Ingin Berbahagia, Menulislah

Manistebu.com | Dalam suatu dialog setelah terpilih menjadi perdana menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Muhammad mengungkapkan bagaimana dalam usia yang sudah uzur, ia masih terlihat energik dan kuat berpikir. Ia menjawab tanpa ragu salah satu kegiatan yang rutin dilakukannya adalah menulis.

Demikian pula yang terjadi pada mantan presiden kita, B.J. Habibie. Beliau pernah berada dalam keadaan paling terpuruk ketika kehilangan istri tercintanya, Ibu Ainun Habibie. Upaya keluar dari kesedihan mendalam itu yang dilakukannya adalah menulis.

Menulis memang aktivitas yang luar biasa. Ia menjadi wujud apa yang dirasakan dan dipikirkan seseorang dalam bentuk rangkaian kata-kata yang bermakna.

Arvan Pradiansyah, seorang motivator, trainer, dan penulis spesialis topik bahagia, seperti yang pernah dikutip Hernowo (alm.) dalam bukunya Quantum Writing menyebutkan hal berikut:

Menulis adalah ekspresi hati dan curahan jiwa kita yang terdalam. Karena itu, keaslian sesungguhnya merupakan kata kunci di sini. Bagi seorang penulis sejati, perasaan autentik sangat penting dan keautentikan itulah sesungguhnya yang hendak dikomunikasikan seorang penulis kepada setiap pembaca tulisan.

Menulis sesungguhnya adalah sebuah proses untuk menjadi diri kita yang sebenarnya. Bahkan, menulis sesungguhnya adalah sebuah proses untuk menjadi diri kita seutuhnya, sebuah proses untuk menemukan diri kita yang sejati.

***

Dalam beberapa sesi pelatihan saya menyebutkan tentang penggunaan PRIN yang dapat menghebatkan suatu tulisan, yaitu PIKIR, RASA, INDRA, dan NALURI. PRIN adalah modal utama kita untuk menulis. Karena itu, andal dalam menulis sebenarnya sebuah proses yang dilakukan berulang-ulang dari penggunaan modal yang dimiliki setiap manusia itu.

Adalah menjadi penting apa yang kita terima setiap harinya melalui peristiwa dan fenomena-fenomena. Apa yang kita terima itu awalnya berwujud kata-kata—sebagai satuan bahasa terkecil yang memiliki makna.

Kata-kata itu kemudian kita gunakan untuk berdialog dengan diri sendiri. Setelah itu, sangat mungkin muncul dorongan untuk berdialog dengan orang lain atau pembaca sasaran. Namun, sebelum sampai berdialog dengan orang lain, seseorang harus “membereskan” terlebih dahulu apa yang terjadi pada dirinya dengan menulis untuk diri sendiri.

Ini suatu hal yang menarik ketika kita tidak hanya melihat menulis sebagai kegiatan mencurahkan pikiran dan perasaan untuk dipublikasikan. Akan tetapi, menulis juga sesuatu yang dapat menyembuhkan luka batin, lalu membahagiakan.

Pasalnya, di dalam hidup kita sangat mungkin ada berbagai tragedi. Sangat mungkin kita memiliki pengalaman-pengalaman traumatis yang masih membekas dalam memori ingatan kita. Semua itu tersimpan dan hanya tersimpan.

Menuliskan hal-hal negatif menurut James W. Pennebaker, berdasarkan penelitiannya, akan menghasilkan pelepasan emosional yang membangkitkan rasa puas dan lega. Bersama Sandra Beall, Pennebaker melakukan penelitian terhadap beberapa mahasiswa yang direkrut sebagai sukarelawan.

Para mahasiswa itu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menuliskan pengalaman traumatis mereka, sedangkan kelompok kedua menuliskan topik-topik khayalan. Mereka diminta menulis dalam masa empat hari berturut-turut selama lima belas menit per hari.

Di samping data yang mengejutkan tentang berbagai tragedi yang dituliskan oleh para mahasiswa itu, Pennebaker dan Sandra juga menemukan apa yang mereka cari. Terjadi penurunan signifikan ke klinik di kampus oleh para mahasiswa yang telah menuliskan kisah traumanya. Artinya, tingkat kesehatan para mahasiswa tersebut mengalami peningkatan.

Lebih jauh Pennebaker dalam penelitian lain juga menemukan bahwa orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan orang-orang ang menuliskan masalah-masalah remeh temeh.

Tentang menulis sebagai penyembuhan emosi ini secara lengkap diuraikan Pennebaker dalam bukunya yang berjudul Opening Up: The Healing Power of Expression Emotions. Dalam buku lain yang ditulis oleh Naning Pranoto berjudul Writing for Therapy semakin menguatkan pandangan bahwa menulis itu adalah sebentuk aktivitas yang dapat menjadi terapi psikologis, sekaligus ikhtiar berbahagia. Naning pun membahas tentang luka batin yang dapat disembuhkan dengan menulis.

Writing for Happiness akan menjadi topik workshop yang dinanti oleh siapa pun, bukan hanya penulis. Workshop bertopik langka ini akan diselenggarakan oleh Institut Penulis Indonesia dengan menghadirkan langsung Naning Pranoto, penulis senior yang telah mewarnai jagat penulisan di Indonesia. Mbak Naning siap berbagi langsung tentang teknik-teknik penulis yang membahagiakan seperti termuat di dalam bukunya.[]

2 thoughts on “Ingin Berbahagia, Menulislah”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.