merangsek pasar penerbitan buku teks, GMP juga kuat dalam berbagai penilaian buku yang dilakukan pemerintah. Kualitas dan terobosan dalam penyajian buku teks menjadi andalan GMP saat itu, termasuk merekrut para penulis dan editor yang andal.
Saya terlibat langsung masa-masa itu, termasuk dalam membenahi sistem editorial, standar penerbitan, dan juga konteks (kemasan) buku teks. Selalu saya ungkapkan kepada para pekerja perbukuan di GMP bahwa buku teks sangat membatasi kreativitas, tidak seperti buku umum.
Namun, bukan berarti di dalam buku teks tidak dapat dikembangkan gagasan-gagasan segar. Kebetulan, owner dan manajemen puncak GMP pada masa itu termasuk berpikiran moderat. Upaya-upaya untuk menaikkan kualitas buku selalu didukung, termasuk konsentrasi pada peningkatan kapasitas SDM penerbitan melalui diklat.
Meskipun tidak sekuat periode 1997 sampai dengan 2010, sisa kekuatan GMP sebagai penerbit buku teks bermutu masih terasa hingga kini. Ada beberapa pendatang baru yang juga menunjukkan keandalannya dalam sektor pasar bebas buku teks seperti Yrama Widya, JePe Press, dan Masmedia.
Di sisi lain banyak juga penerbit buku teks yang kemudian rontok dan tidak terdengar lagi kabarnya. Sebut saja Ganeca Exact dan Aneka Ilmu.
Buku Teks Masa Depan
Menangani buku teks memang merupakan seni dan tantangan tersendiri, terutama bagi saya pribadi. Rumit dan menguras energi, itulah kesan saya, apalagi untuk menyiapkan buku yang dapat lolos penilaian.
Namun, jika dihitung dari 1990-an hingga kini yaitu hampir tiga dekade terlampaui, penyajian buku teks pelajaran tidaklah terlalu mengalami kemajuan signifikan, kecuali pada soal kemasan yang mulai berwarna (full color). Hanya ada sedikit penerbit buku pelajaran yang serius pada riset dan pengembangan, selebihnya dapat saya katakan sebagai epigon saja untuk memperebutkan “kue bisnis” yang besar ini.
Saya “membaca” soal ini ketika sebagai orang merdeka kini, sejak 2016 mulai terlibat banyak dalam penggodokan kebijakan perbukuan nasional. Awalnya, saya diminta untuk membantu penyusunan RUU Sistem Perbukuan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud dan Komisi X DPR-RI. Tak sampai setahun UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan akhirnya disahkan pada 29 Mei 2017.
Intens dengan Puskurbuk membuat saya juga dilibatkan dalam lokakarya dan rapat-rapat untuk merancang model buku teks K-13 masa depan, termasuk juga dalam merancang sistem penilaian buku nonteks pelajaran. Gairah masa lalu muncul kembali meskipun kini saya menggunakan “kacamata” yang lebih luas pandangannya.
Saya kembali larut dalam buku-buku pendidikan. Ada buku-buku yang ditulis dan disusun dengan serius, tetapi lebih banyak lagi yang disusun alakadarnya. Saya menengarai minimnya kompetensi para pelaku perbukuan.
Beberapa buku itu seolah dikemas mewah dan menarik, tetapi di dalamnya banyak mengabaikan standar, kaidah, dan kode etik sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Penulis dan editor, termasuk desainer sebagai pelaku perbukuan di balik sukses sebuah buku, menurut saya, makin ke sini makin tidak paham dengan standar dan kaidah penerbitan. Tidak paham dengan aspek legalitas dan kepatutan serta tidak jeli terhadap penyajian data dan fakta.
Kasus-kasus buku teks pelajaran yang bermasalah timbul tenggelam. Inilah yang mendorong gagasan bahwa Pemerintah harus menyiapkan model buku teks yang dapat diacu oleh para penerbit sebagai acuan dasar–bukan untuk ditiru. Itulah yang disebut buku teks utama.
Mengapa hal minim kemajuan ini terjadi? Tampaknya selama hampir dua dekade, kita abai dengan program peningkatan kapasitas SDM atau pelaku perbukuan. Alhasil, kita pun gamang menghadapi perubahan-perubahan, termasuk karena adanya pola pikir bahwa menerbitkan buku itu gampang.
Karena itu, tidak usah heran jika ada gagasan sertifikasi profesi pelaku perbukuan dan akreditasi penerbit, bagi sebagian orang dianggap ancaman bukan tantangan. Sementara itu, disrupsi di dunia buku teks sudah mulai merambat.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.